Friday, February 27

Karakter Pesantren Beda-beda

Semalam saya ketemu sama Rusli. Dia saat ini menjadi pengasuh pesantren di Pandeglang. Namanya Ponpes Al-Ma'nawiyah. Letaknya di Saketi. Usia pondok belum genap setahun, terhitung sejak diresmikan oleh Dewan Pembinanya salah seorang pejabat di Deplu RI.

Kebetulan malam itu sedang bertamu di kediamannya di bilangan Bintaro. Sambil menunggu kedatangan tuan rumah, saya sempat mengobrol dengannya alias korek-korek informasi.

Aslinya bukan orang Pandeglang. Ia berasal dari Tasikmalaya, Singaparna. Mulai tahun akhir 1980-an sudah merantau ke Jawa Timur. Tujuannya mau belajar memperdalam ilmu agama di Pesantren-pesantren.

Baginya, belajar di Pesantren, khususnya yang berkarakter salaf, bisa bertahan sampai beberapa tahun. Demikianlah apa yang dialami sewaktu "nyantri" di Lirboyo Kediri. Dia belajar di sana selama 9 tahun. Beda dengan Tebu Ireng yang hanya tiga tahun. Padahal, menurut saya, kedua-duanya saat itu kan masih salaf. Lalu apa bedanya?

Menurutnya, Pesantren Lirboyo dapat bertahan dan maju karena figur dan sistemnya. Namun aspek figur terasa lebih kuat. Khawatirnya jika figur telah tiada, tidak diketahui bagaimana nasib pesantren nantinya. Sedangkan di Tebu Ireng, ia kagum terhadap pengorganisasian dan manajemen yang diterapkan oleh pesantren. Meski saat ini sekolah umumnya lebih besar dan maju daripada pesantrennya sendiri.

Di tempat yang berbeda tersebut, ia merasakan bedanya. Kalau di Lirboyo ia dituntut mempelajari suatu ilmu sampai dalam. Sehingga butuh waktu lama untuk menuntaskan satu ilmu atau khatam. Di sini figur biasanya lebih kuat berbicara dibanding pola dan sistematisasi dari materi-materi ajaran. Terlebih lagi melihat pesantren Tebu Ireng yang lambat laun mengakomodasi program-program pendidikan dari pemerintah.

Selain belajar di dua pesantren. Petualangan "nyantri" ia tutup di Pondok Gontor. Pesantren yang telah berumur 80 tahun lebih itu tetap eksis walaupun gonta-ganti pemerintahan. Eksistensi ini selalu terjaga karena konsisten terhadap kurikulum pesantren yang dipertahankan. Penilaian ini berdasarkan capaian-capaian para alumninya di luar. Meski secara matematis belum ada survei secara serius berapa prosentasi keberhasilan dan kegagalan para alumninya di sosial masyarakatnya.

Meski cuma delapan bulan tinggal di pesantren Gontor. sekilas ia dapat menilai, bahwa Gontor lebih melihat agama dalam konteks wawasan sosial kemasyarakatannya. Di pesantren tersebut santri-santri diajar ilmu-ilmu agama namun tidak sampai mendalam. Kalau boleh dapat dikatakan setengah-setengah atau cuma dasar-dasarnya saja. Aspek interaksi, pembentukan karakter dan aktivitas lebih dominan.

Oleh karena itu, bahasa Arab dan Inggris diwajibkan menjadi bahasa Ibu mengganti bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Ini dimaksud supaya dengan penguasaan kedua bahasa tadi dapat semakin memperluas wawasan ilmu di luar nantinya. Baik yang meneruskan studinya di Timur Tengah maupun yang ke Eropa atau Amerika atau yang berjuang langsung di masyarakast.

Begitulah perjalanan "nyantri" di beberapa pesantren besar di Jawa Timur. Masing-masing pesantren punya karakter berbeda. Ada kelebihan dan kekurangannya. Ia hanya berdoa semoga ilmu yang ia dapatkan dari ketiga pesantren itu dapat menginspirasi dirinya dalam mengasuh pesantrennya di Pandeglang yang santri/santriwatinya baru berjumlah 25 orang. Dalam benak saya, masih panjang perjalanan antum ustadz. Semoga ikhlas dan selalu tawakkal.

Ciputat, 27 Februari 2009

1 comment:

Wong Jalur said...

Betul, tiap pesantren memang mempunyai visi dan misi sendiri, dan biasanya ini dilatarbelakangi akan pengalaman dari sang kiai untuk kemudian membumikannya dalam visi dan misi pesantrennya.
Salam kenal Mas.