Tuesday, February 6

MUKTAMAR KE VI PPP, BANGKIT BERSAMA UNTUK PERUBAHAN


MUKTAMAR KE VI PPP, BANGKIT BERSAMA UNTUK PERUBAHAN

Sejak tanggal 25 Januari 2007 persiapan gawe Muktamar PPP sudah mulai terasa. Muktamar yang diadakan di Hotel Mercure Ancol pada 30 Januari – 4 Februari 2007 adalah Muktamar PPP yang ke VI. Ribuan peserta datang dari seluruh wilayah dan cabang di Indonesia, tepatnya peserta yang memiliki suara dari wilayah dan cabang sebanyak 1173 suara. Selebihnya muktamar ini diramaikan oleh para utusan, simpatisan dan penggembira yang datang ‘tumplek blek’ di kawasan wisata pinggir pantai Jakarta, kurang lebih 5.000 orang.

Sisi menarik dari setiap muktamar yang digelar oleh setiap partai politik adalah pemilihan calon ketua umum. Begitu juga yang terjadi di partai berlambang ka’bah ini. Jauh hari sebelum muktamar dilangsungkan, masing-masing calon sudah berkampanye. Para tim sukses dari masing-masing calon juga melakukan rapat-rapat dan gerakan-gerakan untuk menggalang suara dari wilayah dan cabang. Masing-masing calon mengklaim dapat mayoritas dukungan. Tak jarang pula yang memanfaatkan media pers untuk membuat propaganda dan isu demi kesuksesan masing-masing.

Hari pertama Muktamar PPP digelar, sudah banyak menuai protes. Sebab masih banyak peserta yang belum dapat kamar dan akomodasi yang seharusnya sudah disiapkan jauh hari oleh panitia. Bahkan sampai sidang dimulai pun masih banyak yang belum kebagian kamar. Menurut salah satu staf sekretariat Dewan Pimpinan Pusat PPP, mereka tidak banyak dilibatkan dalam kepanitiaan ini khususnya untuk masalah koordinasi pada proses registrasi. Sebab merekalah yang tahu benar siapa para peserta dan apa yang harus dipersiapkan oleh mereka. Suasana registrasi yang kacau mengindikasikan bahwa kepanitian kali ini tidak fair. Ada upaya para peserta yang datang wilayah atau cabang yang tidak menjadi pendukung setia bagi ketua panitia yang juga sebagai calon ketua umum tidak diurusi. Bahkan salah satu pengurus DPP PPP di Majelis Pakar pun tidak dibuatkan ID Card dan kamar. Ketika ditanyain ke panitia malah balik ditanya, anda siapa? dari utusan mana? Ujung-ujungnya tidak tahu masalah. Bagaimana rumit dan caosnya keadaan ketika itu. Dan betapa kejam dan tidak manusiawinya panitia yang menelantarkan orang-orang yang datang jauh-jauh sebagai peserta muktamar. Sungguh tidak masuk akal, sebagai partai yang berlambang dan berdasarkan Islam kelakuannya masih tidak simpatik.

“Panitia Muktamar kali ini adalah panitia terburuk selama muktamar diselenggarakan” teriakan salah satu peserta saat sidang paripurna I dimulai. “Kalau tidak becus jadi panitia janganlah sok jadi panitia” tambah salah satu peserta yang sudah kesal. Hujan interupsi terus berlangsung di setiap sidang yang berjalan, bahkan sidang sempat diskors disebabkan keadaan tidak terkendali. Intinya para peserta ingin supaya dihadirkan pihak panitia untuk mengklarifikasi permasalah teknis yang tidak kunjung selesai ini. Memang lucu hal-hal teknis yang seharusnya dapat diselesaikan dengan perencanaan yang cermat, malah menjadi kendala masalah yang menyertai setiap sidang yang digelar. Bukankah ini dapat menjadi suatu macam penilaian atau tolak ukur kepemimpinan.

Tolak ukur kepemimpinan seorang EAS dan AMM sebagai ketua panitia yang tidak bisa mengurus peserta muktamar berjumlah tidak lebih dari 1.500 orang dengan baik. Bagaimana pula akan mengurus para konstituen yang berjumlah jutaan. Sungguh suatu penilaian yang logis. Masalah partai tidak sesederhana mengurus kepanitiaan yang memang bisa dimenej dan diatur dengan uang. Namun untuk mengurus partai tidak bisa hanya mengandalkan uang, the power of money. Sangat tidak pantas bila ada seorang tua yang sudah berumur sebagai pengurus Dewan Pimpinan Pusat dipingpong sana-sini untuk mendapat akomodasi yang menjadi haknya. “Seharusnya sebagai calon ketua umum jangan masuk menjadi panitia, nanti yang bekerja malah tim suksesnya untuk kepentingan dirinya” teriak salah satu peserta yang sudah memuncak kekesalan saat salah seorang panitia Steering Committee yang memimpin sidang menyalahkan panitia badan pekerja (OC). “Jangan saling menyalahkan, kita butuh solusi konkrit bukan hanya wacana dan bicara saja” tambahnya.

Propaganda dari masing-masing calon terus beredar. Tim-tim sukses bergerilya dari satu pintu ke pintu lain. Bahkan ada juga dari daerah yang memanfaatkan situasi tersebut untuk hanya mencari keuntungan untuk sekadar berbual ingin bergabung meski kakinya sudah tertancap kuat di calon lain. Begitulah potret gambaran suasana muktamar kali ini.

Partai Persatuan Pembangunan sebagai suatu wadah politik bagi para kader NU, PERTI, SI, dan MI yang didirikan pada tahun 1978, telah menjadi partai opisisi status quo orde baru. Dalam peran politiknya juga sangat ideal dan konsisten. Namun setelah reformasi bergulir dan orde baru tumbang, partai ini hilang pamornya. Kepemimpinan yang karismatik nampaknya tidak lagi manjur dalam era modern kali ini. Lihat saja seorang Presiden RI yang oleh warganya ditahbiskan wali akhirnya diturunkan dari jabatannya. Begitu juga dalam kepemimpinan partai berlambang ka’bah ini. Ke kharismatikan Hamzah tidak didukung oleh kekuatan leadershipnya. Tidak sebagai pengurus partai yang bisa mengurus partainya, tapi pengurus yang malah diurus partai. “Saya memang tidak pemimpin yang karismatik, dan saya tidak butuh karismatik, tapi saya ingin pengurus yang bisa mengurus dan memenej partai” ungkap salah satu kandidat kuat calon Ketua Umum Drs. Suryadharma Ali, MSi.

Dengan semboyannya “Bangkit Bersama Untuk Perubahan” ia maju dengan dukungan wilayah dan cabang yang selama banyak dikecewakan oleh kinerja para petinggi partai di pusat khususnya para Pengurus Harian Pusat atau PHP yang sangat memonopoli kepengurusan dan intervensi sampai ke tingkat bawah. Dalam organisasi tidak bisa demikian. Kepemimpinan partai seharusnya kolektif tidak figuratif. Tidak one man show. Kalau yang begitu dipaksakan akan terjadi banyak konflik kepentingan yang ujung-ujungnya adalah setoran. Dan ini tidak professional.

PPP harus bangkit. Jika keadaan seperti ini bertahan maka nasib partai tambah tidak karuan. Para kandidat yang akan bertarung di arena muktamar adalah Endin AJ Soefihara (Ketua Fraksi PPP di DPR RI), Arief Mudatsir Mandan (Anggota DPR RI), Hadimulyo, Yunus Yosfiah (Sekretaris Umum DPP PPP), Ali Marwan Hanan (Wakil Ketua Umum DPP PPP), Ahmad Dimyati Natakusuma (Bupati Pandeglang), Suryadharma Ali (Meneg Koperasi dan UKM RI).

Jumat, 2/2/2007, adalah hari pemilihan ketua umum dimulai. Didahului sebelumnya dengan sidang tata tertib pemilihan yang cukup alot dari pagi hingga menjelang salat Jum’at. Tapi akhirnya mekanisme pemilihan dengan satu putaran dan suara terbanyak yang menjadi ketua umum adalah yang disetujui. Meskipun masih ada saja yang memprotes keputusan tersebut. Sidang dilanjutkan setelah jum’atan, hanya untuk membacakan hasil sidang tatib pemilihan dan sidang kemudian ditutup dilanjutkan dengan pendaftaran masing-masing kandidat yang mulai dibuka dari pukul 14.30 sampai pukul 17.00.

Pengambilan suara dilaksanakan pada malam harinya. Dimulai pukul 20.30 dipanggillah satu persatu dari masing-masing utusan seluruh Indonesia. Pencoblosan berlangsung sampai dini hari pukul 03.00, baru kemudian dilanjutkan untuk penghitungan. Selesai penghitungan tepat pukul 06.30. Dan alhamdulillah, jagoan kita menang, Suryadharma Ali jadi ketua umum. Suryadharma mendapat 365 suara lebih besar dibanding perolehan di tempat kedua yaitu Arif Mudatsir yang mendapat suara 325, dan Salawat badar menggema dalam ruangan sidang. Seluruhnya bersorak gembira dan mengucapkan syukur. Tidak sia-sia usaha kita kali ini. Semoga menjadi awal perubahan. Bangkit bersama untuk perubahan. Semoga berhasil Bang Surya.