Tuesday, May 22

Perda Syariah, Legal system dan informan



Sore itu rencana aku ke kantor Center for the Study Religion and Culture (CSRC) di kampus II UIN Ciputat. Tujuan utama saya adalah ketemu sama Mr. Cyhenne (panggilannya syeiin) bule dari Australia, kaitan dengan tugas akhir antropologi hukum, saya ingin mohon dia menjadi informan saya. Meski sudah ada satu informan Mr. Robert Aaron dari Amerika, tapi untuk memperkaya bahan saya tambah dengan informan lain. Mr. Cyhenne adalah volunteer di kantor tersebut sebagai language editor atau bisa dikatakan sebagai editor bahasa, semacam itulah. Selain di CSRC dia juga diperbantukan di PPIM. Tugasnya hampir selesai, dari masa kontrak kerja yang dua tahun dia sudah bertugas selama 1,5 tahun. Sekarang tinggal di Simprug. He is a nice guy and helpful.

Selain itu saya juga ingin bertemu dengan Efri, staf administrasi di kantor CSRC. Soalnya ada amplop yang musti diambil. Setelah tiba saya langsung masuk ruangannya bang Irfan sebab di sana ruangannya Cyhenne. Tapi yang ada malah mas Aang. Kami ngobrol mengenai fenomena perda syariah di daerah-daerah. Saya tertarik melihat hasil penelitian mengenai perda syariah di beberapa daerah di Indonesia yang dilakukan oleh CSRC. Termasuk Aang yang bertugas di Bulukumba. Saya menanyakan tentang efektivitas penerapan hukum syariah di daerah-daerah tersebut. Aang menerangkan kalau banyak ketidakkonsistenan dari penerapan dan pembuatan undang-undangnya juga terkesan asal “copy paste”. Ini berimplikasi pada mendaratnya klaim-klaim pihak yang dirugikan, seperti para guru PNS yang dipotong gajinya sekian persen untuk bayar zakat sedangkan dia sudah banyak potongan-potongan untuk bayar utang sehingga dalam sebulan uang gajinya nyaris habis disunat sana sini. Akibatnya guru PNS tersebut diberi keringanan sedangkan yang lain tidak. Belum lagi masalah-masalah lainnya.

Banyak hal-hal yang lucu juga dari penerapan perda syariah ini. Di lain daerah seperti di Bima, Aang bercerita kalau di sana ada perda yang namanya “jum’at khusuk”. Satu jam sebelum salah jum’at semua jalan akses ke Bima, khususnya yang melewati suatu Masjid, ditutup. Semua harus masuk masjid ketika itu. Mereka tidak mempertimbangkan bagaimana keputusan itu malah mengganggu lalu lintas bagi non-muslim atau para musafir yang diberi rukhsoh untuk menjamak salatnya dan bagaimana apabila ada pihak-pihak yang sakit musti mendapat pertolongan darurat. Lain lagi di Cianjur sebelum masuk kota Cianjur di gerbangnya tertulis “gerbang marhamah”. Di Sulawesi, tidak jelas di mana tepatnya, dikenal suatu istilah keharusan memakai jilbab dengan “kain penutup bangkai”. Sebab Bupati suka sekali jika melihat perempuan berjilbab, sehingga kemana saja di mobilnya pasti ada banyak jilbab, jika ketemu perempuan di jalan tidak mengenakan jilbab dia berhenti lalu kasih dia jilbab. Pernah suatu kali ada acara dangdut, ia melihat penyanyi dangdut dengan goyangnya yang aduhai tapi tidak memakai jilbab, dia panggil lalu kasih jilban dan disuruh meneruskan goyang dangdutnya. Masih banyak lagi yang lainnya.

Bahkan di suatu daerah yang berbuat ceroboh, bagaimana dia meng“copy paste” rancangan undang-undang dari daerah lain, lalu dibawa ke DPRD untuk dibahas dan disahkan tapi ketika dibacakan masih tertulis di draf undang-undang tersebut nama daerah tempat dia mengkopi file itu. Bahlul.

Obrolan kami sudahi karena waktu memang sudah mendekati sore, saya tidak ingin kehilangan Chyenne yang biasa sudah pulang kantor sebelum magrib. Setelah itu saya minta nomor kontaknya oleh Silvi dan saya menemui mbak Efri. Setelah urusan selesai saya menuju PPIM di gedung sebelahnya. Ternyata Mr. Chyenne ada di sana, dia sedang mengedit tulisan di depan komputernya. Kabarnya dia baru vakansi di Australia dan baru saja tiba di Indonesia. Tersenyum dia kusapa. Lalu saya menanyakan padanya apakah kedatangan saya mengganggu pekerjaannya. Oh tidak..tidak, katanya. Saya mengutarakan maksud saya padanya. Di luar dugaan saya dia sangat antusias sekali untuk menuliskan pengalamannya tentang “policy” yang ada di Indonesia. Dia pernah ditilang sampai 16 kali yang ujung-ujungnya polisi minta duit. Pernah suatu kali dia duduk bersama polisi selama 3 jam hanya masalah penilangan, dia minta ditraktir makan dan minum tapi dia tolak. Dia malah meminta semacam surat denda atau diselesaikan di pengadilan tapi ditolak oleh polisi. Kata polisi, dia harus membayar dengan jumlah sekian untuk diuruskan pengadilannya nanti dan urusan selesei. Tapi tidak demikian yang dikehendaki oleh dia.

Dia juga banyak menanyakan tentang politik dan hukum di Indonesia. Secara tidak lengkap saya pun beri dia informasi secara proporsional sesuai dengan yang aku tahu. Tapi nampaknya dia sangat tertarik dan cukup lumayan informatif penjelasan saya. Ujung-ujungnya ke masalah korupsi. Bagaimana usaha kamu untuk bisa menyembuhkan korupsi di Indonesia. Wah pertanyaan berat sekali untuk dijawab. Presiden Indonesia juga belum tentu menjawab dengan tegas pertanyaan ini. Ia bandingkan di Cina dan beberapa Negara lainnya. Dimana hukum korupsi tegas ditegakkan akan makmur rakyatnya. Contoh yang nyata adalah di Singapura. Gaji presiden Singapura, menurutnya, adalah paling besar di dunia yaitu 1,5 juta US Dolar/tahun lebih besar gaji Presiden Amerika yang Cuma 400.000 Us Dolar/tahun. Tapi sistem pemerintahan dan birokrasi berjalan dengan baik. Karena dari atas sudah tidak mau korupsi sampai ke bawah pun tidak ada korupsi.

Kemudian kita diskusi masalah Perda Syariah di tiap daerah di Indonesia. Menurutnya, yang juga fasih berbahasa Arab, ketika di timur tengah penerapan hukum syariah cukup efektif. “I like Syariah” katanya. Karena dengan penerapan hukum syariah secara konsisten banyak orang tidak berani berbuat jahat. Contohnya di Saudi. Ketika dia bawa mobil dia tidak perlu mencabut kuncinya. Namun ada juga beberapa kejadian yang salah tangkap atau salah tuduhan karena altruisme lembaga pengadilan setempat yang lebih suka tuduhan tidak diarahkan pada penduduk arab setempat. Dia cerita sebuah kasus pemerkosaan terhadap perempuan arab yang dilakukan oleh kakaknya sendiri tapi dituduhkan kepada orang Bangladesh.

Akhirnya kami tutup obrolan kami karena listrik mati dan hari sudah gelap karena mendung. “kayaknya waktunya sudah harus pulang” kata dia. Sebelumnya dia menjanjikan kalau dia bersedia sebagai informan saya. Mekanisme dia sendiri yang akan menulis sesuai daftar pertanyaan yang sudah saya buat. Dia janji dalam minggu ini akan diselesaikan. Intinya dia antusias dan very helpful untuk saya. Thanks mr.

Depok, 22 Mei 2007



Saturday, May 19

Antara Ideal dan Aktual




Sudah menjadi hal yang wajar, jika seseorang jauh dari rumah dan keluarga dia akan merasakan homesick. Istilah yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan kangen dan kerinduan mendalam terhadap kehangatan keluarga. Lain bagi seorang wisatawan lain juga dengan penuntut ilmu. Kalau wisatawan keluar rumah untuk jalan-jalan cari hiburan, sedang penuntut ilmu jalan-jalan secara sungguh-sungguh untuk cari ilmu. Yang mungkin dapat dikatakan sama-sama sifatnya, kedua-duanya sama-sama butuh duit. Baik yang bepergian wisata maupun yang mau menuntut ilmu.

Barangkali unsur materi ini yang telah menjadi masalah utama kenapa Indonesia tidak maju-maju. Mutu dan kualitas pendidikan Indonesia tidak pula menggembirakan. Kasus-kasus terhadap kegagalan-kegagalan terus menerus berulang. Tidak pintar-pintar mengambil hikmah dan pelajaran dari peristiwa dan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Ambil contoh Negara tetangga kita, Malaysia. Secara signifikan mereka jauh meninggalkan kita dalam hal akademis dan pembangunan. Lalu kemudian mari kita tarik ke belakang 20 tahun yang lalu, siapa dan bagaimana Malaysia dibanding Indonesia?

Ada kekhawatiran-kekhawatiran dalam hati ini. Sebelum masa kuliah berakhir, karena singkatnya waktu dan terbatasnya jam tatap muka, saya merasa belum mendapat apa-apa. Saya merasa apa yang seharusnya saya terima dari materi kuliah belum begitu maksimal. Belum optimal dengan luasnya dan padatnya materi untuk berselancar dalam ilmu-ilmu sosial. Sebab dimensi sosial saat ini sudah sedemikian kompleks. Kita tidak bisa menyalahkan seorang guru karena lalai ketika salah seorang siswa menjadi korban pembantaian teman-temannya di areal sekolah. Sungguh banyak aspek terkait yang perlu dibongkar dan diungkapkan pokok dasar masalahnya.

Dari masalah kangen, kuliah, baca buku, kerjain tugas dan main game, silih berganti menjadi aktivitasku. Namun setiap weekend ada aja acara bersama kawan-kawan gontorian main bulutangkis di Ciputat. Cukup membuat badan dan pikiran menjadi sehat. Kesehatan memang lebih mahal dari pada kekayaan dan kekuasaan apapun (kata Don Corleon dalam film Godfather). Sedangkan dalam kata mutiara mengatakan, kesehatan adalah semacam crown di atas kepala orang-orangnya, yang tidak diketahui oleh orang kecuali bagi yang sakit.

Jum’at, 4/5/2007, kemarin sempat pulang untuk melepaskan rindu kepada keluarga. Jakarta – semarang memang tidak jauh, tapi saya sendiri baru pulang kali ini semenjak lepas lebaran kemarin. Momen weekend saya kira paling tepat untuk pulang. Bisa tiga sampai empat hari di rumah, selasa balik untuk masuk kuliah siangnya. Cukup seru juga di rumah ketemu dengan ponakan-ponakan yang lucu-lucu. Semuanya pada kangen “lik” (oom)nya. Perkembangan di desa juga biasa-biasa saja tidak terdengar suatu gerakan-gerakan yang menggembirakan.

Sudah lama memang saya meninggalkan suasana dan romantisme kehidupan di desa. Sudah 15 tahun kiranya, 12 tahun di Gontor dan 3 tahun di Jakarta. Dulu semasa kecil masih teringat mandi di kali (sungai), main sepeda ke gunung, cari jangkrik malam-malam, main betengan, dan aneka cerita seru lainnya. Sekarang sudah berubah. Tidak ada lagi keceriaan-keceriaan itu lagi yang saya lihat. Paling-paling banyak pemuda-pemuda kumpul kongkow-kongkow tanpa tujuan jelas, kemudian anak-anak juga saling pamer motor. Nuansa-nuansa romantisme dan harmoni desa di zaman dulu sudah hilang tergilas oleh globalisasi. Mereka sudah kenal handphone, lebih memilih nonton sinetron, main internet, main playstation, dan lain-lain.

Suatu fenomena baru yang tidak perlu diantisipasi tapi dipikirkan bagaimana kita sebagai manusia menghadapinya. Bagaimana identitas kita dipertaruhkan di sini. Sebenarnya identitas kita itu apa sih, sebagai warga Negara Indonesia tentunya identitas kita adalah orang Indonesia. Yang menjadi pertanyaan bagaimanakah identitas orang Indonesia itu? Pancasilais kah? Atau plural? Sekular? Religius? Siapa yang bisa mendefinisikannya? Agar di kemudian hari tidak salah generasi-generasi selanjutnya menafsirkan identitas mereka sebagai bangsa Indonesia.

Gandul, 20 Mei 2007

Thursday, May 17

Globalisasi, apaan sich???



Istilah globalisasi terus menerus ada di sekitar kita. Kalau mendengar globalisasi yang terbersit dalam benak saya sesuatu yang serba lintas batas, teknologi modern, dan pengaruh asing. Sepertinya kata globalisasi sudah tidak asing lagi di telinga kita. Apalagi dalam dunia antropologi, istilah ini kerap dibawa-bawa untuk menunjukkan perubahan yang terjadi pada lapangan penelitian. Dalam materi metodologi teori dan praktik, yang diajarkan oleh trio antropolog UI; Iwan Tjitradjaja, Sulistyowati Irianto, dan Suraya Afif, seluruh program pascasarjana antropologi ditugasi untuk mengadakan penelitian dengan tema globalisasi. Secara khusus mengambil tempat penelitian di Detos dan Margo City Depok. Jadi penelitian kawan-kawan terfokus pada bagaimana warga depok mengalami globalisasi sehari-hari di Mal.

Dari satu tempat penelitian sudah terdapat banyak peristiwa dan gejala di setiap sudut yang dapat kami ambil sebagai judul penelitian masing-masing kelompok yang terbagi menjadi tujuh kelompok. Saya sendiri bersama Yusran dan Endang Rudiatin mengambil tema “
Representasi Identitas Serta Tafsir Remaja Atas Life Style di Mal: Studi Kasus Remaja Depok”. Meski judul tersebut belum bersifat baku, namun dari situ kami dapat memfokuskan penelitian pada remaja, bagaimana mereka memaknai globalisasi sehari-hari yang mereka representasikan melalui identitas tertentu. Minggu-minggu sampai depan adalah proses abstraksi dan penulisan setelah berlelah-lelah menulis fieldnotes, coding-memoing dan analisa data.

Jum’at 11/5/2007, pukul 13.30 WIB di blok cafĂ© FISIP UI ada bedah buku karya Firmansyah, Ph.D, Dosen FE-UI, yang berjudul “Globalisasi – Sebuah Proses Dialektika Sistemik”. Yang melatarbelakangi penulisan buku ini, menurut penulis, keragaman pengalaman yang alami selama berada di luar negeri tempat ia belajar baik di Amerika, Perancis maupun di negara lainnya. Bahwa isu globalisasi tidak hanya dibicarakan di Indonesia, di Perancispun, Negara yang sudah maju isu ini tidak kalah pentingnya dengan isu politik. Dalam suatu petikan peristiwa ia dapatkan di sana, bahwa kumpul kebo itu malah tidak dilarang tapi malah diperkuat oleh hukum sebab dengan kumpul kebo bisa mengurangi nilai pajak pendapatan. Pengurangan pajak pendapatan tidak hanya berlaku bagi suami istri yang sah.

Menurutnya, globalisasi adalah sebuah proses untuk menjadi global. Sedangkan konsep global mengacu pada sebuah kondisi dimana terdapat interkoneksi yang terjadi secara intens dari berbagai macam karakteristik lokalis dimana kejadian di suatu wilayah berdampak pada kondisi di luar wilayah bersangkutan. Karena begitu banyaknya definisi tentang globalisasi, seperti dari Anthony Gidden (1990), yang menyebutkan bahwa proses globalisasi ditandai oleh intensifikasi hubungan antar wilayah, dimana peristiwa yang terjadi di luar sana akan mempengaruhi kondisi dalam negeri di suatu tempat. Ada yang mengaitkan globalisasi dengan konsep deteritorialisasi (Kearney, 1995). Ide ini mengacu pada pemahaman bahwa aktivitas produksi, konsumsi, ideologi, komunitas, politik, budaya dan identitas melepaskan diri dari ikatan lokal. Ada dua mekanisme dalam pandangan ini; pertama, melalui ekstensifikasi hegemoni suatu negara atau diaspora kelompok masyarakat tertentu melalui migrasi dan pengungsian seperti keberadaan negara superpower Amerika dan pengaruh imigran yang tinggal di Perancis. Kedua, melalui konsep hyperspace yang berarti runtuhnya tembok-tembok batas lokal dalam ruang imajiner atau virtual seperti hadirnya internet, handphone dan lainnya.

Globalisasi juga diterjemahkan sebagai suatu proses integrasi manusia yang melewati batas-batas negara dan bangsa (Pieterse, 2000). Globalisasi juga diindikasikan oleh time-space compression (Robinson, 2001). Hal ini juga pernah diungkapkan oleh McLuhan di tahun 60-an bahwa dunia mengarah pada suatu kondisi yang dinamakan global village sebagai akibat dari akselerasi interaksi manusia di seluruh dunia. Dalam bukunya globalisasi, bahwa proses ini mengacu pada seluruh proses sosial, ekonomi, budaya dan geografis yang terjadi pada banyak negara dimana proses tersebut telah memberikan banyak batasan bagi kebebasan pengembangan identitas dan institusi lokal dalam suatu daerah.

Dalam keterangan globalisasi di atas dapat dibaca dengan seksama, bahwa terjadinya globalisasi meski terkait dengan isu lokal dan global, bagaimanakah posisi identitas lokal?. Globalisasi ini peluang atau tantangan?. Secara lebih ekstrim, rahmat atau laknat?. Ada standar global dan ada standar lokal. Pada suatu negara, terjadi perlawanan antara tekanan global dan lokal atau regional. Terjadilah benturan kepentingan. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah dengan globalisasi apakah membuat manusia semakin menutup diri atau membuka diri. Bisa kedua-duanya, jawab Firmanzah.

Keberagaman adalah implikasi dari proses globalisasi itu sendiri. Sedangkan dampak dari globalisasi, menurut I Putu Gede Ary Suta, bisa positif bisa juga negatif. Positifnya seperti dirinya bisa bersekolah di beberapa universitas di luar negeri sampai tamat, itu karena globalisasi. Akses dan kesempatan untuk belajar di luarnegeri dengan beasiswa menurutnya adalah suatu implikatif dari proses globalisasi. Sedangkan negatifnya, dapat kita lihat pada media massa bagaimana negara-negara miskin yang menjadi budak para pengendali globalisasi itu. Sebagai salah satu pembicara Putu sampaikan sebuah pidato Bush yang singkatnya menerangkan bahwa Bush dengan tegas mengatakan pada setiap negara untuk memutuskan bersama US atau di luar US (yang berarti dianggap musuh oleh dia), kalau ikut bersama US mari ikut aturan yang sudah kita buat. Secara eksplisit menjelaskan suatu hegemoni suatu negara adidaya atas negara-negara yang tidak berdaya. Bagaimana kita bersikap dan beradaptasi dengan globalisasi? Secara lebih besar, bagaimana Indonesia mengambil sikap dalam hal ini? Lalu bagaimana pula dengan kedaulatan Republik Indonesia.

Connie Rahakundini Bakrie, pembicara lainnya mengaitkan globalisasi dengan isu pertahanan. Bahwa pertahanan menurut Juwono Sudarsono adalah isu anyone, anywhere dan anytime. Antara kedaulatan satu Negara dipengaruhi oleh Negara lain. Kalau dalam pengertiannya fisiknya yaitu batas territorial, tapi secara umum kaitan dengan globalisasi, mencakup aspek yang lebih luas lagi yang diistilahkannya dengan “euphoria globalisasi”. Ia mengutip pertanyaan seorang jenderal VOC J.P. Coen yang mengatakan bahwa perang dan dagang tidak dapat dipisahkan. Yang pada akhirnya ia menanyakan bagaimana Indonesia mengelola globalisasi ini? coba lihat sikap pemerintah dengan keberadaan perusahaan-perusahan asing MNC (multi national corporation) yang mengekploitasi kekayaan dan sumberdaya alam Indonesia. Bagaimana tidak malu, Singapura yang luasnya hanya selebar kabupaten Sidoarjo (yang sekarang mau dibenamkan oleh perusahaan lokal sendiri “Lapindo Brantas”) menjadi negara pengeskpor ikan terbesar di Asia Tenggara. Malaysia menjadi pengekspor kayu lapis terbesar. Darimana ikan mereka, pantai mereka tidak ada apa-apanya dengan pantai Indonesia. Dari mana kayu mereka, hutan mereka tidak seluas hutan Indonesia. Dua hari yang lalu saya membaca sebuah Koran yang memberitakan bahwa kita layak dikasih pemecah rekor dari Guinness Book dengan prestasi Negara paling cepat penghancur hutan di dunia. Banggakah kita? Jawab salah seorang menteri yang dituduh korupsi, sekarang syukur sudah direshuffel, wallahu a’lam bisshawab.

Saya kemudian berpikir, Indonesia yang terdiri dari 13.000 pulau lebih, lebih dari 500 suku dengan dialek bahasanya yang ragam, bagaimana pemerintah dapat mengendalikan semuanya. Dengan kencangnya proses globalisasi ini bukan tidak mungkin seorang Indonesia sulit untuk menunjukkan identitasnya sebagai seorang Indonesia akibat persinggungan dari berbagai macam budaya dan nilai asing. Bagaimanakah semestinya identitas seorang Indonesia itu? Apakah bhineka tunggal ika bisa dikatakan sebagai identitas Indonesia? Pertarungan antara lokal dan global, mana yang menang? Mari kita lihat secara politis, ekonomis dan sosial fenomena berdirinya Carefoour, Giant, Matahari, Alfamart, dan Indomart. Apa dampak dari perbuatan para kapitalis sebagai agen dari globalisasi?

Dalam penelitian kami juga sangat terlihat jelas bagaimana subkultur yaitu budaya anak remaja di sebuah kota pinggiran Jakarta, mengalami globalisasi. Depok yang tumbuh dengan pesatnya telah menjadi arena globalisasi. Dimana tumbuh mal-mal, pusat-pusat hiburan dan membanjirnya kaum urban yang tinggal di Depok. Di penghujung tahun 1998-an pusat belanja di Depok yang ada hanya Ramayana. Sekarang sudah banyak sekali, ada ITC Depok, Mal Depok, DTC, Detos, dan Margocity. Suatu kemajuan yang cepat. Para remaja SMP pegangannya Handphone 3G dengan fasilitasnya yang lengkap, pakaiannya meniru model yang ia lihat suatu majalah fashion, rambutnya ia tata kayak bintang pujaannya, dan aksesorisnya adalah referensi dari iklan tv yang ia tonton. Wow, biar gaya abis gitu loh, biar keren gitu loh, dan biar-biar seterusnya. Apakah ini yang menjadi identitas mereka sebagai seorang Indonesia. Apa bedanya mereka dengan remaja sebuah kota di Malaysia atau di Jepang?
Sekali lagi globalisasi peluang atau tantangan, rahmat atau laknat?

Depok, 11 Mei 2007

Antropologi Banget….!!!



Di antara tujuh hari dalam seminggu, hari Kamis adalah hari yang menurut saya menghebohkan. Sejak minggu ke-10 setelah kita penelitian di Mall, kita kembali ke dalam ruang kelas. Bila di lapangan kita berjihad mencari informan untuk dapat diwawancarai lalu kita catat peristiwa itu secara menulis laporan. Ini apa yang dinamakan dengan catatan lapangan atau dalam penelitian kualitatif dikenal dengan fieldnote. Fieldnote adalah suatu yang esensi dalam suatu penelitian kualitatif. Seorang antropolog bernama Sanjek sampai memberi judul bukunya yang berisi mengenai catatan lapangan penelitian dengan judul “Fieldnotes the Making of Anthropology”. Dari namanya saja sudah dapat dibaca bahwa kalau ingin mengadakan penelitian antropologi maka harus buat fieldnote (catatan lapangan).

Bagaimana seorang Geertz yang tinggal selama 6 tahun di Jawa, di Mojokuto dan juga di Tabanan Bali, telah membuat banyak buku antropologi dari catatan lapangan. Tak terbayang setiap hari ia harus menulis setiap peristiwa yang terjadi. Salah satu yang menarik adalah ketika ia ingin meneliti tentang sambung ayam di salah satu daerah di Bali. Ia agak sulit membangun rapor dengan penduduk. Diperkirakan mungkin ia adalah bule orang asing sama seperti penjajah belanda sebelumnya. Namun tak sengaja suatu hari lagi asyik-asyik menonton sabung ayam, para polisi menggrebek tempat itu. Kontan saja seluruh penyabung dan para penonton kucar kacir lari tunggang langgang. Geertz pun ikut lari. Ia mengikuti beberapa orang yang lalu kemudian masuk rumah sembunyi di bawah meja. Sejak saat itu, penduduk merasa ia juga adalah sama seperti mereka tidak orang lain. Buktinya ia juga ikut lari waktu polisi datang menggrebek. Setelah itu rapornya bagus di mata penduduk bahkan ia dikenalkan pada yang lainnya.

Begitulah bagaimana seorang antropolog ketika penelitian di daerah. Sesungguhnya masih banyak lagi cerita mengenai serba serbi para peneliti ketika melakukan penelitian. Ada Anna Tsing, Professor dari Universitas California Santa Cruz, yang melakukan penelitian di Kalimantan lalu dituangkan dalam bukunya Friction dan In the Realm of Diamond Queen. Daftar panjang para antropolog dari luar negeri yang melakukan penelitian di bumi tercinta tanah air Indonesia. Namun aku belum mendengar seorang antropolog Indonesia yang betul-betul terkenal karya penelitiannya di Indonesia. Beberapa antropolog domestik yang saya kenal lebih banyak disibukkan mengajar di kampus kalau tidak sibuk mengerjakan proyek di luar daerah.

Kegiatan penelitian antropologis
Hari kamis, kami mahasiswa antropologi baik s2 maupun yang program doktor, sama-sama sibuk. Masing-masing kelompok sibuk menyiapkan laporan progress penelitiannya dan mempresentasikan di depan kelas. Saya sekelompok dengan mbak Endang Rudiatin dan Yusran Darmawan. Dah dua minggu ini saya kalang kabut mengerjakan tugas. Puncaknya adalah kamis kemarin. Pagi aku harus presentasi untuk materi Antropologi Hukum, siangnya kita presentasi untuk penelitian kita. Pagi-pagi aku selesaikan bahan presentasi saya yang berbentuk powerpoint sebelum jam tujuh. Setengah jam kemudian saya sudah berangkat ke kampus untuk presentasi jam delapan.

Perasaan agak canggung juga ketika presentasi sebab selama ini saya cuma lihat orang presentasi. Apalagi sebagian bahan materi yang aku buat dalam bahasa inggris. Bagaimana pula saya harus menyampaikan layaknya sebagai seorang antropolog dan seorang ahli hukum. Materi yang aku sampaikan adalah mengenai legal empowerment, suatu gerakan pemberdayaan hukum untuk orang-orang miskin dan orang-orang di bawah intimidasi serta diskriminasi oleh pihak lain. Bagaimana hukum bekerja buat mereka tidak malah melawan mereka. Aku presentasi dari jam 08.10 dan berakhir pukul 09.15 menit, wah satu jam lebih aku presentasi. Sambutan tepuk tangan menyertai salam penutup saya, wah gembira rasanya. “kamu tadi presentasinya bagus, kayak ahli hukum saja, banyak istilah-istilah baru yang baru saya dengar” kata Yusran.

Alhamdulillah sudah selesai satu. Aku dan kelompok penelitianku menyiapkan materi yang akan kita presentasikan siang itu. Kebetulan bahan yang akan kita print banyak, akhirnya aku pergi ke tempat ust. Husnan, sebab di sana kemarin aku sudah isi ulang catridgenya. Kita mendapat giliran kedua setelah kelompoknya mas Reza. Hanya saja yang datang dari dosen pembimbing cuma bu suraya, pak iwan dan bu sulis menguji disertasi. Presentasi kita bisa dibilang cukup berhasil, banyak hal-hal menarik yang kita temukan di lapangan. Catatan lapangan kita termasuk yang paling rinci dan lengkap, tantangannya kemudian bagaimana kita dapat memanfaatkan data-data tersebut dengan baik menjadi suatu penelitian yang menarik. Penelitiannya kita beri judul “Representasi Identitas Serta Tafsir Remaja Atas Life Style di Mal: Studi Kasus Remaja Depok”. Yang seru adalah ketika kita diprotes atau kalau boleh dibilang diserang oleh kelompok sebelumnya mengenai cara Coding & Memoing. Mereka menganggap telah melakukan seperti apa yang telah kita lakukan minggu kemarin, tapi oleh pak iwan mereka disalahkan lalu mereka memperbaikinya lagi. Sekarang mereka juga dipermasalahkan. Yusran lalu menjawab kalau yang dipresentasikannya itu hasil dari temuan kita bersama dan sesuai dari fieldnotes. Aku juga angkat bicara, bahwa dalam penelitian seorang peneliti di lapangan diberi kebebasan untuk


Tugas mulia antropolog
Setelah setahun berjalan kuliah di Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia. Saya merasa banyak menemukan tantangan. Kelemahan demi kelemahan, kekurangan demi kekurangan mulai saya sadari. Yang artinya, semakin kita banyak tahu, semakin banyak pula hal-hal yang tidak kita ketahui. Apalagi masalah sosial dengan fenomena yang terus bergerak dan berubah. Masalah-masalah semakin kompleks dan rumit. Tidak cukup hanya melihat secara lahir dari peristiwa lalu menjustifikasi masalahnya seperti ini. Tapi bisa jadi masalah yang terjadi adalah implikasi dari masalah-masalah yang sudah berakumulasi lama.

Para pejabat pemerintah dan politisi yang bertugas mengurus ketidakberesan di negeri ini sepertinya tidak mampu membantu para rakyatnya mendapat kesejahteraan dan kemakmuran sebagaimana yang dicita-citakan semenjak kemerdekaan Indonesia. Sehingga jarang gerakan-gerakan empowerment dari rakyat yang dibuat oleh pemerintah. Rakyat dibiarkan bodoh, kelaparan, tidak berpendidikan sehingga mudah dikendalikan. Masalah kapasitas dan legitimasi rakyat kecil yang selalu dimarjinalkan. Sehingga program pengentasan kemiskinan dan usaha peningkatan ekonomi yang menurut ukuran pemerintah semakin baik, tapi tidak merubah nasib rakyat miskin sama sekali. Selain kemiskinan juga terjadi intimidasi dan diskriminasi yang membuat masalah semakin rumit. Fenomena-fenomena sosial semacam ini menjadi konsen kami. Semoga ke depan para antropolog mendapat tempat lebih luas untuk dapat berkontribusi dan ikut berpartisipasi dalam membangun bangsa ini.