Thursday, May 17

Antropologi Banget….!!!



Di antara tujuh hari dalam seminggu, hari Kamis adalah hari yang menurut saya menghebohkan. Sejak minggu ke-10 setelah kita penelitian di Mall, kita kembali ke dalam ruang kelas. Bila di lapangan kita berjihad mencari informan untuk dapat diwawancarai lalu kita catat peristiwa itu secara menulis laporan. Ini apa yang dinamakan dengan catatan lapangan atau dalam penelitian kualitatif dikenal dengan fieldnote. Fieldnote adalah suatu yang esensi dalam suatu penelitian kualitatif. Seorang antropolog bernama Sanjek sampai memberi judul bukunya yang berisi mengenai catatan lapangan penelitian dengan judul “Fieldnotes the Making of Anthropology”. Dari namanya saja sudah dapat dibaca bahwa kalau ingin mengadakan penelitian antropologi maka harus buat fieldnote (catatan lapangan).

Bagaimana seorang Geertz yang tinggal selama 6 tahun di Jawa, di Mojokuto dan juga di Tabanan Bali, telah membuat banyak buku antropologi dari catatan lapangan. Tak terbayang setiap hari ia harus menulis setiap peristiwa yang terjadi. Salah satu yang menarik adalah ketika ia ingin meneliti tentang sambung ayam di salah satu daerah di Bali. Ia agak sulit membangun rapor dengan penduduk. Diperkirakan mungkin ia adalah bule orang asing sama seperti penjajah belanda sebelumnya. Namun tak sengaja suatu hari lagi asyik-asyik menonton sabung ayam, para polisi menggrebek tempat itu. Kontan saja seluruh penyabung dan para penonton kucar kacir lari tunggang langgang. Geertz pun ikut lari. Ia mengikuti beberapa orang yang lalu kemudian masuk rumah sembunyi di bawah meja. Sejak saat itu, penduduk merasa ia juga adalah sama seperti mereka tidak orang lain. Buktinya ia juga ikut lari waktu polisi datang menggrebek. Setelah itu rapornya bagus di mata penduduk bahkan ia dikenalkan pada yang lainnya.

Begitulah bagaimana seorang antropolog ketika penelitian di daerah. Sesungguhnya masih banyak lagi cerita mengenai serba serbi para peneliti ketika melakukan penelitian. Ada Anna Tsing, Professor dari Universitas California Santa Cruz, yang melakukan penelitian di Kalimantan lalu dituangkan dalam bukunya Friction dan In the Realm of Diamond Queen. Daftar panjang para antropolog dari luar negeri yang melakukan penelitian di bumi tercinta tanah air Indonesia. Namun aku belum mendengar seorang antropolog Indonesia yang betul-betul terkenal karya penelitiannya di Indonesia. Beberapa antropolog domestik yang saya kenal lebih banyak disibukkan mengajar di kampus kalau tidak sibuk mengerjakan proyek di luar daerah.

Kegiatan penelitian antropologis
Hari kamis, kami mahasiswa antropologi baik s2 maupun yang program doktor, sama-sama sibuk. Masing-masing kelompok sibuk menyiapkan laporan progress penelitiannya dan mempresentasikan di depan kelas. Saya sekelompok dengan mbak Endang Rudiatin dan Yusran Darmawan. Dah dua minggu ini saya kalang kabut mengerjakan tugas. Puncaknya adalah kamis kemarin. Pagi aku harus presentasi untuk materi Antropologi Hukum, siangnya kita presentasi untuk penelitian kita. Pagi-pagi aku selesaikan bahan presentasi saya yang berbentuk powerpoint sebelum jam tujuh. Setengah jam kemudian saya sudah berangkat ke kampus untuk presentasi jam delapan.

Perasaan agak canggung juga ketika presentasi sebab selama ini saya cuma lihat orang presentasi. Apalagi sebagian bahan materi yang aku buat dalam bahasa inggris. Bagaimana pula saya harus menyampaikan layaknya sebagai seorang antropolog dan seorang ahli hukum. Materi yang aku sampaikan adalah mengenai legal empowerment, suatu gerakan pemberdayaan hukum untuk orang-orang miskin dan orang-orang di bawah intimidasi serta diskriminasi oleh pihak lain. Bagaimana hukum bekerja buat mereka tidak malah melawan mereka. Aku presentasi dari jam 08.10 dan berakhir pukul 09.15 menit, wah satu jam lebih aku presentasi. Sambutan tepuk tangan menyertai salam penutup saya, wah gembira rasanya. “kamu tadi presentasinya bagus, kayak ahli hukum saja, banyak istilah-istilah baru yang baru saya dengar” kata Yusran.

Alhamdulillah sudah selesai satu. Aku dan kelompok penelitianku menyiapkan materi yang akan kita presentasikan siang itu. Kebetulan bahan yang akan kita print banyak, akhirnya aku pergi ke tempat ust. Husnan, sebab di sana kemarin aku sudah isi ulang catridgenya. Kita mendapat giliran kedua setelah kelompoknya mas Reza. Hanya saja yang datang dari dosen pembimbing cuma bu suraya, pak iwan dan bu sulis menguji disertasi. Presentasi kita bisa dibilang cukup berhasil, banyak hal-hal menarik yang kita temukan di lapangan. Catatan lapangan kita termasuk yang paling rinci dan lengkap, tantangannya kemudian bagaimana kita dapat memanfaatkan data-data tersebut dengan baik menjadi suatu penelitian yang menarik. Penelitiannya kita beri judul “Representasi Identitas Serta Tafsir Remaja Atas Life Style di Mal: Studi Kasus Remaja Depok”. Yang seru adalah ketika kita diprotes atau kalau boleh dibilang diserang oleh kelompok sebelumnya mengenai cara Coding & Memoing. Mereka menganggap telah melakukan seperti apa yang telah kita lakukan minggu kemarin, tapi oleh pak iwan mereka disalahkan lalu mereka memperbaikinya lagi. Sekarang mereka juga dipermasalahkan. Yusran lalu menjawab kalau yang dipresentasikannya itu hasil dari temuan kita bersama dan sesuai dari fieldnotes. Aku juga angkat bicara, bahwa dalam penelitian seorang peneliti di lapangan diberi kebebasan untuk


Tugas mulia antropolog
Setelah setahun berjalan kuliah di Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia. Saya merasa banyak menemukan tantangan. Kelemahan demi kelemahan, kekurangan demi kekurangan mulai saya sadari. Yang artinya, semakin kita banyak tahu, semakin banyak pula hal-hal yang tidak kita ketahui. Apalagi masalah sosial dengan fenomena yang terus bergerak dan berubah. Masalah-masalah semakin kompleks dan rumit. Tidak cukup hanya melihat secara lahir dari peristiwa lalu menjustifikasi masalahnya seperti ini. Tapi bisa jadi masalah yang terjadi adalah implikasi dari masalah-masalah yang sudah berakumulasi lama.

Para pejabat pemerintah dan politisi yang bertugas mengurus ketidakberesan di negeri ini sepertinya tidak mampu membantu para rakyatnya mendapat kesejahteraan dan kemakmuran sebagaimana yang dicita-citakan semenjak kemerdekaan Indonesia. Sehingga jarang gerakan-gerakan empowerment dari rakyat yang dibuat oleh pemerintah. Rakyat dibiarkan bodoh, kelaparan, tidak berpendidikan sehingga mudah dikendalikan. Masalah kapasitas dan legitimasi rakyat kecil yang selalu dimarjinalkan. Sehingga program pengentasan kemiskinan dan usaha peningkatan ekonomi yang menurut ukuran pemerintah semakin baik, tapi tidak merubah nasib rakyat miskin sama sekali. Selain kemiskinan juga terjadi intimidasi dan diskriminasi yang membuat masalah semakin rumit. Fenomena-fenomena sosial semacam ini menjadi konsen kami. Semoga ke depan para antropolog mendapat tempat lebih luas untuk dapat berkontribusi dan ikut berpartisipasi dalam membangun bangsa ini.

No comments: