Monday, January 28

Penelitian ke pondok


Betapa syukurnya aku bisa memulai kegiatan penelitianku. Tempat yang jadi objek kajian saya tak lain adalah almameter saya dulu, Gontor. Lengkapnya Pondok Modern Darussalam Gontor. Gontor sekarang dengan 3-4 tahun yang lalu sudah banyak berubah. Tentunya perubahan menjadi lebih baik dan maju lagi. Baik dari segi manajemen dan sistemnya. Begitu cepat perkembangan yang terjadi sampai akhir tahun 2007 ini. Khusus di tahun 2007 saja berdiri 4 cabang pondok di tempat-tempat yang berbeda, di Aceh, Kediri, Lampung dan Poso. Untuk yang terakhir belum selesai betul pembangunannya.

Berangkat dari rumah ke tempat penelitian tanggal 22 Januari 2008, namun baru tanggal 24 sampai di Gontor. Sebelumnya mampir dan menginap di Gontor Putri di Mantingan. Dengan mengendarai sepeda motor saya menempuh perjalanan. Alhamdulillah dalam perjalanan, lancar-lancar saja. Rencananya siang itu ketemuan dengan seorang kawan dari Surabaya di Mantingan. Baru kemudian ta'ziyah ke Klaten, tempat almarhumah Ny. Kastiani, istri Ust. Hidayat Nur Wahid akan dimakamkan. Oleh karena kedatangan teman agak siang, setengah dua belas, maka rencana itupun batal.


Keesokan harinya saya pun ke Gontor. Menempuh perjalanan dari dalam rute Walikukun - Magetan - Parang lalu tembus Ponorogo. Lumayan jauh juga jalannya.Yang penting tidak terlalu panas dan tidak bersimpangan dengan mobil-mobil berbodi besar. Rute yang saya tempuh memang melewati hutan dan perbukitan. Satu rute dengan perjalanan yang akan menuju Telaga Sarangan Magetan, tapi lain arah tujuan.


Tiba di Gontor saya langsung menuju kantor sekretaris. Siang itu panas banget. Saking gerah dan panasnya, saat itu turun hujan tapi kondisi langit lagi terang. Hanya sebagian yang tertutup awan. Batal pula rencanaku untuk langsung bersilaturrahim ke rumah bapak Pimpinan, KH. Abdullah Syukri di rumah barat kampus. Baru selesai magrib saya dapat berjumpa di kantor Pimpinan. Pertanyaan pertama beliau menanyakan posisi saya sekarang di mana dan sedang apa. Pertanyaan selanjutnya menanggapi tentang rencana penelitian saya, tentang apa yang diteliti dan mana proposalnya.


Hari ini memasuki hari ke 6 saya penelitian. Berbagai macam data dari observasi, wawancara dan dari beberapa dokumentasi telah saya kumpulkan, termasuk wawancara dengan salah satu Pimpinan Pondok. Yang paling melelahkan adalah menulis hasil observasi. Dalam ilmu kita, antropologi, itu dinamakan penulisan fieldnote atau catatan lapangan. Sepertinya ini juga menjadi fokus saya juga. Mengingat bukan hanya thesis yang dibuat dan diserahkan waktu mau ujian nanti, tapi juga catatan lapangan harus diserahkan.


Wahhh..wahhh sampai sini dulu, ntar nyambung. Masih banyak yang perlu diceritakan. Mybe, mau buat laporan mengenai penelitian ini buat pembimbing thesis.

Merayakan Ultah Ibu


Tanggal 19 Januari adalah kelahiran ibuku. Sabtu itu, tepat 56 tahun yang lalu beliau dilahirkan. Di usianya yang sudah berkepala lima ini masih saja beliau bertugas layaknya masih berumur 40 tahunan. Beginilah seorang yang mencintai tugas dan amanah profesi yang lagi disandangnya. Sejak dua tahun yang lalu beliau diangkat menjadi penilik sekolah atau supervisor untuk sekolah-sekolah dasar di kecamatan Tegowanu, 15 Km dari rumah. Jika bolak balik rumah dan kantor menempuh jarak kurang lebih 30 km, belum lagi kalau harus keliling.

Medan dan keadaan jalan, kondisi motor dan badan, setiap saat menjadi perhatiannya. Terkadang jika capek, ngaso lebih dahulu di tempat kakak nomor dua yang rumahnya dekat kantor. Baru sore hari pulang ke rumah. Begitulah rutinitas harian. Alhamdulillah tahun ini beliau mendapat motor dinas. Sepertinya tambah semakin semangat. Meski saat saya di rumah, ia mengeluh kecapean sehabis kemarin ke yogya lalu esoknya berangkat rapat ke kabupaten.

Sabtu malam itu, rencana anak-anak untuk memberi surprise ultah ke beliau. Alhamdulillah saat itu semua bisa berkumpul. Termasuk saya yang sering absen pada saat acara-acara keluarga di rumah. Maklum Jakarta - Semarang tidaklah dekat. Sebelumnya juga posisi di pondok Gontor yang tidak mudah meninggalkan tugas dan aktivitas.


Masing-masing memberi hadiah (present). Kakak pertama, Tyas
Arifianti, memberi sebuah kado berisikan dompet cantik. Kakak kedua, Dwi Sulistyaningsih, mengasih aneka aksesoris. Saya sendiri yang ketiga, memberi kado berisi buku file yang terbungkus dengan kain sutra ditambah kain halus. Sedangkan adik, Dodik Arif Kurniawan, memberi lebih surprise lagi HP Nokia N70. Wah senang sekali hati ibu saat itu, begitu juga bapak yang telah membuka acara tersebut dengan wejangannya.

Acara dimulai dengan peniupan lilin diiringi lagu selamat ulang tahun. Lalu kue dipotong dan dibagi. Selanjutnya, pembukaan kado-kado. Setelah itu baru makan-makan yang sudah disiapkan oleh kakak pertama, sebab acara berlangsung di rumah lama yang sekarang dipakai tempat klinik kakak pertama. Terakhir, acara ditutup dengan pengajian yang diisi oleh suami kakak pertama, Mas Haris Budiatna.


Selamat Ulang Tahun Ibuku tercinta, semoga panjang umur, bermanfaat dan sehat selalu. Dan jangan lupakan doakan anak-anakmu berhasil di dunia dan akhirat. Saleh dan salehat bisa mendoakan kedua orangtuanya. Karena doa ibu akan didengar dan dikabulkan oleh Allah SWT.
Amin Ya Rabbal 'alamin

Monday, January 7

Menyongsong tahun baru hijriah




Malam selasa, 7/1/2008, saya hendak menemui kawan di Pancoran. Di antara jalan Kalibata - Pancoran saya menyaksikan kerumunan massa berbaju putih. Semuanya terkonsenstrasi di sebuah Masjid yang terletak tepat di depan pertigaan Perdatam. Keramaian tersebut tak pelak mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Selain konsentrasi massa terlihat juga banyak motor-motor yang diparkir di bahu-bahu jalan. Sehingga memakan sebagian jalan yang dipakai untuk jalur umum. Meskipun demikian banyak petugas yang juga berbaju seperti jubah putih ikut menertibkan lalu lintas sepanjang lokasi acara yang bersentuhan langsung dengan jalan raya.

Suatu pemandangan yang lazim terjadi. Jika telah selesai lebaran Haji - sebutan untuk idul adha - maka umat Islam bersiap menyongsong datangnya pergantian tahun hijriah. Tahun ini kebetulan datang tahun baru Islam berdempetan dengan tahun baru umum. Selisihnya hanya 10 hari. Umat Islam ramai-ramai menggelar pengajian. Bahkan ada sebagian partai politik atau kelompok tertentu menggunakan kesempatan tersebut untuk konsolidasi kelompoknya.

Kalender hijriah yang berlaku di Islam berbeda dengan kalender syamsiah pada umumnya. Hitungan kalender hijriah berdasarkan peredaran bulan, sedangkan kalender syamsiah berdasarkan matahari. Jika dalam satu hitungan kalender syamsiyah, sebagaimana dalam ilmu pengetahuan alam menyebutkan, berjumlah 365 hari. Namun hitungan hijriah bisa kurang dari itu. Biasanya umat Islam lebih berpatokan dengan kalender hijriah ini dalam menentukan hari-hari besarnya. Metode yang dipakai bisa dengan rukyat maupun hisab.

Sebenarnya merayakan tahun baru Islam bukanlah tradisi Islam yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad SAW. Peringatan serupa berawal dari tradisi yang dibuat oleh Salahudin al Ayoubi. Ketika umat Islam saat itu bertempur melawan serangan kaum salib Nasrani. Perayaan dengan tujuan untuk membangkitkan semangat dan jihad para muslimin yang terlibat dalam pertempuran tersebut ternyata berhasil. Pasukan muslimin mampu menangkis dan balik memukul mundur tentara salib.

Kalender hijriah mula-mula digagas semasa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab dengan berpatokan pada saat hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah. Sedangkan, sebelumnya, umat Islam masih menggunakan kalender dengan patokan matahari, bulan dan bintang secara manual. Kemudian ketrampilan dalam menghitung kalender dan melihat arah mata angin tersebut disebut dengan ilmu falak.

Suatu pemandangan yang paradoksal. Dimana ada dua tradisi berbeda. Tradisi dalam merayakan dua tahun baru. Tahun baru Islam dan tahun baru pada umumnya. Yang saya saksikan di malam tahun baru melalui layar kaca seminggu yang lalu sangatlah fantastis, mewah dan boros. Di beberapa pusat kota dibuat semacam acara meriah dengan dana yang jutaan sampai miliaran. Di saat saudara-saudara lainnya sesama indonesian mengalami beberapa musibah.
Sedangkan di kota yang sama. Perayaan tahun baru bagi umat Islam berlangsung dengan khidmat. Tidak ada yel-yel maupun pekikan terompet. Pesta kembang api pun juga tidak kelihatan. Mereka melangsungkan perayaan dengan pengajian bersama sambil berintrospeksi diri dan berdzikir kepada Tuhannya. Sebagai tanda syukur atas nikmat yang telah dikaruniakan kepadanya.

Namun apakah tradisi seperti ini berlaku bagi seluruh muslimin di Indonesia. Menurut saya, tradisi ini belum merata di seluruh Indonesia. Tradisi untuk turun semua dalam satu acara, satu warna, satu misi, belum bisa terwujud. Keragaman umat Islam sendiri yang menjadi penyebabnya. Sehingga sosialisasi untuk memuliakan tradisi-tradisi Islam untuk meningkatkan rasa kebersamaan masih jauh rasanya. Meskipun begitu, pada akhir dekade 90-an telah banyak momentum yang diselenggarakan untuk maksud tersebut. Walau masih berskala kecil, namun ini juga berarti untuk lebih memberi corak generasi muslim Indonesia selanjutnya. Selamat Tahun Hijriah 1430.

Pancoran, 8/1/2008

Ba'da Subuh

Ke Mantingan - Gontor pas banjir



Senin, 24/12/07


Cuaca siang hari itu tidak terlalu panas. Malah awan sudah ditutup oleh mendung tipis. Cahaya mentari pun seperti ada yang menutupi. Sungguh waktu yang tepat untuk menikmati pemandangan gunung. Maklumlah Sarangan adalah sebuah telaga yang terletak di daerah pegunungan. Termasuk dalam wilayah Magetan.


Ada berbagai alternatif jalan menuju Sarangan. Kalau dari arah Solo atau Mantingan, kita bisa lewat ngawi atau Maospati. Tapi kita lebih memilih jalan pintas lewat Ngrambe atau Walikukun. Meski jalannya tidak seluas jalan Ngawi - Maospati, namun suasana dan pemandangannya lebih menjadi daya tarik tersendiri. Selain itu, jalan yang akan kita tempuh ternyata lebih singkat.

Pemandangan di telaga Sarangan tidak berubah. Kalau saya hitung, saya sudah hampir sepuluh kali datang ke tempat ini. Hanya saja, sekarang jalan kanan kiri telaga sudah dipadati oleh pedagang kaki lima. Jadi, untuk mengitari telaga dengan mobil kita harus bersabar. Sebab, selain mobil masih ada kendaraan lain yang ikut meramaikan lalu lintas di samping telaga yaitu para pengendara kuda dan sepeda motor.


Setelah mencari tempat yang aman dan sejuk. Kita buka bekal. Acaranya adalah makan siang. Meski waktunya sudah tidak siang lagi. Berbagai jenis masakan dari daging-dagingan hasil pemberian dari ied kurban kita bawa. Ada yang sudah berbentuk rendang, oseng-oseng hati dan ada juga yang digoreng. Untuk menghangatkan dinginnya udara yang menghantam tubuh kita, kita pesan wedang ronde. wuah mantap segerrrrrrrrrrrr.


Ba'da Ashar kita buru-buru pulang. Sebab ust. Fairus diminta gantikan ust Hidayatullah menjadi imam salat Magrib. Dalam peraturan ma'had, seorang ustadz yang belum berkeluarga belum diperbolehkan menjadi Imam. Kondisi yang berbeda terjadi di pondok Gontor Putri 4 di Kendari dulu. Saya sering mengimami salat jama'ahnya putri-putri meski saya sendiri belum nikah. Hal disebabkan jumlah ustadznya minim.


Malam harinya kami pergi ke Sragen untuk belanja di swalayan Luwes. Aku dibelikan kaos lengan panjang. Setelah kucoba ketat banget. Tapi enak kok kalau sudah nempel di badan.


Selasa, 25/12/07


Meryy Christmas, Selamat natal. Semua sekolah negeri libur karena tanggal merah. Di Gontor Putri kegiatan belajar mengajar tetap berjalan. Para umat kristiani saya lihat semalam di Sragen sudah mempersiapkan beberapa acara dalam merayakan hari besarnya. Meski demikian, semua pihak hendaknya saling mendukung demi menjaga keamanan dan ketentraman bersama. Hal-hal yang provokatif dan melecehkan terhadap pihak lain supaya dihindari. Sebab, isu-isu agama atau keyakinan di Indoenesia telah menjadi pemicu kuat untuk terciptanya konflik dan kerusuhan.


Semalam ada berita "lelayu". Bu Ali Saifullah, istri dari alm Bapak Ali Saifullah, Anggota Badan Wakaf dan Putra pertama dari KH. Achmad Sahal, meninggal dunia di Bandung. Jenazah akan dibawa ke Gontor untuk peristirahatan terakhir. Pemakamannya akan dilaksanakan esok pagi pukul 09.00 di pemakaman keluarga.


Oleh karena itu, kita pagi-pagi sudah bersiap berangkat Ke Gontor di Ponorogo. Jarak dari Mantingan - Gontor kurang lebih 100 KM lewat jalan Ngawi - Madiun baru ke arah Ponorogo. Jika lalu lintas normal, bisa ditempuh dalam waktu 1,5 jam.


Sambil menunggu anak-anak dimandiin, saya sempat berbincang dengan bapak Zainuri. Beliau adalah salah satu alumni Gontor yang tinggal di Saudi. Sudah lama beliau menjadi staf KBRI di sana. Asal daerahnya Lampung. Kedatangannya di Mantingan dalam rangka menjenguk putranya yang sedang mengabdi di PLMPM tidak seberapa jauh dari kampus Gontor Putri. Dalam obrolannya, saya dapat kalau beliau memang lugas dan tegas dalam melihat masalah. Terakhir saya diberi kartu nama agar dapat kontak dengannya kemudian.


Berangkat dari Mantingan pukul 07.30 WIB dalam keadaan belum sarapan. Ust. Fairus bilang sarapannya di jalan saja. Namun di tengah jalan, dari berbagai tempat favorit langganannya, tidak satupun yang buka. Maklum, hari libur. Anak-anak pun protes sudah lapar. Baru di perbatasan masuk Ponorogo kita berhenti untuk makan soto dan rawon.


Tiba di kampus ISID Siman sudah pukul 10.00 WIB. Dalam perjalanan kita sudah mendengar kalau "mayyitah" sudah dikubur seusai salat subuh langsung. Sedangkan di hari yang sama, datang lagi kabar "lelayu". Ibu Hajid meninggal dunia. Beliau adalah salah satu putri dari pak Lurah Gontor, kakak pertama dari Trimurti pendiri pondok. Kediamannya tepat di tengah-tengah pondok. Suaminya, alm. bapak Hajid, adalah mantan ketua Yayasan masa KH. Imam Zarkasyi memimpin pondok.


Setelah menurunkan barang-barang dan bebersih. Kita yang hanya berempat, tanpa anak-anak, berangkat ke Gontor untuk ta'ziyah. Kurang lebih 10 menit setelah tiba kita ikut giliran menyolati untuk yang terakhir sebelum dimakamkan. Karena keluarga dari Surabaya sudah datang. KH. Hasan Abdullah menjadi imam sekaligus mewakili dari pihak keluarga untuk menyampaikan terimakasih atas ta'ziyahnya dan mohon doanya serta jika ada hak-hak yang harus diselesaikan harap berhubungan dgn keluarga yang ditinggal. Saya pun ikut mengantar bersama rombongan ke pemakaman.


Malam harinya kita diminta menginap di kediaman Ust. Syukri oleh Ibu. Sebetulnya siang itu sudah ditunggu untuk makan siang. Tapi kita buru-buru kembali pulang ke Siman karena anak-anak sudah lama ditinggal. Baru malamnya saya, mbak Enen dan Malaya menginap di Gontor.


Rabu, 26/12/07


Siang harinya kita kembali ke kampus ISID untuk menjemput kembali mbak Uke dan anak-anak. Rencana hari ini akan ke tempat Ust. Syukri, Ust. Hasan dan Ust. Amal. Sedangkan cuaca saat itu sejak pagi sudah turun hujan. Mataharipun enggan menampakkan dirinya.


Tiba di ISID Siman kita langsung disuruh makan siang. Sambil menunggu cuaca yang tak kunjung membaik. Baru sore hari kita bisa ke Gontor. Ternyata sudah ditunggu untuk makan malam. Sampai ba'da isya' juga tidak reda-reda hujannya malah tambah deras. Rencana dua rumah lagi pun gagal dikunjungi. Pulang dari rumah Ust. Syukri jam sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. Hujan pun terus menerus turun.


Sebelum belok ke kampus mbak Uke minta ke Ponorogo untuk beli obat. Kita harus cari apotek yang buka malam. Sedangkan hujan bukan main derasnya. Alhamdulillah ada apotek rumah sakit yang masih buka. Mbak uke cari obat sembelit. Sedangkan mbak Enen mau cari sikat gigi dan mampir sebentar di ATM BCA.


Pukul 23.30 baru sampai ke kampus ISID. Saya pun langsung terlelap tidur di sofa denganmasih pakai sarung. Hujan yang tak kunjung henti pun terus mengguyur bumi. Dalam keheningan malam saya pun terhenyak dibangunkan dengan suara yang cemas dan risau. "Mas mas mobilnya tolonginn kena banjir di luar, gimana ya". Saya pun kaget dan langsung lari keluar. MasyaAllah, mobil setengah bodinya sudah digenangi air. Kanan kirinya juga sudah air semua. Hujan pun masih turun deras.


Saya pun langsung ganti celana panjang. Sedangkan ust Fairus juga bingung gimana caranya menyelematkan mobil ya. Bismillah, mumpung belum masuk ke mobil airnya harus segera diselematkan. Waktu itu pukul 02.30 dini hari. Mobil Innova di samping rumah juga sudah dievakuasi. Wah kenapa kita tidak dibangunkan ya atau mungkin mereka juga baru mengevakuasi mobilnya. Bisa nggak distarter ya? setelah saya coba alhamdulillah bisa. Dengan gas yang stabil saya lalu memundurkan mobil. Pelan-pelan. Ban mobil depan juga sempat mengoser karena masuk ke lumpur. Alhamdulillah selamat akhirnya.


Pagi harinya kita mendengar kalau di Gontor juga kedatangan banjir. Banjir kali ini adalah banjir yang terbesar daripada sebelum-sebelumnya. Di depan BPPM saja air sampai dada orang dewasa. Musibah banjir ini tak hanya disambut kesedihan. Santri-santri baru banyak yang menceburkan diri main air. Banyak juga santri-santri yang menyimpan sembunyi-sembunyi kamera mengeluarkan untuk dapat mengabadikan momen tersebut. Wah semoga tidak hanya kebanjiran air saja, tapi pondok juga kebanjiran santri dan rejeki. amin.


Kamis , 27/12/07


Nyaris dari pagi sampai siang kita tidak bisa kemana-mana. Saya hanya dapat bermain scrabble dengan mbak Enen untuk menunggu air surut. Untuk sarapan pagi pun kita diantar oleh pembantu, mana air minum juga habis. Persis seperti pengungsi banjir. hee...hee.
Aku pun menyelidiki kenapa air tidak surut-surut. Ternyata saluran pembuangannya tertutup dengan sampah dan pot yang menyumpal penuh. Setelah aku angkat air pun mengalir dengan deras. Tapi untuk menguras dan membuang air yang memenuhi lapangan kampus kurang lebih 3 jam baru surut.


Ba'da dhuhur air sudah surut. Kita bersiap-siap pergi ke kota, mbak Uke minta diantar belanja. Anak-anaknya kehabisan baju dan mau mencuci cetak foto digital. Sedangkan Ust. Fairus saat itu harus ke Mantingan untuk mengajar. Ia ikut rombongan dosen yang mengajar ke Mantingan. Baru besok kembali ke Gontor. Rencana hari itu ke tempat bu Amal, mau meminta bubuk temulawak buatan bu amal sendiri. Sedangkan Roshan bersama pembantu ditinggal di tempat eyangnya Ust. Subakir.


Malamnya dalam suasana di mana-mana banjir. Kita mendapat kabar kalau Sapariyah, pembantu, mendapat panggilan ke Malaysia. Dari kantor penyalurnya mengharuskan besok ia harus tiba di Jakarta untuk mengurusi beberapa persyaratan sebelum berangkat.
Malam hari itu juga kita pulang ke Mantingan. Perjalanan yang biasa ditempuh 1,5 jam harus kita tempuh 3 jam. Beberapa jalan putus karena banjir. Di kota Ngawi mobil-mobil tidak bisa berlalu. Jalur tersebut putus. Maka harus cari jalan lain. Saya mengambil jalan dalam melalui Maospati, Kendal, Ngrambe dan keluar Walikukun. Saat itu pukul 23.30 malam kita sampai di Madiun.


Keluar dari Gendingan tak satupun mobil yang melintasi jalan raya. Ternyata jalan Sragen Mantingan juga putus. Ada tiga titik yang dalamnya setinggi dada orang dewasa. Mobil pun tidak ada yang berani lewat. Alhamdulillah pukul 02.30 kita sampai pondok. Meski hujan terus menerus mengiringi perjalanan kita.

Jum'at, 28/12/07


Belum sempat nyenyak tidur, Saya sudah dibangunkan oleh Ust. Fairus. Pukul 04.30 saya dibangunkan. Kita akan mengantar Sapariyah ke stasiun Solo. Rutenya pun memutar melalui sine ngrambe lalu tembus Sragen. Kita melalui lereng gunung Lawu. Banyak jalan menanjak dan turun tajam dengan bukit-bukit yang mengitari gunung Lawu. Kurang lebih 1 jam-an kita berputar lewat jalan memutar tersebut baru ketemu jalan raya Sragen.


Lalu lintas Sragen - Solo pagi itu cukup padat. Antrian mobil-mobil cukup panjang. Selidik punya selidik ada truck tabrakan dengan truk. Salah satu truck yang bermuatan bahan aspal curah tumpah ke jalan. Jadi cukup membuat lalu lintas macet. Ust. Fairus pun khawatir jika sapar ketinggalan kereta. Jika ketinggalan kereta jam 8. kita harus menunggu kereta yang berangkat pukul 12.00 siang. Kasihan juga.


Alhamdulillah pukul 07.50 kita tiba di stasiun. Ust. Fairus langsung lari ke loket untuk beli tiket. Alhamdulillah dapat. Sapar pun saya ajak untuk siap-siap. Baru saja masuk pintu gate-nya kereta yang akan ditumpangi sudah masuk. Syukur sekali.


Kita pun langsung pulang. Beli sarapan di Sragen dan pulang kembali melewati jalan yang kita berangkat tadi pagi. Sungguh pemandangan yang luar biasa. Seakan-akan kita sejajar dengan awan. Apa yang kita lihat pagi itu. Kita sedang berada di daerah tinggi sekali, di atas bukit. Pemandangan menakjubkan tersebut sempat saya ambil. Sawah-sawah dengan teraseringnya yang rapi pun tak luput dari bidikan kamera saya. Udaranya pun sangat fressh sekali. Subhaana ma kholaqta hadza baatilan, subhanakallah fa qinaa 'adzaban nnar.


bersambung.....


Sidang Promosi "Doktor" Agus Maladi

Sidang Promosi "Doktor" Agus Maladi
(Kontestasi Kekuasaan acara berita, gosip, dan isu seputar selebritis)

Rencananya pagi itu, 3/1/2008, saya akan berkonsultasi kepada pembimbing thesis, Prof. Afid. Di saat yang sama beliau juga sedang menguji pada sidang promosi doktor Agus Maladi Irianto dan Fikarwin. Keduanya sama-sama mengaitkan topiknya dengan isu kekuasaaan. Dan keduanya juga adalah calon doktor antropologi UI. Saya pun disuruh datang dan hadir pada acara tersebut.

Judul disertasi mas Agus berbunyi "Kontestasi Kekuasaaan Sajian Acara Televisi, Studi tentang Program Tayangan Infotainment" . Kebetulan saya agak terlambat masuk. Namun saya sepenuhnya mengikuti sesi pertanyaan-pertanya an dan sanggahan-sanggahan dari para penguji. Penguji-pengujinya terdiri dari; Prof. Dr. Maswadi Rauf, MA sebagai ketua sidang, Prof. Achmad Fedyani Saifuddin sebagai promotor, Dr. Thun Jun lan, Dr. Haneman Samuel dan Iwan Tjitradjaja, PhD.

Kesempatan pertama diberikan kepada Dr. Thun Jun lan. Beliau banyak mempertanyakan mengenai kontestasi kekuasaan yang terjadi dalam proses produksi. Kontestasi kekuasaan dalam wujud apa sebenarnya yang dimaksud oleh peneliti. Kalau kekuasaan yang dimaksud tidak berarti monopoli oleh seseorang lalu bagaimana dengan otoritas sebagaimana disebutkan pemimpin redaksi punya otoritas. Bagaimana pula staf redaksi, kru redaksi sampai reporter atau narasumber sendiri apakah mereka tidak punya otoritas. Jika demikian, apakah kekuasaan yang terjadi di sini otoritas atau ketergantungan. Pertanyaan lainnya, mengenai interpretasi dari kata-kata yang digunakan oleh peneliti dalam menerangkan kontestasi yang terjadi pada proses produksi, dalam kata-kata "bekerjasama, berjuang dan menghancurkan" bagaimana realitasnya.

Mas Agus kelihatan agak nervous dalam menjawab dari pertanyaan-pertanya an tersebut. Namun satu persatu dijawabnya dengan pelan-pelan. Inti dari jawabannya, bahwa kontestasi kekuasaan memang terjadi dalam proses produksi. Sampai ke produksi sebelum tayang masing-masing punya otoritas. Satu sama lain juga dalam posisi ketergantungan. Reporter punya otoritas, begitu juga pemimpin redaksi. Tapi mereka juga bergantung sama lain. Sedangkan yang dimaksud dengan interpretasi dari kata-kata yang dipertanyakan adalah terjadi perang narasi dalam proses produksi. Ia mengakui lebih banyak mengemukakan data kontestasi yang terjadi antara reporter dan narasumber dari proses produksinya.

Dr. Haneman dari Sosiologi yang diberi kesempatan selanjutnya memilih pertanyaan-pertanya an yang tersirat. Kalau yang lain mempertanyakan apa yang tersurat dari disertasinya dia lebih mempertanyakan hal-hal yang tersirat. Mungkin ini dapat menjadi refleksi kawan-kawan yang menempuh tingkat doktoral antropologi. Menanggapi perkembangan ilmu sosial saat ini yang multi-paradigmatik dan multi-perspektif, bagaimana menurut anda sebagai calon doktor? apakah anda sudah benar jika menentukan suatu paradigma seperti yang sudah anda kerjakan dalam disertasi anda?. Kemudian, Saudara meneliti dan terjun langsung dalam dunia yang anda teliti. Anda banyak menemukan banyak data-data empirik. Sedangkan disitu ada reporter, kru redaksi, staf redaksi dan pemimpin redaksi, dimana posisi Agus Maladi dengan realitas-realitas yang mereka punyai, dalam arti, dimana kaitannya antara realitas Agus Maladi dengan realitas-realitas mereka, apakah realitas anda paling benar, tolong dijawab berdasarkan epistemologi pengetahuan. Pertanyaan ketiga, apa tugas suci dari seorang doktor antropologi Indonesia pada abad 21 ini. Untuk pertanyaan terakhir, ia mendahului dengan menyebut beberapa peneliti dari luar negeri yang sudah melakukan penelitian di Indonesia diantaranya adalah Geertz, Anderson dll. Masing-masing punya konsepsi sendiri-sendiri mengenai Indonesia, saya bisa setuju atau tidak setuju atas konsepsi tersebut, sebagai calon doktor antropologi, now what is your conception about Indonesia?

Untuk kesempatan terakhir kali diberikan oleh Pak Iwan. Ia cukup mengapresiasi usaha kerasnya yang menyelesaikan disertasinya. Namun ada beberapa hal yang belum lempeng yang patut dipertanyakan. Pertama, dalam disertasi, anda menyebutkan dua konsep teori Gidden dan Foucault, meski secara tegas anda sebutkan tidak akan menerapkan dengan mutlak kedua konsep teori tersebut namun sepertinya anda telah memaksakan kedua konsep tersebut dalam membaca realitas, ini bertentangan dengan sifat penelitian anda yang kualitatif karena mengedepankan emik. Kedua, ada kata-kata yang perlu diperjelas seperti bagaimana kerjanya kekuasaan dapat dilihat melalui praktik-praktik sosial, di lain tempat anda menyebut "ditandai", dalam bahasa antara "melalui" dan "ditandai" berbeda sekali, bagaimana yang benar. Selain itu, anda jelaskan ketika menyebutkan realitas-realitas yang terjadi dengan kata "diantaranya atau antara lain" berarti ada realitas-realitas lain yang diabaikan, bagaimana penjelasan anda. Ketiga, kata "menghasut" dalam sub-judul "tayangan infotainment menghasut pemirsa", bisa menyebabkan pandangan negatif dan reaktif dari mereka yang anda teliti. Setelah saya teliti, arti kata "menghasut" berarti upaya membangkitkan amarah dan emosi orang untuk melawan serta menghancurkan. Apakah ini benar yang anda maksudkan?. Pertanyaan terakhir, dalam sebuah penelitian antropologi saat ini sudah meninggalkan tradisi lama, sekarang sudah tidak lagi meneliti masyarakat tradisional, namun demikian, dalam penelitian anda tidak banyak konsep kebudayaan yang disinggung, konsep-konsep kebudayaan yang anda singgung dalam penelitian anda masih sumir. Bagaimana penjelasan anda? (Dalam percakapan pak Iwan kemudian, saya baru tahu bahwa penelitian antropologi saat ini sudah tidak harus melulu bicara masalah kebudayaan, seperti yang ditulis oleh lila abu lughod dan lainnya, salah satunya buku yang berjudul "anthropology beyond culture", pertanyaan tersebut nampaknya tidak seperti yang dijawab oleh pak Agus Maladi ketika menjawab pertanyaan serupa dari pak Iwan).

Begitulah beberapa pertanyaan yang diajukan oleh para penguji. Yang pada akhirnya, Mas Agus sudah disahkan menjadi doktor dengan predikat cumlaude. Saat itu juga dilantik oleh Prof. Afid yang juga sebagai pembimbingnya. Menurut mas Tommy, Mas Agus menyelesaikan doktornya dalam waktu 2 setengah tahun. Suatu usaha yang sangat keras. Setidaknya ini memberi pelajaran dan gambaran buat kita-kita yang akan menempuh penelitian dan ujian seperti itu. Khususnya bagi para kawan-kawan yang menempuh s3. Mas Azis, ayo cepetan digarap tulisannya jangan terlelu terlena dengan bisnis suteranya hee..hee., mas Reza juga, mas Heri, mas Marko dan mas-mas yang lainnya. Juga mbak Endang, partner saya yang sudah lama nggak ada kabarnya, dan mbak-mbak lainnya. Selamat dan sukses buat teman-teman.
(maaf kalau tulisan kurang nyaman dibaca, thanks)
Pancoran Mas Depok, 4 Januari 2008

Wednesday, January 2

Silaturrahim ke Gontor


Sabtu malam, 22/12/07, saya ikut rombongan dosen ISID ke Gontor. Setiap hari kecuali hari Jum'at, pasti ada rombongan dari dosen ISID ke Mantingan. Sekarang mereka diantar-jemput dengan mobil Serena dan Krista. Selain ke kampus Mantingan, setiap hari Sabtu-Minggu ada rombongan dosen yang ke kampus Gontor 3 Kediri.

Suatu rutinitas yang belum berubah. Hanya fasilitas yang berubah. Kalau dulu banyak dosen dari Ponorogo dengan susah payah sampai ke Mantingan. Ada yang bersepeda motoran dulu ke terminal lalu disambung naik bus. Sekarang fasilitas transportasi lebih terjamin.
Kebetulan dalam satu mobil ada ust. Akrim Maryat. Beliau adalah pembimbing skripsi saya. Baru-baru ini beliau mendapat tugas baru selain menjadi ketua umum Ikatan Keluarga Pondok Modern. Beliau baru saja diangkat menjadi anggota Badan Wakaf. Bertepatan dengan masuknya KH. Syamsul Hadi Abdan setelah diangkat menjadi Pimpinan Pondok menggantikan alm. KH. Imam Badri. Meskipun sudah menjadi anggota badan wakaf, namun imej beliau sebagai seorang dosen yang humoris tidak berubah.

Tiba di kampus Gontor sudah pukul 23.00 malam. Kampus Gontor sepertinya tidak berubah. Terakhir ke Gontor tahun 2006 kemarin. Waktu Gontor mengadakan perhelatan besar, peringatan 80 tahun. Saya menginap di rumah Adib Fuadi, teman di sekretariat pimpinan dulu yang diambil menantu oleh Kyai Syukri. Ternyata dia sudah ditempatkan di perumahan guru di Mambil atau di kompleks buyut makkah.

Pada pagi harinya saya bermaksud silaturrahim ke Ust. Hasan di Joresan. Dengan motornya adib saya pergi setelah sebelumnya ngedrop dia di kantor KMI. Kemudian saya menuju kediaman Ust. Hasan di Muqoddasah. Saat memarkir motor di samping rumahnya dalam kompleks pondok, saya melihat bu Hasan menuju rumah. Saya salami beliau dan mengucapkan syukur kalau ibu telah berangsur-angsur sembuh dari sakitnya. Beliau menunjuk ke mobil krista yang parkir di depan masjid. Maksudnya bapak ada di sana dan akan berangkat membagikan sembako ke wilayah-wilayah pedalaman. Saya pun langsung menuju mobil.

KH. Hasan Abdullah Sahal bersama ibu baru saja pulang dari Amerika. Di sana beliau berdakwah selama bulan Ramadhan dan Syawwal. Akhirnya keberangkatannya yang sempat tertunda setahun sebelumnya terlaksana juga. Sepulang dari Amerika beliau diamanati bantuan dari ICMI atau MUI yang di Amerika untuk orang-orang yang membutuhkan. Setelah sebelumnya disurvey oleh Bu Hasan. Hari itu, Minggu 23/12/07, sembako-sembako siap diberangkatkan. Ada dua mobil, satu pick up dan satu kijang untuk memuat semua sembako yang ada. Lokasi yang dituju adalah daerah perbatasan Ponorogo Wonogiri atau di sekitar daerah Jambon dan Badegan. Alhamdulillah, semoga kita dapat mencontoh perbuatan mulia ini, dapat berbagi dengan orang yang membutuhkan.

Sebelum berangkat saya sempat menyampaikan maksud kedatangan saya. Selain untuk silaturrahim saya juga mengungkapkan kalau ingin mengadakan penelitian di Gontor. Beliau memberi sedikit gambaran kalau di Gontor itu memang lain daripada yang lain. Dari segi pesantrennya memang beda dengan pesantren yang lain. Meski pondok alumni sama-sama mengajarkan materi yang sama namun tidaklah bisa seperti Gontor. Inilah yang beliau maksudkan kalau Gontor itu membangun peradaban.

Karena waktu yang sempit. Beliau pamit untuk berangkat dulu. Semoga sukses dan menjadi barakah. Amin. Saya juga mohon izin pulang. Waktu yang masih terlalu pagi untuk kembali ke pondok. Saya pun melaju motor ke pasar Joresan. Biasanya banyak yang jual nasi pecel pagi-pagi. Rasa ingin menyicipi nasi pecel ponorogo sudah tidak terbendung lagi. Setelah sukses sarapan di sebuah warung kecil di pojokan pasar saya pun kembali ke pondok.

Saya langsung datang ke Sekretariat Pondok mengkopi beberapa data tentang pondok. Baru kemudian bersiap untuk menghadiri pernikahan teman M. In'am yang dapat jodoh orang Gandu dekat pabrik es. Saya bersama adib datang ke tempat walimah yang diselenggarakan di Gandu. Sebelumnya saya sempat bersilaturrahim ke Ust. Syukri. Namun yang ada hanya Bu Syukri. Sedangkan Ust. Syukri masih di Saudi menjadi wakil amirul Haj.

Bekasi, 1/1/2008

Pagi hari diiringi hujan turun



Yudisium lulus KMI Gontor



Gambar ini diambil saat yudisium kelas enam KMI Gontor. Bapak dan Ibu saat itu datang. Ketika yudisium kelulusan santri, orang tua memang diundang. Walau saat itu semua pada puasa ramadhan, namun kegiatan tetap saja berjalan.


Saat-saat paling menegangkan adalah pemanggilan kita satu persatu ke dalam suatu ruangan. Di situ kita bersama kelompok yang dipanggil akan dibacakan kelulusan kita. Hal lain yang tidak kalah menegangkan adalah tugas di tempat pengabdian. Setelah lulus KMI, kami diwajibkan untuk pengabdian, dimana saja, minimal satu tahun. Ada yang ditugaskan ke Aceh, Sulawesi, Kalimantan, Jakarta, Banten, dan daerah lainnya. Ada juga yang ditentukan mengabdi di Gontor atau cabangnya. Sebagian kecil ditugaskan di PLMPM (Pusat Latihan Manajemen dan Pengembangan Masyarakat) dan sebagian lagi mengabdi sebagai mahasiswa murni di ISID, perguruan tinggi pesantren miliki Gontor.


Saat yudisium, umurku masih sweet seventeen. Masuk Gontor saja umurku masih 11 tahun. Tapi ada seorang yang lebih muda dariku. Namanya Andi Kausar dari Bogor. Ia lahir tahun 1981 di awal tahun. Sedangkan saya tahun 1980 di akhir tahun. Selisih beberapa bulan saja. Kurang yakin, mampukah saya nanti mengabdi dengan status sebagai ustadz?
Alhamdulillah saya dinyatakan lulus, kalau tidak salah dengan rangking "Jayid". Pengabdian pun saya ditentukan pengabdiannya di Gontor. Kita sama-sama dinasehati dan diarahkan oleh bapak-bapak Pimpinan dan bapak Direktur KMI. Mereka berharap semuanya dapat berjalan dengan lancar.


Siswa-siswa kelas enam punya acara yang khas setiap kelulusannya. Mereka berjalan bergandengan bersama-sama. Berbaris dan berarak mengelilingi pondok. Semua berhenti di depan Masjid dan Aula. Membentuk lingkaran besar. Sambil terus berangkulan, salah seorang maju untuk membangkitkan kenangan bersama selama enam tahun di pondok. Susah senang bersama. Saling bahu membahu demi bagusnya kualitas periode. Jalinan persaudaraan pun smakin kuat dengan interaksi intensif setiap harinya.


Keharuan dan kesedihan menyelimuti teman-teman yang akan berpisah sejak saat itu. Mereka ada yang masih di Gontor, ada juga yang akan mengabdi di luar daerah. Semua berpisah setelah berkumpul selama enam tahun. Tangis harus dan pelukan hangat dari sahabat-sahabat semarhalahpun mengiringi ucapan selamat tinggal dan selamat bertugas serta semoga sukses antara satu dengan lainnya.


Bravo


Mantingan, 22 Desember 2007


Ba'da Subuh

Ke Mantingan Gontor

Ugghh...lelah benar badan ini. Seharian di perjalanan dari Jakarta ke Mantingan. Sejak berangkat pukul 15.00 sudah diiringi dengan hujan deras. Sepanjang perjalanan hujan tak henti-hentinya turun. Laksana menyirami bumi di sepanjang jalan yang kami lalui. Saya jalankan mobil dengan ekstra hati-hati dan waspada. Curah hujan yang lebat seperti memberi sekat pada pandangan mata ke depan.

Rombongan terdiri dari mbak enen dan malaya, mbak uke dan anak-anaknya, seorang pembantu dan saya sendiri. Saya dapat gantian dengan mbak enen mengemudikan mobil. Pertama-tama saya yang pegang kemudi hingga kita makan malam di daerah sebelum Cilimus. Tapi kenapa kok makannya di Cilimus ya? itu kan di Kuningan?

He...hee....cerita punya cerita, ternyata ada yang pingin kesana neh. Mbak kepengin melihat rumah mantannya di sana. Penasaran jadinya. Selama ini yang menyakiti dia Tapi ya cuma sekedar untuk melihat bagaimana macam rumahnya dan kondisinya. Untuk melegakan hati saja. Kita hanya lewat depan rumah balik arah lalu kembali melanjutkan perjalanan. Turun dari Kuningan waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB.
Kita makan malam di Pondok Sate Bi Inah. Saat itu waktu menandakan tepat pukul 21.00. Ramainya warung sate tersebut sudah menunjukkan reputasinya. Membuat kita smakin pede untuk lapar. Namun setelah makan sate kambing yang dihidangkannya, rasanya tidak terlalu istimewa bagiku. Biasa-biasa aja lagi. Jika dibanding di kampungku, rasanya kalah jauh. Menurut mbak enen dan mbak Uke keesokan harinya, sate semalam terlalu banyak gajih-nya jadi bikin neeg. Tapi dulu, ketika masih asyik-asyik main ke Kuningan, satenya tidak seperti itu.

Perjalanan dari Jakarta - Kuningan kami tempuh dalam waktu 6 jam, dengan situasi dan kondisi sedemikian rupa. Normalnya sih bisa ditempuh hanya dalam waktu 4 jam-an, menurut mbak enen. Kira-kira pukul 22.00 perjalanan kami lanjutkan kembali. Rencana untuk salat qasar ditunda sampai di Tegal nanti. Soalnya di tempat warung Sate tempatnya jorok. Kamar mandi bau. Apalagi WC-nya. Lebih baik mampir di SPBU Muri di Tegal yang punya 67 kloset terbersih. Kita tiba di sana jam sudah mendekati pukul 12 malam. Saya ingin keramas dan gosok gigi. Sekalian kita ganti minuman kopi di termos yang sudah habis. Woow buanyak banget yang mampir.
SPBU dengan berbagai macam fasilitas. Begitulah. Model-model "one stop shopping" lagi banyak menjamur. SPBU bukan lagi sebagai tempat pengisian bahan bakar kendaraan saja. Orang-orang bisa istirahat melepas lelah dengan menikmati segala fasilitas yang tersedia. Mulai dari supermarket, kafe, kamar mandi, bahkan tersedia pula outlet untuk pijat refleksi dan kebugaran. Masyarakat juga sangat antusias dengan pelayanan yang komplet tersebut.

Giliran dari Kuningan mbak enen pegang kemudi. Saya disuruh istirahat atau tidur. Tapi ya mata ini susah dipejamkan meski ngantuk. Setelah keramas dan ngisi kopi kita kembali lanjut. Kali ini masih mbak enen yang nyetir. Dengan syarat sebelum masuk semarang nanti saya yang ganti. Ada yang mau beli kue "moci". Saya sendiri belum tahu apa ada toko kue di Semarang yang buka 24 jam.

Masuk kota Semarang sudah pukul 02.30 pagi. Saya sempat salah jalan karena ambil tol. Sedangkan yang akan saya tuju adalah Jl. Pandanaran pusat oleh-oleh di Semarang. Keadaan masih sepi. Jadi saya beranikan untuk berputar sebelum kebablasan masuk tol. Untung tidak ada polisi. Setelah lewat tugu muda dan menuju arah simpang lima. Saya sempat salah arah lagi. Sesampainya di Jl Pandanaran terlihat sepi tidak ada siapa-siapa. Hanya seorang ibu pake seragam petugas kebersihan lagi menyapu di tepi jalan. Saya berusaha bertanya padanya. Menurutnya, di sini toko-toko biasanya buka pukul 7 pagi. ahhh saya kurang yakin itu. Barangkali karena hari itu adalah hari libur. Jadi ya banyak pada tutup. Yah gagal deh yang sudah ngimpi moci.

Kemudian saya mencari jalan ke arah Jogya/Solo. Mau langsung ke Mantingan. Kita sempat berhenti di Boyolali untuk salat Subuh. Semburat cahaya sudah menebar ke seluruh penjuru daerah lereng-lereng gunung Merbabu - Merapi. Matahari masih malu-malu menampakkan cahayanya. Jam menunjukkan pukul 05.15 pagi. Seperempat jam sebelum pukul 06.00 kita berangkat. Rencana di Solo kita bisa cari oleh-oleh dan sarapan.
Boyolali, Sukaharjo, Kartasura lalu Surakarta. Lalu lintas belum nampak ramai. Pusat-pusat pertokoan juga belum ada aktivitas. Di sudut-sudut persimpangan jalan banyak orang berkerumun. Nampaknya mereka sedang menikmati sarapan paginya. Aneka jenis dan model sarapan dijajakan. Dari mulai bubur ayam, lontong sayur, nasi pecel, rames, soto dan lain-lain. Beberapa pelajar dengan seragam sekolahnya juga sudah pada berdiri di tepi jalan.

Matahari Singosaren. Di situ biasanya saya sering mampir kalau ke Solo. Kali ini saya mau ajak rombongan beli aneka abon dan aneka jajanan tradisional. Setelah ibu baru sarapan. Tapi kecewa sekali setelah melihat mayoritas masih tutup. Saat itu memang pukul 07.00 aja belum ada. Setelah berputar ke arah jalan utama Slamet Riyadi. Belum juga satupun restoran yang sudah buka. Ya Sudahlah di jalan menuju Sragen barangkali kita ketemu. Kalau oleh-oleh bisa dicari di Sragen saja.

Jalan raya Solo - Sragen sudah padat betul. Aneka jenis kendaraan sudah memenuhi sampai bahu jalan. Saya harus ekstra hati-hati. Beberapa kali mbak enen menegur saya untuk pelan-pelan saja. Akhirnya, kurang lebih pukul 08.00 kita sudah sampai di Kota Sragen. Singgah di toko roti Monica untuk beli oleh-oleh. Baru kemudian sarapan soto di Soto Girin Sragen. Mobil-mobil luar kota nampak berjejer di pinggiran penjual sarapan pagi ini. Sebagai bukti bahwa soto ini bisa diandalkan untuk menu sarapan pilihan neh. Kenyang bok.
Alhamdulillah pukul 09.00 kita sudah sampai di Gontor Putri Mantingan. Langsung menuju rumah guru ust. Fairuz, suaminya mbak Uke. Setelah salaman dan nurunkan barang-barang saya langsung pasang kuda-kuda. hee..hee. mau tidur bo.

Mantingan, 21 Desember 2007
Malam ba'da isya