Sunday, February 3

Catatan mengenai disiplin


Sudah seminggu ini saya berada di lapangan. Beberapa pengamatan dan interview juga sudah saya lakukan. Sebagian sudah saya tulis. Sebagian masih berupa rekaman. Namun untuk menyelesaikan tulisan sekaligus teramat sulit bagiku. Untuk lebih mengefisiensi kerja lapangan strategi saya adalah dengan cara mencicil tulisan. Terkadang jika badan lagi enak dan kondisi fit saya kejar untuk menulis apa saja yang sudah amati dan lakukan interview. Hasilnya, alhamdulillah, sedikit banyak sudah terselesaikan. Minggu ini saya mendapat data masukan penting dari interview bapak Pimpinan, KH. Abdullah Syukri.

Kegiatan yang terus menerus berjalan seperti mata rantai yang tiada ujung. Seorang pimpinan yang sudah meninggal, KH. Imam Badri, pernah berujar "al ma'hadu la yanaamu abadan" (pondok tidak pernah tidur). Artinya, pondok tidak pernah istirahat dari kegiatan. Satu selesai, sudah masuk ke kegiatan baru. "faidza faraghta fansob" (maka apabila kamu sudah selesai - mengerjakan sesuatu - maka gantilah dengan pekerjaan yang lain). Begitu pula yang diungkapkan oleh Direktur KMI, alm. Ust. Ali Sarkowi, melihat kegiatan santri yang begitu dinamis berkait dengan disiplin waktu, "a'maaluna aktsaru min auqootina" (tugas-tugas kita lebih banyak daripada waktu yang ada). Beliau melukiskan betapa banyak tugas dan pekerjaan santri sampai-sampai kapasitas waktu yang terbatas 24 jam sehari saja tidak cukup.

Dengan pertimbangan tersebut, saya pun tidak bisa terus menerus mengikuti seluruh kegiatan yang ada. Saya musti pandai-pandai memilih setiap momen yang lebih penting untuk diamati dan ditelusuri, khususnya yang bersangkutan dengan topik disiplin dan pendisiplinan. Hal-hal yang melukiskan bagaimana disiplin pondok dijalankan dan bagaimana perilaku disiplin santri. Tidak hanya terbatas santri saja. Guru dan beberapa pengurus juga saya amati.

Kembali ke lapangan, empirik, empirik. Begitulah pesan dosen untuk lebih memperkaya data dan mencatatnya secara sistematis melalu fieldnote. Sebagai seorang peneliti kamu harus mengungkapkan fakta apa adanya, seperti pesan Pak Afid sebelum turun ke lapangan. Pesan itu terus menerus terngiang setiap melihat beberapa realitas-realitas menarik di pesantren. Namun perasaan sebagai orang yang dulu pernah di dalam, bagi saya, beberapa realitas nampak seperti sudah sering saya lihat. Perasaan inilah yang perlu saya kikis sekuat mungkin untuk menghindari ketidakobjektifan dari penelitian ini. Saya sadar sepenuhnya justru di situlah letak keunikannya yang harus kamu ungkap. Bagi kamu itu suatu yang wajar, tapi bagi orang lain itu suatu hal yang baru, sebagaimana teman-teman di kampus mengingatkan saya.


Memang betul. Di sekolah mana siswanya yang susah payah membawa piring masuk kelas. Di sekolah mana yang dengan sengaja seorang anak memalsukan alat perizinan untuk tidak masuk kelas. Di sekolah mana seorang siswa level tingkat menengah/atas diberi tanggungjawab untuk mengatur dan mengasuh 250 anak secara lahir batin di dalam asrama. Akhirnya, di sekolah mana di Indonesia yang menerapkan disiplin secara komprehensif berdasarkan nilai-nilai, visi misi dan motivasi yang benar. Motivasi pendidikan yang dimaksudkan adalah kemasyarakatan. Sehingga anak-anak diberi bekal bukan hanya ilmu pengetahuan, tapi juga ketrampilan, pengalaman, moral dan spiritual. Dengan begitu siswa akan berdisiplin dengan memahami aturan-aturan dan setiap kebijakan yang diberikan atas mereka. Semua dalam rangka untuk melatih, untuk mendidik.


Sadar berdisiplin. Itulah tujuan dari disiplin yang diterapkan dengan ketat. Tidaklah sama sekali bermakna dengan kekerasan. Sebab untuk mendidik disiplin itu butuh pemaksaan. Pemaksaan di sini adalah latihan bukan kekerasan. Sebagaimana beberapa penelitian di lapangan sebelumnya (syukur: 1979) bahwa secara psikologis, sosial maupun kualitas ibadah, disiplin tidak menjadi penghalang atau troublemaker bagi santri dalam meraih prestasi akademiknya. Justru menjadi proses penyadaran santri terhadap misi pendidikan di Gontor yaitu untuk mendidik pemimpin-pemimpin, tidak cuma sebatas mendidik anak menjadi baik. Suatu cita-cita mulai sebagai wujud dari kaderisasi umat.

Maka, proses pimpin memimpin terjadi sejak dia masuk pondok. Baik dari skala kecil, dari menjadi ketua kamar, atau ketua kelas, sampai ke skala besar nanti di organisasi saat kelas lima atau enam. Motonya adalah "siap memimpin dan siap dipimpin, patah satu tumbuh seribu". Artinya, seorang pemimpin juga ikut belajar dengan kedudukannya dan tidak berlaku lagi kepemimpinan dengan gaya feodal (minta dilayani). Seorang pemimpin harus menguasai masalah segenap seluk beluk yang dipimpinannya. Dengan segala kelemahan dan kekurangannya dia harus berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan dirinya dengan kepemimpinannya. Sehingga suatu saat dia juga siap dipimpin oleh orang lain. Dengan itu dia bisa introspeksi diri.

Saat memasuki kampus Gontor terpampang tulisan di atas tembok sebuah gedung yang menghadap ke jalan "Ke Gontor Apa yang Kau Cari". Niat dan motivasinya apa kamu masuk pondok. Disuruh atau dipaksa orangtua, atau karena kamu nakal di luar bagi kamu pondok bisa mengobati kenakalanmu, atau memang murni ingin mendapat pendidikan dan pengajaran di pondok. Saat seorang santri didaftarkan ke pondok, orangtuanya juga diharuskan bersedia mengisi surat pernyataan yang isinya menyerahkan secara bulat-bulat kepada pondok dan rela segala kebijakan yang akan diterima siswa dari bapak pengasuh. Begitulah, untuk melihat menilai secara objektif fenomena berdisiplin dan pendisiplinan di pondok tidak bisa terlepas dari kedua hal tadi, motivasi dan niat, dari masing-masing siswa.


Sunnah atau disiplin di pondok akan terasa berat dilakukan tanpa suatu idealisme yang kuat. Idealisme seorang santri di pondok modern berasal dari nilai-nilai filosofis serta nilai-nilai Islam yang universal. Bagi yang insyaf dan sadar akan merasa ringan dan sudah biasa. Namun bagi yang hanya pragmatis dan formalis saja, akan terasa berat. "Sebesar keinsyafaanmu sebesar itu pula keuntunganmu", "Hanya orang yang pentinglah yang tahu akan sebuah kepentingan".


Dalam setiap kesempatan, pengasuh dan segenap pembantu-pembantunya melakukan pengarahan dan bimbingan terus menerus. Untuk memahamkan terhadap nilai-nilai dan tujuan berdisiplin tersebut. Bahkan setiap bagian sudah punya standar operasional disiplin, baik tertulis maupun tidak. Standar tersebut juga tidak terlalu mutlak sebab tiap kali bisa berubah. Hanya yang tidak berubah adalah nilai, sistem dan jiwanya yang menjadi dasar dari disiplin tersebut. Begitu hukuman yang berlaku pada setiap sanksi disiplin santri. Sejak berdirinya sampai saat ini, kebijakan hukuman terus menerus berubah. Namun dalam mendisiplinkan santri, hal penting yang perlu diketahui adalah, bahwa ukurannya adalah dlomir (hati kecil).

Meskipun demikian, masih banyak santri yang berdisiplin secara formalis pragmatis. Artinya, mereka cuma menjalankan rutinitas di pondok secara terpaksa. Oleh sebab banyaknya paksaan-paksaan sebagai sarana latihan. Berbeda sekali dengan apa yang pernah ia lihat pada suatu sekolah unggulan di daerahnya. Beberapa siswa yang kurang mampu hasil seleksi secara ketat tersebut sangat berdisiplin tanpa perlu paksaan. Sehingga, banyak santri yang mbruwah (lepas kendali) saat ia keluar dari pondok saat liburan atau pulang. Namun di lain pihak, seorang wali santri dari Surabaya mengatakan bahwa ia cocok dengan pendidikan pesantren di Gontor. Sebab, dengan mata kepala sendiri, ia melihat bagaimana pendidikan di pesantren-pesantren yang notabene dikatakan modern bebas tanpa aturan. Sehingga arah tujuan mendidik siswanya juga tidak jelas. Suatu hal yang ia syukuri, meskipun anaknya baru kelas II namun sudah berubah menjadi lebih baik dan berdisiplin di rumah serta kadang-kadang diberi kesempatan untuk mengisi pengajian.


Kembali lagi ke masalah motivasi dan niat. Sudah benarkah motivasinya? Sudah benarkah niatnya? Sebab, pondok dengan sistem dan nilai yang bertahan selama hampir seabad ini telah terbukti menjadi suatu alternatif pendidikan modern yang jitu. Modern dalam arti, berpandangan ke depan, tanpa meninggalkan karakteristik lokal yang kaya dengan potensi dan penuh daya. Ke depan pendidikan ala Gontor semacam bisa melahirkan produktivitas dalam membentuk kader-kader ulama yang intelek, bukan intelek yang tahu agama.

Penyakit Itu Bernama Kekosongan


Penyakit Itu Bernama Kekosongan
(Sumber ma’siat, bencana, malapetaka, kerusakan)


Dewasa ini semakin banyak orang yang melakukan hal yang sia-sia dan banyak kekosongan yang dilakukannya. Ada yang berusaha memperbaiki kerusakan, ada pula yang buru-buru mengisi kekosongan dengan kekosongan baru, ibarat membersihkan kotoran dengan sapu kotor. “Semakin rumit teka teki dijawab”, kata orang bijak.


Penyakit kekosongan itu diantaranya; berasaan kemanusiaan, Ajaran agama, Kegiatan positif, Kemasyarakatan. Bagaimana bisa demikian, lalu.... (bagaimana selanjutnya), Why…? Then…?

Apalagi bila millieu dan nasib membantu kekosongan waktu dan pengangguran kerja, maka yang paling duluan dipengaruhi menjadi objek dan korban adalah anak-anak muda. Musuh kemanusiaan sibuk merusak, mengaku membangun. Merusak orang lain membangun diri sendiri. Menyusahkan orang lain mengenakkan diri sendiri. Menyalahkan orang lain membenarkan diri sendiri. Menyelakakan atau menyengsarakan orang, ia menyelamatkan diri sendiri. Orang rusak dan perusak dunia tetap akan bergerak, beraksi dengan motif, semboyan “Bagaimana caranya agar aku, keluargaku, golonganku, aku – aku yang lainnya enak meskipun pihak lain sengsara”. Karena kekosongan.

Maka ingatlah "Demi masa. Sesungguhnya manusia dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal salih, saling nasehat menasehati dalam hal kebenaran dan nasehat menasehat dalam hal kesabaran" (Surah al 'Ashr). Bagaimana bila menyikapinya dengan putus asa, alih profesi (hijroh) atau menonaktifkan potensinya? Putus asa/hijrah profesi positif adalah hak setiap orang, sedangkan putus asa lari dari tanggung jawab apalagi membunuh masa depan dengan kekosongan atau bunuh diri adalah kekerdilan dan sikap protes terhadap takdir. Ingkar kekuasaan, kekuatan Sang Pencipta Allah SWT. Tidak menghasilkan apa-apa dan tidak menguntungkan siapa-siapa, dan Allah mengkategorikannya sebagai Kafir.

Rusak dan kerusaan akibat penyakit bernama "Kekosongan" diantaranya; Kekosongan perasaan kemanusiaan, mengakibatkan timbulnya banyak tindak kejahatan; Kekosongan ajaran agama, akhirnya membuat agama–agama baru yang tidak ada landasan syariat tapi berlandaskan nafsu dan kepentingan pribadi dan golongan; Kekosongan kegiatan positifmenarik, diganti dengan kegiatan yang merusak, maksiat, dan tidak bermanfaat; Kekosongan jiwa kemasyarakatan, menjadi kurangnya 'kepedulian terhadap sesama dan lingkungan, rusaknya pergaulan dan ekosistem lingkungan; Kekosongan harapan,cita-cita yang bermotif, mudah dimasuki anasir-anasir distruktif.
Bila ada trik-trik pada sebuah usaha membentuk organisasi dan apa saja, janganlah dijadikan arena/kesempatan saling salah menyalahkan situasi akibat kekosongan “massal”, tetapi pelajarilah prestasi, motivasi, tujuan, dan semberdaya manusianya terlebih dahulu.

Sebab-sebab terjadinya/timbulnya organisasi pergerakan dan sebagainya itu relatif dan sekupnya beragam. Diantaranya;

1. Kekosongan beberapa unsur dalam masyarakat dan menimbulkan kepincangan-kepincangan. 2. Kebodohan akan hak-hak yang terambil oleh pihak lain.
3. Kepicikan dan kelemahan da'i.
4. Ketergesa-gesaan, keterburu-buruan.
5. Memburu keduniaan.

Syi’ar Islam tanpa tegaknya syari’at hanya kekosongan dan keropos (ajwaf, jaufa' dlm bhs Arab). Syari’at tanpa syi’ar terasa kering dan kaku (Jaaf). Kekosongan dalam kehidupan Islami harus diisi!. Kalau tidak syetan-syetan yang akan mengisi, dan manusia menjadi budak-budaknya. Na’udzubillaah!

Anak-anak kita sekarang terbagi menjadi dua, pertama; disibukkan oleh sesuatu yang seharusnya tidak menyibukkan, tertarik asyik dengan hal-hal maksiat atau kegiatan yang tidak perlu disibukkan atau diasyikkan. Yang kedua; tidak pandai, tidak cakap dan tidak benar dalam mengisi kekosongan.
Pandai-pandailah menghemat waktu, uang tenaga/kesehatan untuk hal-hal yang berguna. Jangan memanjakan kekosongan.

Gontor. Kamis, 31 Januari 2008