Wednesday, December 19

Ied Mubarok, Iedul adha (2)


Pagi-pagi sebelum subuh aku sudah bangun. Pagi itu memang agak "gasik" bangunnya. Maklum semalam jam 22.00 saya sudah tidur. Malam ini saya menginap di tempatnya mbak Enen Bekasi. Sebab keesokan harinya saya akan ikut mengantar rombongan ke Mantingan dan Gontor. Syukurlah, sekalian silaturrahim ke pondok.

Kumandang takbir menyongsong datangnya pagi. Sejak subuh speaker masjid terus menerus mengumandangkan takbir tanpa berhenti. Sepertinya memanggil-manggil para jama'ah untuk bersegera datang. Salat ied akan sebentar lagi dilaksanakan. Hewan-hewan sembelih sudah siap dikurbankan.

Rencana selesai salat ied. Kita bersama menuju kediaman ust. Rusydi. Rencananya menjemput mbak Uke sekeluarga. Sebenarnya berhajat ke pondok adalah mbak Uke dan anak-anaknya. Mbak Uke dengan ketiga anak-anaknya ingin ke pondok menengok suaminya. Mumpung pas liburan, katanya. Yakni dari hari ied, natal dan tahun baru yang bersambungan. Setelah beres-beres sebentar kita langsung berangkat.

Syukur proposal penelitianku telah disetujui dan lulus. Tinggal melakukan penelitian di Gontor. Pembimbing thesis Prof. Afid, meminta saya setelah natalan dapat membicarakan proposal tersebut secara terfokus. Untuk lebih jelas operasionalnya di lapangan nanti. Selain itu juga mempersiapkan apa-apa sebelum ke lapangan.

Siang ini rencana berangkat ke Jawa. Entah lewat utara atau selatan saya belum tahu. Mana yang tidak macet deh. Soalnya, lalu lintas dari Jakarta mestinya ramai menyongsong liburan berantai di akhir tahun ini. Yang penting kita jalan santai saja kok. Tidak ngebut-ngebut. Alon-alon waton kelakon.


Ma'a salamah fii amanillah

Ied mubarok, iedul adha



Allahu Akbar

Allahu Akbar

Allahu Akbar

Laa ilaha illaAllahu Allahu Akbar

Allahu Akbar walillahi-l-hamd ... 3x

Pekik takbiran terdengar malam itu. Menandai masuknya hari raya Qurban atau iedul adha. Nun jauh di sana para hujaj sedang menunaikan ibadah haji di Makkah. Saat ini sedang ramai-ramainya tawaf setelah sebelumnya wukuf di Arafah. Ya Allah, Allahummarzuqni ziyarata baitikal muharram. Amin ya Rabbal 'alamin.

Muslimin di Indonesia merayakan hari raya Qurban tahun ini pada Kamis 20 Desember 2007. Lima hari kemudian ada perayaan suci juga bagi umat kristiani. Menyusul lima hari kemudian tahun baru. Subhanallah waktu berjalan begitu cepat. Apa yang sudah saya perbuat.
Bagi muslimin hikmah perayaan hari besar ini adalah bagaimana pelajaran untuk berkorban, berkorban dengan seluruh apa yang dimilikinya lillahi ta'ala. Sebab semua apa yang kita miliki adalah titipan dari Dia. Kelak akan kembali juga padanya. Bondo bahu pikir lek perlu sak nyawane pisan.

Mari kita petik hikmah dari kisah Nabi Ibrahim AS. Ketika beliau mendapat perintah dari Allah SWT untuk menyembelih putranya Ismail, beliau patuh dan tawakal. Setelah bercerita mimpi berupa perintah Allah SWT padanya, beliau tanya Ismail dulu "bagaimana menurutmu ya Ismail". "Lakukanlah wahai bapakku, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang saleh". Kedua-duanya memang saleh dan patut menjadi model suatu pengorbanan yang tertinggi. Karena keikhlasan keduanya yang paripurna, akhirnya Allah SWT menggantikan penyembelihannya dengan "dzibhin adzim", sebuah sembelihan besar berupa domba yang gemuk.

Subhanallah. Betapa ironisnya jaman sekarang ini. Gap sosial sangat tinggi sekali. Kapitalisme global membuat orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin. Kemiskinan terstruktur ini kalau tidak sama-sama ada yang care akan berakibat pada meningkatnya angka kriminalitas. Tingginya kriminalitas membuat situasi politik, sosial, ekonomi dan agama tidak aman. Begitulah masalah sosial yang involutif (mbulet).

Berkorban atau pengorbanan dalam artikulasi sosial muncul dalam sifat-sifat seperti kedermawanan, toleran, solider, dan ringan tangan (suka membantu). Sifat-sifat buruk seperti egois, bakhil, egp (emang gue pikirin), dan lain-lain dibuang jauh-jauh. Tolak ukurnya hikmah dari Nabi Ibrahim tadi. Bagaimana sampai nyawa anaknya siap beliau kurbankan lillahi ta'ala.
Berbagai gerakan karitas saat ini muncul di Indonesia. Di antaranya adalah gerakan wakaf, zakat, infaq dan sadaqah. Beberapa lembaga atau badan didirikan untuk mengefektifkan amanah ini dengan baik. Dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, sebenarnya Indonesia punya potensi untuk maju dan makmur. Tidak ada lagi para gelandangan, gembel di jalan-jalan, atau pengangguran jika semua sama-sama merapatkan barisan. Bersama bersatu, satu visi dan satu visi.

Alih-alih memberi suatu aksi nyata buat umatnya. Para elit dan tokoh agama sendiri sudah terkotak-kotakan dengan interes pribadi dan kelompok. Para pengikutnya pun dengan sendirinya juga terkotak-kotak. Perbedaan dengan pengkotak-kotakan tersebut tidak ada masalah jika mereka fahami perbedaan tersebut sebagai hikmah dapat tukar pikiran dan saling nasehat menasehati. Yang terjadi malahan baku hantam dan pertentangan.

Dengan hari yang mulia ini, kita berdoa sama-sama semoga kita dapat merapatkan barisan. Peduli amat dengan labeling orang luar kepada kita berupa sekuler, fundamentalis, radikalis, teroris dll. Sudah jemu dikatakan demikian. Jawabannya adalah mari berbuat nyata untuk umat. Wallahu fi 'aunil abdi maa daamal 'abdu fi 'auni akhiihi.

Bekasi 20 Desember 2007

Ba'da subuh sebelum salat 'ied

Disiplin, apakah sebuah formalitas?




Disiplin menjadi masalah krusial di Indonesia. Mengingat mayoritas orang Indonesia tidak berdisiplin. Disiplin yang dilakukan sepertinya dipaksakan dan sekedar formalitas. Sekedar contoh, seorang pegawai berdisiplin masuk kantor tepat pada waktunya. Namun setelah itu dia tidak berdisiplin dalam kerja. Seharusnya dia harus tetap mengerjakan tugas dan bekerja di kantor selama jam kantor. Tidak boleh "nyambi" (bekerja sambilan) sana nyambi sini.
Orang mencari akal supaya bisa menghindari disiplin sedemikian rupa. Ia merasa terkekang dengan disiplin. Kebebasan seperti terenggut oleh disiplin. Dalam pikirannya disiplin seperti suatu beban yang memaksa dia supaya patuh setiap saat. Seakan-akan disiplin itu menjadi majikannya yang siap memarahinya jika ia tidak patuh.

Namun jika dilihat lebih seksama pada kondisi sosial dan ekonomi di masyarakat. Khususnya masalah pendapatan para pegawai kantoran. Rata-rata gaji mereka jauh dari kebutuhan hidup yang mesti mereka tutupi. Mereka juga berusaha untuk dapat menutupi kekurangan itu. Lagi-lagi ia dituntut sekreatif mungkin untuk mencari sumber lain. Salah satu caranya yaitu mencari sambilan.
Maka tidak heran, kalau seorang kepala sekolah selesai mengajar di sekolah ia berprofesi sebagai tukang ojek. Meski ia berdisiplin menepati tugas formalnya. Masalah ekonomi telah mengusik konsentrasi terhadap tugasnya. Adapula yang mencari sela-sela waktu jam kerjanya untuk mengerjakan kerjaan lain yang mendatangkan uang.

Bagaimanakah berdisiplin dengan baik itu? apa pula yang membuat disiplin itu berjalan dengan baik. Berbagai asumsi bermunculan. Pada sebuah sekolah dapat dikatakan etosnya baik jika disiplin ditegakkan dengan baik. Begitu pula di sebuah institusi atau perusahaan, kualitas kerja didukung sekali dengan disiplin kerja yang bagus.

Menjawab pertanyaan di atas. Hendaknya kita fahami dulu apakah tujuan disiplin itu sebenarnya. Disiplin dalam arti positif berarti latihan, di lain pihak juga diartikan sebagai alat koreksi atau hukuman. Menurut Foucault, disiplin adalah metode-metode dimana dimungkinkan kontrol dengan seksama kepada kegiatan operasional tubuh, sehingga menghasilkan pada kepatuhan dan kebermanfaatan. Ia melihat dari sudut pandang kekuasaan yang produktif. Bahwa tujuan dari pendisiplinan baik itu di penjara maupun institusi lain adalah untuk menciptakan masyarakat yang produktif. Tidak selalu berarti kekuasaan yang represif atau dengan kekerasan. Tujuan utamanya adalah bagaimana individu dapat mengontrol dirinya sendiri (self control).

Ada fenomena menarik yang perlu dikaji. Di sebuah negara yang kurang beragama seperti di Rusia atau di Amerika disiplin sangat diperhatikan sekali. Keteraturan, stabilitas dan keamanan semua digiatkan dengan penuh disiplin. Jika hal tersebut dibandingkan dengan Indonesia yang jauh lebih beragama karena mayoritasnya beragama Islam, kenapa tidak bisa seperti mereka. Timbullah pertanyaan kemudian, apakah yang menjamin berlakunya demikian itu sistem atau agama atau pendidikan atau pada akhirnya dikembalikan pada kesadaran individu masing-masing.

Silahkan dijadikan bahan renungan.....! al'abdu yudrobu bil 'asoo, wal maahiru yakfiihi bil isyaaroh.

obrolan dengan Ust. Rusydi Bey Fananie

18 Desember 2007 Ba'da Magrib di kediaman Polonia Otista Jakarta.

Kendari, sebuah kenangan (1)




Satu persatu dari kiri, Ita Rahmawati (Jombang), Wulan atau ciwoel (Depok), Ida Rachmawati (Jombang), Dewi (Riau), Fatimah (Gontor), Nur Chotimah (Kediri), Kiki Ruqiah (Bogor), Inuk (Jakarta). Kecuali Fatimah binti KH. A. Syukri Zarkasyi, merekalah para ustadzah di Gontor Putri 4 periode pertama. Foto ini diambil sewaktu mengantar rombongan Gontor untuk acara peresmian pondok meskipun pembangunannya baru 65 % saat itu. Pimpinan Pondok Gontor, KH. A. Syukri Z., ingin supaya pondok diresmikan terlebih dahulu untuk syiar dan dakwah.
Para ustadzah tersebut datang bersama kita terlebih dahulu. Rombongan kami tiba di Kendari 5 hari sebelum rombongan Pimpinan Pondok datang. Sebuah perjalanan panjang yang pernah saya alami. Meski naik pesawat terasa perjalanan sangat panjang. Rencananya kita tiba pukul 21.00 malam, namun baru 01.00 baru tiba. Kurang lebih 5 jam kami menunggu pesawat di Makasar yang datang Jakarta.
Setibanya di Kendari kita sudah dijemput oleh para asatidz dari Gontor 7 Pudahoa. Rasa lelahpun belum sampai hilang kita sudah disambut oleh para penduduk di pondok dengan jamuan makan. Jam menunjukkan pukul 01.30 dinihari. Acara baru selesai pukul 03.00 pagi. Bayangkan. Habis itu tidak juga kunjung istirahat. Kita para asatidz bersama para alumni musyawarah untuk persiapan acara peresmian yang akan diadakan dua hari lagi dilanjut salat subuh berjama’ah. Kita baru bisa tidur jam 04.45 WITA. Pada pukul 05.30 saya dibangunkan oleh Ust. Heru, Wakil pengasuh di Gontor 7 Pudahoa.
Bersama beliau saya diajak ke pondok di Pudahoa. Ini kali pertama saya berkunjung ke pondok tersebut. kurang lebih 350 santri tinggal di pondok. Usianya baru jalan 3 tahun. Saya pun mempersiapkan apa apa yang dibutuhkan untuk acara dua hari ke depan. Dari membuat undangan, soundsystem, panggung, lampu dan lain-lain untuk kebutuhan pada waktu acara nanti. Semua dibantu urusannya oleh Gontor 7. Secara otomatis saya diberi tugas sebagai sekretaris. Sekretaris lagi, sekretaris lagi..hee….hee..nggak di Gontor, di Sulawesi juga dapat job yang sama.
Wow belum tentu. Ternyata tugas di Sulawesi tidak sebatas ketik mengetik saja. Tugas mendirikan pondok tidaklah semudah yang dibayangkan. Bagaimana para mujahid yang mendirikan pondok dari nol ya. Kita saja yang sudah disediakan tempat dan bangunan yang nyaris selesai begitu banyak persoalan yang harus diurus. Dari urusan air, urusan penghijauan, urusan listrik, urusan fasilitas, urusan jemuran, urusan parit, urusan dapur, urusan koperasi/kantin, urusan pembinaan masyarakat, dan lain-lain masih banyak lagi. Saya bersama Taten (Tasikmalaya) dan Subhan “Ahong” (Jambi) harus bisa bahu membahu untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut, sebab kita adalah guru laki-lakinya.
Acara peresmian berjalan dengan khidmat. Pimpinan Pondok juga puas. Beliau membagi-bagikan hadiah buat para penduduk sekitar yang ikut mendukung dan membantu pembangunan pondok. Hadiah berupa sarung dan uang jumlahnya saya kurang tahu. Meski semalaman hujan deras sampai pagi masih gerimis, namun tidak mengurangi kekhidmatan acara. Selesai acara kita seluruh guru berkunjung ke Gontor 7 di Pudahoa bersama rombongan Gontor. Kita sama-sama mendengar nasehat dan wejangan Pimpinan Pondok. Beliau memberi semangat pada kami untuk berjuang di Kendari.
Esok harinya kita mengantar rombongan Gontor ke Bandara untuk kembali pulang ke Jawa. Sebelum masuk boarding kita berfoto bersama rombongan dan Pimpinan Pondok. Para ustadzaat juga menyempatkan berpose bersama Fatimah, putri Kiai Gontor. Sebelum keluar pintu bandara, Bu Syukri, membisikiku “ssst jangan..jangan nanti dapat jodoh loh disini”. “Hee…hee…nggak bu”, jawabku.
Cukup lama saya memang bertugas sebagai sekretaris pimpinan di Gontor. Interaksi dengan keluarga pimpinan dari keluarga Ust. Syukri, Ust. Hasan, dan alm. Ust. Badri juga cukup intens. Tidak hanya urusan pondok, urusan keluarga juga kita harus siap bantu. Sehingga kadang-kadang juga madamat ikut menasehati dan memberi arahan. Terkadang juga malah ngojok-ngojoki untuk urusan jodoh. Aaaah bisa aja deh.
Sebenarnya, di tahun tersebut saya mendapat tugas mengajar di Gontor Putri 1 Mantingan. Namun selama setengah tahun saya masih tertahan di Gontor Pusat untuk membantu tugas pimpinan, khususnya masalah pendataan dan menghadapi sidang badan wakaf. Setelah sidang badan wakaf yang sempat tertunda sampai pertengahan tahun, saya kembali mohon izin untuk ke Mantingan namun malah dapat tugas ke Kendari untuk berangkat bersama rombongan Ust. Husni Kamil.
Pesan beliau saat itu, sebenarnya memberi saya kebebasan memilih. Entah mau tetap mengabdi di Kendari atau kembali lagi ke Mantingan, terserah saya. Setelah melihat keadaan di Gontor Putri Kendari yang baru dibangun. Rasanya tidak tega meninggalkannya. Masak kalah semangat sama para ustadzaat yang berani dan mau berjuang di tempat terpencil seperti itu. Mari, saya juga siap berjuang dan jihad di pondok. Allahu Akbar.........good bye Mantingan.
Pancoran Mas, 18/12/2007
Sebelum sarapan 07.d00 – 07.30 WIB

Monday, December 17

Proposalku diterima



Syukur alhamdulillah, proposalku lolos. Dosen bilang kalau proposal saya diterima dengan segala kekurangannya. Informasi diterimanya proposal saya dapat langsung dari
mbak Tina, salah satu staf di jurusan antrops. Kebetulan saat itu disitu ada Prof. Afid. Setelah tahu saya lulus, saya langsung tanyakan kepada beliau bagaimana langkah
selanjutnya. Beliau memberitahu kalau sekarang tinggal bimbingan saja. Kebetulan lagi, beliau sendirilah yang menjadi pembimbing penelitianku, alhamdulillah.

Beliau meminta nanti setelah natalan didiskusikan lebih
lanjut. Sebab dari tanggal 20 sampai tanggal 25 Desember kegiatan di kampus libur. Kalau tidak tanggal 26 atau 27 saya diminta untuk menghubungi beliau. Sebelum ke lapangan, masalah metodologi dan arah fokus penelitian juga sudah harus jelas. Diharapkan dengan bimbingan masalah menjadi jelas. Untuk sementara saya perlu banyak referensi lagi. Khususnya buku-buku tentang karya etnografi. Karena saran dosen, penelitian saya lebih diarahkan ke etnografi pesantren.

Dalam penelitian kualitatif lebih diutamakan emik, baru kemudian etik untuk menganalisa. Dalam prosesnya kemudian terjadi dialog antara emik dan etik. Begitulah saran dari prof. Afid. Bagi saya ini adalah sebuah pekerjaan rumah bagaimana memahami jalannya proses tersebut.

Jika tidak ada halangan. Penelitian ini akan saya mulai pada bulan Januari ini. Satu hal yang tidak ingin saya tinggalkan adalah kebiasaan diskusi dan komunikasi bersama teman-teman kuliah. Karena mereka menjadi inspirasi saya untuk terus belajar dan maju sebagai calon antropolog. bravo antropolog dan antropologi.

Badan Wakaf Gontor

Berdiri dari kiri; KH. Rusydi Bey Fananie, alm. KH. Imam Badri, KH. Abdullah Baharmus, KH. M. Solihin, KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, KH. Hidayat Nur Wahid, KH. Kafrawi Ridwan, KH. Sutadji Tadjuddin, KH. M. Masruh Ahmad, dan KH. Amal Fathullah Zarkasyi.

Mereka adalah anggota Badan Wakaf (BW) Pondok Modern. Gambar ini saya ambil selesai sidang badan wakaf ke-43 kalau tidak salah, yaitu pada tahun 2004. Sebab yang saya ingat waktu saya sudah tidak aktif lagi ngajar. Hanya bertugas di sekretariat, sebelum pindah ke Mantingan. Di antara para anggota BW hanya KH. Hasan Abdullah Sahal yang tidak nampak. Beliau saat itu masih di atas ruang sidang menerima telpon. Jadi tidak kena jepret deh. Oh ya satu lagi adalah KH. Dien Syamsuddin yang tidak bisa hadir karena lagi ada tugas di luar negeri.

Badan Wakaf adalah lembaga tertinggi di Pondok Modern Gontor. Di tangan BW-lah kelangsungan hidup pondok dibebankan. Mereka bersidang setahun dua kali. Sidang pertama di awal tahun dan keduanya di awal pertengahan tahun. Acara sidang biasanya dilaksanakan di Gontor. Dalam acara tersebut dibahas mengenai laporan Pimpinan pondok yang juga anggota BW selama setahun dan memberi masukan untuk pondok ke depan. Selain itu, sebagai lembaga tertinggi, BW melakukan pemilihan dan pergantian pimpinan pondok setiap empat tahun sekali.

Terbentuknya BW ini sebagai tanggungjawab para alumni yang memegang amanah dari para Trimurti yang telah mewakafkan pondok ini kepada umatnya. BW dibentuk saat penyerahan wakaf pada tahun 1958 sebagai pihak penerima wakaf yang mewakili umat. Di antara para anggotanya sudah pada meninggal. Setiap berkurangnya anggota diadakan terus re-generasi. Jika lengkap anggotanya berjumlah 15 orang. Di antaranya anggota yang pernah saya jumpai sebelum meninggal adalah; KH. Hadiyin Rifai, KH. Al Muhammady, KH. Abdullah Mahmud, KH. Imam Badri dan KH. Ali Saifullah. Semoga Allah memberi mereka surga dan pahala yang melimpah karena jasanya terhadap pondok.

Dengan penyerahan wakaf dari para pendiri pondok berarti keturunan keluarga pendiri tidak boleh mengklaim kemudian kalau pondok ini adalah milik keluarga. Betapa para pendiri pemikiran dan cita-citanya jauh menerawang ke depan menembus sekat-sekat
ruang dan waktu. Begitu banyak pondok yang jatuh bangun dan kemudian hilang disebabkan karena masalah intern ma'had. Setelah pendiri pondok meninggal pondoknya juga ikut mati. Hal demikian tidak diinginkan oleh para Trimurti. Cita-citanya Pondok
Modern Gontor menjadi "center of the excelent" dari para kader-kader umat di Indonesia.

Mampukah para penerusnya mewujudkan cita-cita Trimurti? InsyaAllah mampu.

Presentasi proposalku




Lega rasanya kalau sudah dapat jadwal presentasi seminar proposal. Namun kegundahan datang sehabis seminar. Disetujui tidak proposal saya ya.

Senin siang, 17/12/2007, saya bersama mbak Kun dijadwal presentasi proposal. Prof. Afid dan Pak Iwan menjadi pengujinya. Perasaan grogi, pede, dan kurang yakin bisa, menghantuiku. Pingin rasanya cepat-cepat presentasi lalu menjawab semua pertanyaan dari dosen. Lalu beres.

Ternyata belum beres. Presentasiku selama 15 menitan seperti berjalan cepat. Belum sempat saya jelaskan secara detail. Mungkin itu salah saya sendiri karena terlalu panjang. Barangkali terlalu banyak konsep-konsep yang saya jelaskan. Ah tidak. Itupun sudah saya pangkas dan terus menerus saya perbaiki. Itu sudah maksimal bagi saya.

Pak iwan memberi waktu bagi saya untuk duluan. Pertama saya jelaskan latarbelakang lalu ke permasalahan penelitian seperti yang dianjurkan oleh mas Jaya. Baru masuk ke tela’ah konseptual dan metodologi penelitian.

Selesai presentasi dilanjutkan dengan pertanyaan dari hadirin yang hadir. Kebetulan saat itu yang hadir menyimak kami presentasi hanya seorang. Dialah Yusran Darmawan. Hanya dia yang sempat dan mau datang. Dapat dimaklumi kawan-kawan sedang menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang sudah mau deadline. Yusran saat itu menanyakan tentang istilah modern dalam kata Pondok Modern Gontor. Apakah penggunaan istilah tersebut mengartikan kalau Gontor kurang percaya diri, akhirnya menggunakan kata modern. Apakah hanya dengan menggunakan bahasa Inggris dan Arab bisa dikatakan modern. Selebihnya ia memberi masukan tentang penelitian.

Jawaban saya mengenai kata modern tersebut, bahwa kata modern datang sendiri dari masyarakat ketika melihat Gontor saat itu berbeda sistem pendidikannya dengan pesantren pada umumnya. Jika ingin menelesuri akar kemodernan Gontor memang tidak dilepaskan dari segi historisnya. Yakni ketika terjadi modernisasi di Gontor dengan diterapkannya sistem mu’allimin pada tahun 1936. Sebagaimana sistem pendidikan di Noormal Islamic School di Padang. Pak Iwan kemudian menyudahi jawaban saya dengan mengatakan, wah ini jawaban dari orang Gontor, orang yang pernah belajar di Gontor, sambil bercanda.

Pertanyaan selanjutnya datang dari Prof. Afid, pembimbing akademik saya. Kepada beliau-lah saya terus intensif berkonsultasi mengenai rencana penelitian saya. Pertanyaan beliau sangatlah pelik. Ia bertanya apa yang membedakan kajian kamu secara spesifik dengan kajian-kajian sebelumnya mengenai pesantren ini. Pertanyaan kedua, bagaimana punishment dan disiplin sebagaimana yang kamu ungkapkan dikaji secara antropologis, bagaimana posisi konsepnya?. Hanya pertanyaan pertama yang saya kira jawabannya baik. Untuk pertanyaan kedua, saya sendiri kurang yakin benar. Karena setelah mendengar jawaban saya beliau mengatakan kalau itu ada masalah di metodologi, Pak Iwan yang lebih tahu.

Giliran pak Iwan, ketua Jurusan Pascasarjana Antropologi, menanyaiku. Beliau dikenal disiplin dan ketat dalam masalah metodologi. Pertanyaan beliau mempertegas kembali, dimana posisi saya dalam penelitian ini. Apakah saya akan meneliti disiplin di pesantren atau masalah kekuasaan, atau masalah disiplin yang ada hubungannya dengan kekuasaan. Meski sudah saya dahului ketika presentasi bahwa konsep-konsep yang saya jelaskan tidaklah akan saya terapkan secara penuh nanti di lapangan. Itupun kurang membantu meyakinkan. Seakan-akan saya memaksakan isu kekuasaan dalam penelitian ini. Itu mungkin kesalahan saya. Pada akhirnya, Pak Afid lebih bijak mengarahkan penelitian saya ke arah etnografi pesantren. Sehingga jawaban saya yang ingin menjelaskan bahwa di pesantren sendiri isu kekuasaan itu pasti ada itu semakin memperumit masalah. Menurut pak Iwan arah penelitian saya belum jelas.

Waduh, gimana nieh. Saya kurang hati-hati dalam pembahasan konsep dan teori sampai dampaknya ke urusan metodologi. Sehingga setelah selesai pun saya tidak tenang. Pak Iwan kemudian memberitahu kalau pengumumannya ditunggu besok atau lusa bisa ditanya di jurusan. Mak tratap atiku, lanjut opo ora yo. Saya berdoa lulus dan lanjut. Sehingga rencana penelitian ke lapangan tidak tertunda lagi.

Mungkin sampai sinilah usahaku. Yang bisa hamba lakukan sesudah berusaha adalah berdoa. Semoga apa yang telah saya usahakan terkabul dan diridloi sama Allah SWT. Amin ya Rabbal ‘Alamin. Semoga hambamu ini diberi yang terbaik.

Pancoran Mas, 18 Desember 2007
Pukul 04.45 – 05.30 ba’da salat Subuh.

Friday, December 14

Akhirnya, akan seminar juga….




Tak kebayang sebelumnya, bisa menyelesaikan draf proposal penelitian. Sudah hampir selesai satu semester. Alhamdulilah disetujui juga usulan proposal saya. Sejak pertama mengajukan judul kepada pembimbing akademik, saya hitung sudah tiga kali ganti topik. Meski sulit untuk mendapat waktu konsultasi dengan pembimbing akademi Prof. Afid, namun cukup berharga sekali kesempatan untuk bertemu beliau.

Bukan main senangnya hati ini. Saat mendengar langsung dari pembimbing kalo proposalku disetujui dan suruh diserahkan ke jurusan untuk diseminarkan. Meski saat itu hati gundah mendengar adik dirawat di rumah sakit karena DB. Tanpa pikir panjang hari itu juga aku langsung serahkan ke jurusan dan bersiap-siap berkemas untuk pulang menjenguk adik yang sedang sakit sambil menunggu jadwal seminar.

Sudah seminggu kepulanganku. Alhamdulillah adik telah sembuh dan boleh pulang. Saya kembali ke Jakarta. Setelah empat hari di Jakarta, hari Kamis kemarin baru aku mendapat kabar kalau senin 17/12/2007 disuruh siap-siap untuk seminar bareng mbak Kun, periode sebelum saya. Wah kudu nyiapin untuk presentasi nih. Aku berdoa supaya lancar dan lulus seperti mbak Fikri kemarin.

Diskusi informal bersama kawan-kawan pasca antrop cukup memberi support bagi saya untuk segera menyelesaikan proposal ini. Suasana keakraban di kampus membuat saya bersemangat. Mereka bisa kenapa saya tidak. Saya harus banyak belajar. Banyak membaca. More reading more knowledge we got.

Selain diskusi informal di pojokan kantin, teman-teman juga terlibat diskusi di dunia maya. Kita tergabung dalam milis pasca-antrop UI yang dimoderatori oleh saudara Yusran Darmawan. Dari topik kangen-kangenan sampai diskusi masalah teori. Intinya, kita faham bahwa dengan tukar pikiran kita akan lebih memperluas wawasan kita. Dengan selalu sharing, kita selalu mendapat inspirasi. Ide-ide baru sering muncul dari obrolan yang tidak terencana. Untuk lebih memperkuat kekompakan kawan-kawan rencana bertahun baru di Halimun. Wuah liburan yang menarik tuh.

Sebentar lagi hari raya iedul qurban. Pemerintah menetapkan bahwa hari raya jatuh pada Kamis, 20 Desember 2007. Belum ada rencana mau merayakannya dimana. Terlebih dahulu saya ingin selesaikan urusan seminar proposal ini. Syukur-syukur dapat bantuan dana penelitian. Saya akan mencari info dimana yang dapat memberi bantuan dana penelitian. Menurut salah satu kawan, bahwa di depag yaitu bagian perguruan tingginya tersedia bantuan dana penelitian. Jika tidak ada halangan, saya ingin merayakan ied di Cirebon di tempat kakak iparku. Kakak ipar sekeluarga berencana merayakan ied di Cirebon.

Jum’at siang, 14/12/2007, beberapa kawan berkumpul bersama ibu Suraya dan mas Toni, keduanya adalah dosen di jurusan antropologi. Agenda siang itu membicarakan untuk membentuk suatu komunitas yang berminat dalam kajian agama dan budaya. Begitu banyak isu agama dan budaya menjadi topik sangat relevan saat ini. Namun disayangkan belum ada komunitas yang mendukung peminatan kajian tersebut. Saat itu kita berjumlah 8 orang bersepakat untuk membuat komunitas tersebut. Tugas awal dari anggota tersebut adalah membuat semacam review atas literatur-literatur yang berkaitan dengan kajian agama dan budaya. Untuk keperluan tersebut saya membuat milis untuk media komunikasi kita. Milis tersebut saya namai antropagama_UI. Rencana kita akan kembali berkumpul pada selasa, 8/1/2008.

Kegiatan-kegiatan edukatif semacam ini menjadi penyemangat bagi diri saya. Terlebih lagi gairah untuk terus belajar dan berproses. Akhirnya, saya berdoa semoga seminar proposal dan kegiatan penelitian dapat lancar dan dimudahkan oleh Allah SWT. Amin ya Rabbal ‘alamin.






Halal bi halal IKPM Kudus




Sebuah tradisi bagus di setiap lebaran adalah silaturrahim. Sebutan yang sering didengar adalah “halal bi halal”. Kenapa dinamai demikian, saya juga tidak begitu pasti tahu. Kemungkinan artinya saling memaafkan dan tidak lagi saling menyalahkan satu sama lain.

Bagi kawan-kawan alumni pondok Gontor yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Pondok Modern. Biasanya di setiap cabang diadakan acara halal bihalal. Tak terkecuali bagi IKPM Kudus. Tepat hari keenam lebaran acara halal bihalal diselenggarakan di tempat salah seorang pengusaha jenang yang juga alumni Gontor. Bapak Helmi pengusaha jenang al Mubarak menjadi tuan rumah.

Selain agenda kangen-kangenan dan maaf-maafan. Kesempatan tersebut juga dibuat untuk konsolidasi para alumni dalam menghadapi pemilihan bupati sebentar lagi. Kebetulan bapak Helmi saat itu mencalonkan diri. Namun beberapa hari yang lalu beliau mengundurkan diri dari pencalonan. Tinggallah sekarang putra dari ketua IKPM Kudus bapak As’ad yang menjadi calon bupati bersaing dengan calon-calon yang lainnya.

Namun demikian, tidak mengurangi kehidmatan dari acara silaturrahim yang berlangsung saat itu. Kurang lebih 150 orang lebih hadir dalam acara. Dari mulai alumni 1950-an sampai alumni yang terbaru 2007, semua berkumpul dalam aula pabrik milik jenang al Mubarak. Acara yang dimulai pukul 10.00 berakhir pada pukul 14.00 siang.

Selesai acara, saya sempat mengobrol dengan bapak Helmi. Beliau yang satu periode dengan almarhum ust. Ali Sarkowi low profile sekali. Tidak terkesan jaga jarak dan jaga wibawa sebagai seorang pengusaha sukses. Beliau cerita mengenai mundur dirinya dari pencalonan bupati. Ternyata keinginannya untuk membesarkan perusahaan lebih berat daripada bertarung di dunia politik di Kudus. Maslahah lebih besar mundur daripada maju, demikian ungkapnya. So bravo mr. Helmi, bravo buat jenang Al Mubaroknya.

Wednesday, November 28

Pesona Prigi Trenggalek




Beginilah suasana tempat pelelangan ikan di pantai Prigi Trenggalek. Sejak dinihari para nelayan kembali ke darat untuk menurunkan hasil tangkapan ikannya. Ada yang perahu besar dan perahu kecil. Bedanya yang perahu besar mereka dilengkapi dengan mesin dan alat tangkapan yang lebih canggih. Perahunya pun berani lebih jauh ke tengah laut daripada perahu kecil. Jadi, tangkapannya biasanya lebih variatif dan besar-besar dibandingkan perahu kecil.

Sedangkan perahu kecil, umumnya, milik nelayan biasa yang hanya dilengkapi jala dan peralatan seadanya. Tangkapan mereka hanya ikan-ikan yang musim di waktu itu. Ikan-ikannya kurang variatif. Meskipun demikian, dengan menjadi nelayan penangkap ikan telah dapat menghidupi mereka. Walau tidak semewah yang dibayangkan.

Sesungguhnya potensi laut di Indonesia besar sekali. Ironisnya, sumberdaya alam yang hebat tidak didukung oleh sumberdaya manusia. Akibatnya, sumberdaya alam kita, khususnya sumberdaya di laut, banyak dirampok oleh Negara-negara tetangga yang jauh lebih maju peralatan teknologi dan manusianya.

Bayangkan, betapa mustahilnya Singapura Negara yang luasnya hanya sejempol kaki Indonesia menjadi pengekspor ikan terbesar di Asia Tenggara. Bagaimana mungkin. Tapi kemustahilan tersebut dijawab dengan sumberdaya manusia dan peralatan teknologi yang canggih. Jadi, dengan knowledge semua serba mungkin.

Pagi itu saya menemani menantunya ust. Syukri Gus Adib dan Ust. Husni kamil ke pantai Prigi untuk beli ikan. Katanya, untuk persiapan lebaran nanti. Ketika datang di sana ternyata musim ikan saat adalah ikan layur yang panjang-panjang. Untuk mencari ikan yang besar-besar susah sekali. Jadi kita tunggu agak siangan sedikit untuk menunggu kapal yang lebih besar datang. Akhirnya, dapat juga beberapa ikan yang besar dengan harga beberapa kali lipat dari biasanya. Alasanya, susah nangkapnya. Demikianlah suasana pagi itu, pesona di tempat pelelangan ikan di Prigi Trenggalek. Semoga pemerintah lebih dapat meningkatkan pemberdayaan di setiap TPI-TPI lainnya.



Buka Bersama di Mushola Kampung




“Siapa yang memberi buka seorang soim, maka pahala bagi dia seperti pahala puasa yang soim kerjakan, tanpa dikurangi sedikitpun” (Hadits).

Alhamdulillah hari Sabtu sore, seminggu sebelum lebaran, bapak memberi buka puasa untuk para soimin di kampung. Sebelumnya, hari Jum’at, bapak membeli kambing ke desa sebelah, sekalian minta dipotongin dan dicacah-cacah. Besok pagi minta diantar langsung ke rumah. Untuk urusan masak memasak “mbak Utik” sudah dihubungi ibu untuk belanja bumbu-bumbu dan pernak pernik lainnya termasuk kue dan buah untuk ta’jil serta cuci mulut. Sedangkan ibu pagi itu berangkat dulu ke kantor, bapak juga demikian. Siang baru pulang.

Sejak pagi saya sibuk membersihkan rumah. Rumah yang hanya ditinggali oleh Bapak dan Ibu kelihatan kotor sekali. Berdebu tebal dan lantai sering tidak bersih. Maklum rumah kayu dan tidak ada pembantu. Gerakan bersih-bersih sudah saya mulai sejak pagi, sekitar pukul 07.00 kira. Pertama yang saya bersihkan adalah tempat ruang tamu di bagian depan. Semua jendela saya bersihkan. Atap-atap langit saya sapu pakai sapu panjang. Jendela depan pun tidak luput dari serangan saya. Ya Allah banyak sekali debunya, mana panas dan puasa lagi.

Semua kursi dan meja di ruang tamu saya keluarkan semuanya. Sebab kalau hanya di‘sulaki’ saja debunya akan kembali lagi, lebih baik saya cuci sekalian saja. Terakhir saya pel lantai. Beruntung mbak utik juga bantu. Jadi sambil masak juga masih bisa ngepel. Kalau tidak saya sudah harus batalin puasa. Soalnya lemes banget n udah lagi panas-panasnya. Tak terasa udah pukul 12.00 lalu saya lanjut ngepelnya sampai selesai. Saat pulang dari kantor Ibu melarang saya untuk menyudahi ngepel sebab nanti kalau lemes kan lagi puasa. Tanggung bu sebentar lagi, jawabku.

Betul, setelah selesai badan terasa lemas sekali. Bawaannya pingin minum saja, tapi mengingat sore itu mau memberi buka puasa, rasanya tidak tega. Sedangkan bapak saat itu yang ikut-ikutan bantu sudah klenger tidur. Yang saya heran mbak utik tidak kelihatan lemas, ternyata dia batalin puasa, heee….ehh ketahuan loh. Saya sendiri habis itu mengantar motor untuk diservis sebab besok mau berangkat ke Mantingan lalu ke Gontor naik sepeda motor. Setelah mandi saya langsung menggenjot ke rumah lek Fai di samping rumah mbak tyas. Saya minta motor diservis tapi tidak ganti oli sementara dikerjain saya istirahat di tempat mbk tyas. Wah…..semakin loyo saja badan ini. Akhirnya jadi juga batalin puasa. Betul-betul memang sudah tidak kuat.

Sorenya jam 16.00 saya telpon lek Mitro untuk ikut buka di rumah. Sedangkan bulik mitro sudah sejak tadi siang membantu memasak. Setengah lima sudah saya angkutin semua peralatan, dan makan-makanannya ke mushola. Nampak menjelang pukul 17.00 para jemaah mulai berdatangan. Saya belum bolak-balik rumah musola untuk antar-antar. Waktu itu masih belum salat ashar dan mandi. Sedangkan bapak sudah standby di musola.


Suatu kebiasaan yang baik di kampung saya saat ini dibanding kampung sebelah dulu tinggal di sana, orang-orangnya pandai menghargai dan tidak suka menilai-nilai orang atau membicarakan orang. Entah ya, soalnya saya jarang di rumah, tapi itu menurut pendapat saya. Pernah suatu kali, tahun lalu kalau tidak salah, diadakan juga buka bersama di kampung sebelah yang datang cuma beberapa saja. Padahal undangan juga telah disebar. Bukan hanya itu saja. Jika ada kegiatan di musola yang datang hanya orang-orang tua. Setiap harinya ibadah berjama’ah hanya salat magrib, isya’ dan subuh.

Yang penting semua berjalan dengan baik, sosialnya juga dapat hidup berdampingan dengan baik. Semoga tahun depan kita dapat kembali hadir pada bulan mulia Ramadhan dan lebih dapat rizki lagi untuk mengadakan buka puasa bersama.

“Allahumma laka sumtu wabika amantu wa ‘ala rizkika aftortu ya arhama Rohimin”. Posted 27 nov. 2007

Buka Bersama dan Silaturrahim IKPM Semarang




Sudah lama tidak tahu bagaimana perkembangan keluarga Gontor di Semarang. Ikatan Keluarga Pondok Modern Cabang Semarang setahu saya dulu dipimpin oleh Bapak Uzair Cholil, apa sudah diganti atau belum, saya sendiri belum tahu. Menurut kabar, ketika Silatnas yang diadakan di Semarang ada pergantian pengurus IKPM, penggantinya, katanya Ust. Nurimawan. Beliau ini dulu pernah nyantri di Gontor tapi sambil mengajar ilmu-ilmu eksak seperti matematika, fisika, dan kimia. Jadi selain guru dia juga santri saat itu yang ingin belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama. Kemudian diambil menantu oleh kiai Pondok Walisongo Ngabar Ponorogo. Wah beruntung sekali ya.

Saat liburan menjelang lebaran, aku dapat sms dari Imam Aly untuk hadir buka bersama IKPM Semarang di daerah Krapyak. Kali ini yang menjadi tuan rumah adalah seorang alumni tua yang sekarang telah jadi guru besar di IAIN Walisongo Semarang. Rumahnya pun berada di kompleks dosen IAIN di daerah Krapyak. Wah lumayan juga berada di daerah atas, saya dapat melihat pemandangan kota Semarang dan laut yang menghampar luas hanya dari muka rumahnya.

Dalam pertemuan tersebut saya dan kami, yang mayoritas adalah generasi mudanya meski jaraknya ada beberapa tahun di atas dan di bawah saya, mendapat wejangan dan nasehat dari sesepuh kami. Nama tuan rumahnya sendiri saya lupa, sebab baru ketemu sekali. Alumni yang mengajar di IAIN yang saya ingat hanya pamannya Masbukhin, kabarnya dia mau dia sudah doktor dan mau promosi jadi promovendus, saya denger kayak gitu. Dulu saya sempat diuji untuk beasiswa ke Mesir sama beliau bareng masbukhin dalam satu ruangan, ketika pengumuman saya tidak lolos.

Banyak wajah dari para alumni yang baru saya lihat. Saya kaget saat ketemu Alwi Ihsan di sana. Dia kebetulan senior saya di gedung Madrasah, dia adalah staf ADM Gontor sedangkan saya jadi sekretaris pimpinan saat itu. Setahu saya dia adalah konsulat bojonegoro. Ternyata istrinya adalah pegawai bank Muamalat di Semarang. Jadi ya, ia ikut menemani istrinya. Saya disuruh mampir ke rumahnya. Letaknya di jalan Pandanaran.

Saat makan buka dia cerita bagaimana kronologi berjodoh istrinya. Cerita berawal saat bu Syukri meminta tolong Alwi untuk mengantar putrinya Pipit bersama kawan-kawannya dari Mantingan untuk ikut ujian seleksi beasiswa Mesir. Di situlah pucuk di awal ulam tiba. Ada salah satu kawannya pipit yang suka, tapi menurut pipiet yang ngenalin kawannya itu adalah adiknya Alwi sendiri Ghozi yang saat itu juga bareng ikut ujian seleksi di Surabaya. Namanya juga jodoh, adiknya yang suka, namun kakaknya yang dapat, heee…heee…


Pada acara tersebut saya juga ketemu alumni yang jauh di atas saya namanya Anis. Saya cukup gembira bisa kenal dia sebab ternyata dia adalah tetangga desa sendiri. Bagi saya cukup kesulitan untuk tahu siapa saja alumni senior yang dekat rumah. Ternyata dari keterangannya banyak yang datang dari sekitar Jeketro. Rumahnya Anis di Mlilir tepat di depan Masjid. Punya usaha sewa tenda dan sound system untuk acara-acara nikah ataupun yang lainnya. Setelah buka puasa, kami terus berpamitan untuk pulang kepada tuan rumah.

Luar biasa dapat berkumpul dan bersilaturrahim dengan ikhwan dan senior dari Gontor yang tinggal di Semarang. Satu yang belum terwujud dari cita-cita senior adalah ada suatu pondok alumni di daerah Semarang yang bisa dijadikan support untuk lebih menggairahkan lagi semua kegiatan dan jaringan IKPM yang ada di Semarang. Bravo IKPM Semarang. Semoga berhasil. Posted 27 Nov. 2007

Suasana Terminal Kampung Melayu


Inilah suasana terminal Kampung Melayu. Di sini lalu lintas dari pagi hingga malam ramai terus. Seperti halnya terminal besar lainnya di Jakarta, Kampung Rambutan, Blok M dan Pulogadung, terminal ini cukup strategis untuk akses ke semua jurusan di semua wilayah Jakarta dan sekitarnya seperti Bekasi, Depok, Bogor dan Cibubur. Beberapa akses yang menuju pusat kota juga banyak yang berangkat dari sini.

Terminal yang cukup tinggi frekuensi kendaraannya ini senantiasa dijaga dan didisplinkan oleh polisi. Kalau tidak kemacetan bisa jadi kemana-mana, karena angkot suka berhenti dimana saja asal dapat penumpang. Karena letaknya di tengah-tengah ketemunya arus yang datang dari Senen, Menteng kota, Pasar Minggu dan Jatinegara. Belum lagi yang turun dari jalan Casablanca yang datang dari arah Bekasi dan Pondok Gede. Memang harus sabar-sabar menemui kemacetan di Jakarta. Sebab kalau tidak macet tidak afdol….hee…heee…biar pertamina dan penjual bahan bakar dari perusahaan asing di Indonesia pada laku.

Friday, October 19

TKI DAN HARGA DIRI BANGSA



Selasa malam 16/10/2007, saya potong rambut di sebuah kota kecamatan. Kebetulan barber-nya adalah pendatang madura. Saya tahu dari logat dan gaya bicaranya saat ditanya oleh salah satu temannya. Iseng saya ajak ngobrol sambil ia melaksanakan tugasnya. Mulai dari kehidupan keluarganya yang belum dikaruniai buah hati sampai pada petualangannya mencari nafkah. Di antara pengalaman menarik yang ia sampaikan adalah ketika ia berada di Saudi selama dua tahun setengah.

Indonesia merupakan salah satu Negara pengekspor tenaga kerja terbesar di dunia. Seperti halnya di Negara berkembang lainnya, ekspor tenaga kerja menjadi andalan devisa dan komoditas penting bagi Negara tersebut. Namun keuntungan ini harus dibarengi dengan mekanisme dan prosedur yang proporsional. Sehingga para tenaga kerja yang betul-betul menyandarkan ekonomi keluarga mereka pada pekerjaan di luar negeri tidak menjadi sapi perahan saja. Dari perekrutan, pembekalan, pengarahan sampai pada pemberangkatan dan penempatan, rentetan ini harus sehat. Sehat dalam arti semua urusan dapat diselesaikan dengan mudah dan tidak berbelit. Oknum-oknum yang melanggar harus ditindak tegas. Jaminan keamanan dan keselamatan bagi para TKI juga harus jelas.

Akhir-akhir ini banyak sekali berita mengenai TKI yang teraniaya di luar negeri, di Malaysia, Singapura, dan Saudi Arabia, baik karena didzalimi oleh majikannya maupun disebabkan oleh kecelakaan kerja. Seluruh aparat yang terkait dengan pengurusan TKI harus bahu membahu membenahi urusan ini. Kurang lebih kejadian demi kejadian semakin memberi plek hitam pada wajah Indonesia. Sebagaimana diungkapkan si Bejo (barber:nama samaran), akunya saat ia berada di Saudi untuk membantu saudara-saudaranya yang tinggal di sana, ternyata banyak wanita Indonesia yang bekerja dengan cara menjual diri. “ini sudah menjadi rahasia umum” demikian katanya. Mereka datang secara illegal. Ditampung oleh para germo yang juga adalah orang-orang Indonesia sendiri. Para germo inilah mendistribusikan kepada para penduduk setempat yang sudah menjadi langganannya.

Fenomena sebagai “juragan silit”, istilah yang ia pakai, memang tertutup. Bahkan saat ia pulang ke Indonesia pun, imejnya betul-betul dijaga dan dimanipulasi sedemikian rupa dengan cerita dan bualan bahwa ia disana bekerja sambil beribadah. Sudah haji ratusan kali karena jaraknya yang dekat dengan Masjidil Haram. Orang-orang tidak menyangka kalau pekerjaannya adalah pekerjaan yang nista di tempat suci bagi orang Islam.

Selama bekerja dua tahun setengah ikut saudaranya di Saudi, meskipun belum satupun korban atau pelaku yang berbicara langsung sama dia tapi dia banyak mendengar dari kanan kirinya. Karena fenomena tersebut sudah menjadi rahasia umum. Bagi yang masih takut dengan agama, bahwa kalau berbuat baik di tanah suci pahalanya akan dilipatgandakan begitupun sebaliknya jika berbuat jahat dosanya juga akan berlipatganda, ia akan membawa pelacur tersebut keluar tanah suci. Jika sudah tidak mengindahkan lagi norma agama ia akan melaksanakan perbuatan tercelanya di tempat itu juga.


Tidak ada pilihan
Profesi sebagai pelacur dan bekerja sebagai TKI illegal sengaja mereka lakukan demi mencari nafkah. Desakan kebutuhan ekonomi keluarga di kampung halaman yang membuat mereka memilih jalan pintas sebagai pelacur. Dengan profesi tersebut mereka merasa lebih beruntung daripada para TKI legal yang gajinya sebulan bisa mereka raih hanya dengan sistem kebut semalam (SKS). Jika seorang pembantu pendapatan sebulan 60 riyal misalkan, dia hanya butuh semalam untuk menghasilkan jumlah tersebut dengan segala risiko yang ada.

Kupu-kupu malam adalah istilah yang pernah digunakan untuk menyebut para pekerja seks komersial (PSK) yang beroperasi di malam hari sampai pagi. Di Indonesia sendiri, khususnya di Ibukota Jakarta, ada beberapa daerah dimana terkonsentrasi kegiatan mesum seperti di jalan Mentawai Kebayoran Baru, sepanjang jalan Hayam Wuruk, Prumpung Jatinegara dan di beberapa daerah lainnya. Namun saat ini sering ada operasi penangkapan oleh satpol PP mereka mulai mengkonsentrasikan diri keluar Jakarta. Salah satu yang paling ramai dikunjungi oleh para pencari kenikmatan adalah di Parung. Di sana banyak warung remang-remang yang sengaja menyediakan jasa mesum.

Fenomena menjamurnya kegiatan mesum ini disebabkan oleh banyak faktor. Jika para pekerja seks disensus mereka datang dari berlainan daerah. Faktor ekonomi adalah yang banyak melatarbelakangi profesi mereka. Selain itu rumah tangga yang hancur (broken home), putus asa, susah cari pekerjaan dan sebagainya. Profesi penjaja seks sendiri bagi mereka karena tidak ada pilihan lagi. Keadaan ekonomi keluarga yang minim, susah cari kerja, pemasukan tidak ada, suplai kebutuhan tidak ada, pemerintahpun tidak urung turun tangan memberi solusi, lalu mereka berpikir satu-satunya pekerjaan yang mudah dilakukan dan cepat mendatangkan uang adalah “melacurkan diri”.

Harga diri bangsa
Ketika urusan bisnis mesum sudah mengglobal, urusannya tidak lagi bersifat individu, atau lokal daerah saja, tapi sudah menjadi urusan bangsa dan Negara. “Human trafficking” telah menjadi perhatian dari sejumlah Negara untuk menindak kejahatan internasional yang tidak manusiawi. Masak manusia diperdagangkan? Betapa teganya. Suatu perbuatan kriminal yang segera harus dibasmi.

Indonesia adalah Negara yang mayoritas muslim dan memegang adat ketimuran yang kuat. Sangat naïf bila apa yang terjadi malah banyak menyalahi etika ketimuran. Dimana lagi jati diri dan harga diri bangsa ini. Harga diri bangsa apa sudah tergadaikan? Bagaimana supaya mengembalikan “marwah” bangsa ini. Bila dikenal sebagai Negara pengekspor minyak terbesar, Indonesia boleh bangga. Tapi jika dikenal sebagai pengekspor “pekerja seks” apa bisa dibanggakan? Apakah hasil pendapatan Negara dari bisnis maksiat ini membawa berkah? Naudzubillah tsumma naudzubillah. Malaysia saja, Negara tetangga kita, dapat meremehkan kita disebabkan urusan TKI. Namun banyak yang menyayangkan bobroknya birokrasi bangsa ini yang sudah penuh dengan praktik KKN. Semoga Allah SWT memberi kita kekuatan untuk memperbaiki segala kerusakan dan degradasi moralitas penduduk yang seperti “Negeri di Awan” ini.

Berikut adalah ungkapan salah satu orang Indonesia yang sudah lama tinggal di Malaysia mengenai masalah TKI atau TKW.

Berbicara masalah TKW memang menyedihkan. Problema TKW ini seakan-akan merupakan pil pahit atau racun penjatuh martabat yang harus ditelan oleh seluruh bangsa Indonesia . Kepada siapa kita harus mengeluh dan bagaimana harus memperbaikinya?. Di Indonesia sendiri seperti benang ruwet yang sukar dicari ujung pangkalnya. Berbelit-belit dan mbulet-mbulet, bersimpul-simpul ke sana kemari. Innii asykuu basttsii wa huznii ilallah.

Bukan hanya di Malaysia saja tetapi juga berlaku di Saudi, Singapura, Brunei, kadang-kadang saya tidak sanggup mendengar kabar apabila perempuan-perempuan kita berkeliaran ke sana kemari dibawa orang, sambil ngobyek. Ada yang disiksa, ada yang hamil entah sengaja menyerahkan diri atau diperkosa. Siapa yang harus dipersalahkan?. Kita-lah yang sengaja menghantarkan gadis-gadis kita (kadang masih di bawah umur yang dituakan) ke luar negeri, jauh dari tanah air. Makhluk-makhluk yang lemah ini diserahkan kepada orang-orang yang tidak kita kenali dan di tempat yang tak terjangkau oleh keluarganya. Memanglah tidak dinafikan tidak sedikit dari mereka yang bernasib baik mempunyai majikan yang baik dan berperikemanusiaan. Terus terang saja, dhamir (hati kecil) sayapun keberatan mengirimkan wanita-wanita kita ke luar negara. Marilah kita pecahkan bersama masalah yang rumit ini, tanpa harus menyerahkan kesalahan kepada siapa-siapa. Apakah ada jalan lain yang lebih baik lagi untuk menambah devisa Negara selain mengekspor wanita-wanita kita?.

Yang lebih parah lagi adalah suami-suami mereka malah ada yang minta dikirimi uang, handphone dan minta dibelikan motor. Ini dunia sudah terbalik. Dan berita yang menyakitkan adalah suaminya mau kawin lagi dan mempunyai perempuan simpanan. Ini bagaimana?. Ya Allah, berilah hidayah kepada kami semua agar para suami benar-benar melaksanakan tanggungjawabnya sebagai suami. Bukankah seorang suami wajib bertanggungjawab memberi nafkah lahir batin kepada isteri dan anak-anaknya. Bukan sebaliknya.

Entahlah sampai kapankah bangsa kita ini bisa terlepas dari satu cobaan demi cobaan? . Satu hal yang saya percayai adalah selama kita tidak kembali kepada ajaran-ajaran yang diridhai oleh Allah, maka ujian demi ujian ini tidak akan berakhir. Hanya Allahlah yang bisa menyelesaikan segala masalah yang rumit ini. Jika Allah menghendaki, Kun Fa Yakun. Allah tidak akan merubah nasib suatu bangsa selama bangsa itu tidak berusaha merubah nasibnya sendiri.

Apakah mengirimkan tenaga wanita kita ke luar Negara ini tidak salah di sisi agama?. Jika dikatakan tidak salah, tentunya ada syarat-syarat yang ketat agar wanita-wanita kita tetap terlindungi marwahnya dan tidak memalukan bangsa Indonesia yang besar dan memiliki kekayaan yang luar biasa ini. Bisakah kita bangkit maju tanpa harus mengexport makhluk yang lemah ini?. Semoga saja ya. Ya Robb, makmurkanlah bangsa ini di bawah ridha-Mu dan petunjuk-Mu. Amin.

Thursday, September 6

Jalan jalan ke rangkasbitung


Catatan perjalan ke Rangkasbitung Lebak Banten
31 Agustus

Lebak adalah salah satu kabupaten di Provinsi Banten dengan tingkat
pendidikan paling rendah dibanding kabupaten lainnya.
Menurut data 2006 dari seorang praktisi pendidikan, hanya 3 %
orang dari usia belajar tingkat atas yang berkesempatan mendapat
pendidikan formal, baik di SMU maupun di Madrasah Aliyah atau
pesantren yang setara. Masalah ekonomi menjadi alasan utama.
Selain itu masalah pemerataan pendidikan juga belum sepenuhnya
berjalan dengan baik.

Beberapa pesantren tradisional yang sudah puluhan tahun
berdiri menjadi alternatif pendidikan. Di samping biaya murah, mereka
juga tidak punya target terlalu muluk dalam bidang akademisnya.
Munculnya pesantren modern pada awal tahun 1990-an memberi
warna dan nuansa tersendiri buat pendidikan berbasis agama ini.
Namun toh keberadaan pesantren modern tidak lantas menjadi solusi
dari ketimpangan sosial yang terjadi pada dunia pendidikan. Selain untuk
menjawab beberapa tuntutan skill dan kemampuan akademis untuk
kepentingan pragmatis yaitu bekerja atau sebagai syarat untuk
melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi lagi.

Fenomena antara pesantren salaf dan modern di Banten mampu
berintegrasi dengan munculnya sebuah forum bersama para kiai,
pimpinan pondok pesantren. Forum tersebut dinamakan FSPP,
singkatan dari Forum Silaturrahim Pondok Pesantren.

Ide tersebut berawal dari jalinan silaturrahim antara para
pimpinan pesantren modern yang notabene semuanya adalah
alumni Gontor. Ketika itu berjumlah 12 orang. Selain untuk
mempererat tali silaturrahim, dalam kesempatan tersebut juga
mendiskusikan hal-hal yang krusial mengenai berbagai masalah
terkait dengan lembaga pesantren modern yang mereka kelola.


Keakraban dan saling bantu membantu inilah yang membuat iri
para kiai pesantren salaf untuk ikut bergabung juga. Setelah
melihat fenomena lembaga pesantren modern yang dari tahun
ke tahun dapat maju pesat. Kalau tidak salah, menurut persepsi
mereka, dengan ikut bergabungnya bersama forum tersebut
pesantren mereka dapat bantuan baik dari kalangan pemerintah
maupun dari para dermawan. Nampaknya dalam hal ini mereka
belum begitu pengalaman alias kurang percaya diri. Bagaimana
membangun network, menjalin komunikasi dan hubungan dengan
pihak-pihak di luar, tidak menjadi prioritas di pesantren
salaf. Mereka lebih memprioritaskan santrinya, ngaji kitab, setoran
hafalan dan rutinitas lainnya.

Saat ini, kurang lebih 3000 pesantren di Provinsi Banten yang
tergabung di FSPP. Sebelumnya diberi nama FKPM, kepanjangan
dari Forum Komunikasi Pesantren Modern. Untuk menghilangkan
sentimen identitas antara "modern" dan "salaf" maka diubahlah
menjadi Forum Silaturrahim Pondok Pesantren.

Selain berfungsi sebagai ajang silaturrahim, anggota forum yang
terdiri dari pimpinan pesantren yang cukup berpengaruh di
masyarakatnya bergelar "kiai", mereka juga berfungsi dan
dapat difungsikan sebagai sarana konsolidasi dan komunikasi
antar umat Muslim dengan berbagai latarbelakang yang ada.
Pemerintah mendukung penuh keberadaan forum ini. Bahkan Pemerintah
Daerah memberi suplai dana disiapkan dari anggaran daerah,
untuk kepentingan forum ini dan menyedia-
kan kantor khusus untuk kegiatan kesekretariatan.


Peran dan fungsi forum ini sebagai ajang silaturrahim antara kiai
pondok pesantren, kurang lebih memberi kontribusi nyata bagi
ketenangan rakyat di Banten yang bagi mereka Kiai adalah
orang yang patut dihormati dan didengar di samping "jawara".
Bahkan ada juga kiai yang sekaligus juga jawara. Istilah jawara
dikenal baik oleh masyarakat sebagai seorang yang memiliki
kemampuan dalam olahkanuragan dan adu fisik.
Mereka punya kekuatan dan kemampuan lebih.


Para kiai pimpinan pesantren yang tergabung di dalamnya juga
berperan besar dalam masalah legislasi di daerah. Mereka
bergabung dengan unsur masyarakat lain dari tokoh masyarakat,
LSM, para akademisi, budayawan untuk menggodok suatu
undang-undang atau mengusulkannya. Meskipun hasil rumusan
dari undang-undang melewati proses panjang dan baru disahkan
tiga tahun kemudian. Itu tidak membuat semangat kendur justru
lebih untuk menggali lebih dalam lagi.

Menurut salah satu sumber, ada pengkategorian kiai yang
dilihat dari aspek sepak terjangnya. Mereka dikategorikan
menjadi 5 macam; ada Kiai Catur, Kiai Tandur, Kiai Tutur, Kiai
Bakul dan Kiai Ngawur. Pengertian Kiai Catur dipandang sebagai
seorang kiai dengan kapasitas penuh untuk mengatur luar dalam
pesantren. Mempunyai kemampuan dalam menerapkan strategi
dan siasat ke depan. Sedangkan Kiai Tandur bercirikhas sebagai
sesosok kiai yang hanya mengurusi santrinya dan berdiam diri
pesantren saja. Kerjanya hanya "nandur" santri. Kiai Tutur selain
memimpin pesantrennya, ia juga berdakwah di masyarakat dan
di birokrasi. Seorang kiai yang mempunyai kelebihan dalam
bidang enterpreneurship disebut dengan Kiai Bakul, selain
memimpin pesantren mereka juga punya usaha. Sedangkan yang
terakhir adalah "Kiai Ngawur" yang tidak diharapkan ada, karena
bisa menyesatkan umat.

Tuesday, June 5

Ujian akhir dan Kegelisahan masa depan


Lega rasanya, sudah dapat ngumpulin beberapa tugas. Dua materi lagi sisa ujian akhir semester yang aku tempuh. Namun terasa lega sekali empat materi sudah lolos, maksudnya tinggal tunggu nilai. Materi analisa folklore dan kebudayaan Indonesia pertama sudah ujian, aku berharap dapat A di sini. Prof. James Danandjaja seorang antropolog folklor yang baik sekali. Ia sangat menguasai folklor di Indonesia, baru-baru malah mau menerbitkan folklor Tionghoa. Semester kemarin aku ikut kuliahnya tentang Antropologi Psikologi. Kepakarannya dalam bidang antropologi sudah diragukan lagi, sayang usianya sudah berkepala delapan sehingga beberapa memorinya tidak sekuat dulu lagi.

Selanjutnya adalah laporan penelitian lapangan dari materi penelitian antropologi; metode dan praktik. Kegiatan penelitian ini banyak menyita waktuku. Dari awal penelitian sampai akhir kita bagaikan dikejar-kejar oleh waktu. Prosedur yang panjang dan waktu sempit menjadi refleksi kami. Hasilnya pun tidak begitu maksimal. Namun karena yang penting adalah proses. Menurut dosen kami sudah bagus, dan topik-topik yang kami teliti juga bagus. Seluruh laporan kami berjumlah 90 halaman. Ditambah dengan catatan lapangan dan lain-lain berjumlah 225 halaman. Yang kami kelewatan adalah mencantumkan beberapa foto-foto yang kami ambil ketika penelitian. Karena saat pengeprint-an kita sudah last minute, buru-buru, dan baru teringat ketika sudah difotokopi dan dijilid. Ya sudahlah, caaaaapek deh, kalau terus mikirin. Kami hanya mikiran setelah itu masih ada tugas 2 mata kuliah berupa soal ujian yang lumayan susah jawabnya yang belum kami kerjakan.

Senin adalah puncak-puncaknya, kalau bisa dibilang ini adalah ”the final countdown”. Ada tiga tugas yang harus selesai saat itu juga. Pagi jam 10.00 kita harus mempresentasikan hasil penelitian kita di depan para hadirin, yang sebagian besar adalah para alumni dan senior-senior kami di antropologi. Acara berlangsung sampai pukul 13.00. Karena kelelahanku dan beberapa teman-teman, berencana untuk mengumpulkan tugas dua lagi besok hari. Namun mbak Endang, satu tim dengan kelompok aku, menganjurkan aku agar mengerjakannya saat ini juga. Karena sudah tahu tugasku tinggal dikit lagi. Ia tahu sekali dosen yang mengajar kedua materi ini. Meskipun diam tapi dia itu mencatat loh siapa yang terlambat dan tidak, menurut keterangannya.

Aku berdua menyelesaikan di ruang itu juga. Sedangkan teman-teman lain ada yang sudah mengumpulkan ada juga yang belum. Setelah menggeber dalam waktu dua jam akhirnya kelar juga. Dalam keadaan lemas dan perut kosong, sebab sejak siang kemarin belum kemasukan nasi. Hanya kemarin sore aku dan Yusran beli mendoan dan es yang namanya aneh-aneh, ada es jelangkung, es black magic, es pocong, es voodo dan nama-nama angker lainnya. Heran juga tuh warung, nama-nama angker yang dipakai di sejumlah minuman malah bikin laris. Ada aji-ajinya kali ye?? Dari rasa dan kombinasinya juga biasa-biasa saja. Memang kreatif sih yang buat-buat seperti. Hari-hari biasa bahkan pada antri. Kembali ke masalah perut, semalam begadang untuk menyelesaikan tugas yang tidak kelar juga. Jadi setelah merasa lega ngumpulin semua lalu pulang ke kost, dan bruuuk langsung tidur. Bangun-bangun jam delapan, wah magrib lewat. Qodlo’ dong.

Setelah bangun dan salat, aku kepengin ke tempat saudara. Sabtu lalu aku mendengar mereka lagi mau menjenguk bulek di Gubug yang sedang sakit kanker paru-paru, tapi di tengah perjalanan malah menabrak anak. Sekarang anaknya lagi kritis di UGD RS Kariadi Semarang. Alhamdulillah urusan keluarga, polisi dan lain-lain dapat diselesaikan. Jadi minggu sudah bisa balik lagi dan senin sudah bisa kerja. Namun aku lihat masih ada gurat-gurat kelelahan di matanya atas musibah yang tidak disangka-sangka. Menurutnya, semoga dapat menjadi kuat dan pelajaran yang berharga sekali buat dia dan keluarga. Ia sendiri tidak mempermasalahkan ia salah atau tidak, tapi tanggungjawab moral tetap ada. Seandainya ditinggal lari saat itupun bisa. Tapi tidak manusiawi dan tidak bertanggungjawab.


Sekarang tinggal dua materi lagi. Materi Adaptasi manusia, dosennya meminta masing-masing membuat rasume selama kuliah berlangsung. Gila, banyak banget. Lalu ada Antropologi Hukum satu lagi. Untuk Antrops Hukum kami diberi tugas untuk melakukan wawancara dengan orang asing yang tinggal di Indonesia. Membahas masalah hukum dan masalah hukum yang pernah dialaminya. Jum’at tanggal 8 Juni terakhir kita harus serahkan tugas Adaptasi Manusia sedangkan Antropologi Hukum tanggal 14 Juni. Habis itu selesai.

Genap sudah materi-materi pilihan yang aku ambil. Jika semua lulus aku tinggal nulis saja. Tinggal melakukan penelitian. Ada dalam pikiran untuk ambil cuti saja. Agar bisa ada waktu untuk mempersiapkan rencana penelitian dan sambil mencari pengalaman dengan kerja. Wallahu a’lam lah. Sebab menurut pihak jurusan, sayang kalau aku ambil cuti. Lebih baik lanjut saja. Kan ada masih ada waktu tenggat tiga bulan sampai bulan Agustus depan. Rasa khawatir dan gelisah terus menyelimuti hatiku. Soalnya rencana sebelum tanggal 18 Juni ini aku harus keluar kost. Lalu kemana, pulang atau masih di Jakarta. Cari pengalaman, kerja, atau jalan-jalan? Entahlah. Kembali ke rumah Gandul, ....???, iya kalau masih diterima. Nggak tahu deh, yang pasti sudah tidak seperti dulu lagi. Harus bisa mandiri dan punya gawe.

Yang pasti aku harus pulang. Aku ingin ta’ziyah ke kuburan nenek. Seminggu yang lalu ia meninggal namun saya baru dengar kabar setelah dikubur dan mami melarang saya untuk pulang. Sayang lagi ujian. Lagian semua sudah ikhlas, nenek meninggal dengan baik, bisa ngucap kalimat Lai ilaaha illa-l-Allah. Doakan saja. Ingin nekat pulang saat itu juga. Tapi mikir juga kalau pulang dan taruh badan lalu kembali balik ke Jakarta, yang jatuh berisikonya pada saya. Sebab seninnya saya ada ujian. Malam itu juga saya selesai salat isya’ membaca yasin tiga kali dan mendoakan nenekku tersayang, Sukirah binti Amat Duki. Allahummaghfirlahaa war hamhaa wa ’aafihaa wa’fu ’anhaa, amin ya Rabbal ’alamin.

Di akhir-akhir kuliah ini aku merasa masih jauh dari harapan yang ingin ku raih. Beberapa materi dan tradisi keilmuan ini belum begitu aku kuasai. Masih sedikit bacaan yang aku baca. Butuh banyak membaca dan rajin untuk mengulang-ulang apa yang sudah saya dapat. Keresahan dan kegelisah ini terus menyelimuti hatiku. Semoga mendapat pencerahan dan petunjuk yaa Allah. Berikan hambaMu ini kekuatan dan kepercayaan diri untuk menghadapi masa depan ini yang penuh tantangan. Wa tsabbit aqdaamanaa wansurnaa alaa qoumi dzolimin.

Depok, 5 Juni 2007

Tuesday, May 22

Perda Syariah, Legal system dan informan



Sore itu rencana aku ke kantor Center for the Study Religion and Culture (CSRC) di kampus II UIN Ciputat. Tujuan utama saya adalah ketemu sama Mr. Cyhenne (panggilannya syeiin) bule dari Australia, kaitan dengan tugas akhir antropologi hukum, saya ingin mohon dia menjadi informan saya. Meski sudah ada satu informan Mr. Robert Aaron dari Amerika, tapi untuk memperkaya bahan saya tambah dengan informan lain. Mr. Cyhenne adalah volunteer di kantor tersebut sebagai language editor atau bisa dikatakan sebagai editor bahasa, semacam itulah. Selain di CSRC dia juga diperbantukan di PPIM. Tugasnya hampir selesai, dari masa kontrak kerja yang dua tahun dia sudah bertugas selama 1,5 tahun. Sekarang tinggal di Simprug. He is a nice guy and helpful.

Selain itu saya juga ingin bertemu dengan Efri, staf administrasi di kantor CSRC. Soalnya ada amplop yang musti diambil. Setelah tiba saya langsung masuk ruangannya bang Irfan sebab di sana ruangannya Cyhenne. Tapi yang ada malah mas Aang. Kami ngobrol mengenai fenomena perda syariah di daerah-daerah. Saya tertarik melihat hasil penelitian mengenai perda syariah di beberapa daerah di Indonesia yang dilakukan oleh CSRC. Termasuk Aang yang bertugas di Bulukumba. Saya menanyakan tentang efektivitas penerapan hukum syariah di daerah-daerah tersebut. Aang menerangkan kalau banyak ketidakkonsistenan dari penerapan dan pembuatan undang-undangnya juga terkesan asal “copy paste”. Ini berimplikasi pada mendaratnya klaim-klaim pihak yang dirugikan, seperti para guru PNS yang dipotong gajinya sekian persen untuk bayar zakat sedangkan dia sudah banyak potongan-potongan untuk bayar utang sehingga dalam sebulan uang gajinya nyaris habis disunat sana sini. Akibatnya guru PNS tersebut diberi keringanan sedangkan yang lain tidak. Belum lagi masalah-masalah lainnya.

Banyak hal-hal yang lucu juga dari penerapan perda syariah ini. Di lain daerah seperti di Bima, Aang bercerita kalau di sana ada perda yang namanya “jum’at khusuk”. Satu jam sebelum salah jum’at semua jalan akses ke Bima, khususnya yang melewati suatu Masjid, ditutup. Semua harus masuk masjid ketika itu. Mereka tidak mempertimbangkan bagaimana keputusan itu malah mengganggu lalu lintas bagi non-muslim atau para musafir yang diberi rukhsoh untuk menjamak salatnya dan bagaimana apabila ada pihak-pihak yang sakit musti mendapat pertolongan darurat. Lain lagi di Cianjur sebelum masuk kota Cianjur di gerbangnya tertulis “gerbang marhamah”. Di Sulawesi, tidak jelas di mana tepatnya, dikenal suatu istilah keharusan memakai jilbab dengan “kain penutup bangkai”. Sebab Bupati suka sekali jika melihat perempuan berjilbab, sehingga kemana saja di mobilnya pasti ada banyak jilbab, jika ketemu perempuan di jalan tidak mengenakan jilbab dia berhenti lalu kasih dia jilbab. Pernah suatu kali ada acara dangdut, ia melihat penyanyi dangdut dengan goyangnya yang aduhai tapi tidak memakai jilbab, dia panggil lalu kasih jilban dan disuruh meneruskan goyang dangdutnya. Masih banyak lagi yang lainnya.

Bahkan di suatu daerah yang berbuat ceroboh, bagaimana dia meng“copy paste” rancangan undang-undang dari daerah lain, lalu dibawa ke DPRD untuk dibahas dan disahkan tapi ketika dibacakan masih tertulis di draf undang-undang tersebut nama daerah tempat dia mengkopi file itu. Bahlul.

Obrolan kami sudahi karena waktu memang sudah mendekati sore, saya tidak ingin kehilangan Chyenne yang biasa sudah pulang kantor sebelum magrib. Setelah itu saya minta nomor kontaknya oleh Silvi dan saya menemui mbak Efri. Setelah urusan selesai saya menuju PPIM di gedung sebelahnya. Ternyata Mr. Chyenne ada di sana, dia sedang mengedit tulisan di depan komputernya. Kabarnya dia baru vakansi di Australia dan baru saja tiba di Indonesia. Tersenyum dia kusapa. Lalu saya menanyakan padanya apakah kedatangan saya mengganggu pekerjaannya. Oh tidak..tidak, katanya. Saya mengutarakan maksud saya padanya. Di luar dugaan saya dia sangat antusias sekali untuk menuliskan pengalamannya tentang “policy” yang ada di Indonesia. Dia pernah ditilang sampai 16 kali yang ujung-ujungnya polisi minta duit. Pernah suatu kali dia duduk bersama polisi selama 3 jam hanya masalah penilangan, dia minta ditraktir makan dan minum tapi dia tolak. Dia malah meminta semacam surat denda atau diselesaikan di pengadilan tapi ditolak oleh polisi. Kata polisi, dia harus membayar dengan jumlah sekian untuk diuruskan pengadilannya nanti dan urusan selesei. Tapi tidak demikian yang dikehendaki oleh dia.

Dia juga banyak menanyakan tentang politik dan hukum di Indonesia. Secara tidak lengkap saya pun beri dia informasi secara proporsional sesuai dengan yang aku tahu. Tapi nampaknya dia sangat tertarik dan cukup lumayan informatif penjelasan saya. Ujung-ujungnya ke masalah korupsi. Bagaimana usaha kamu untuk bisa menyembuhkan korupsi di Indonesia. Wah pertanyaan berat sekali untuk dijawab. Presiden Indonesia juga belum tentu menjawab dengan tegas pertanyaan ini. Ia bandingkan di Cina dan beberapa Negara lainnya. Dimana hukum korupsi tegas ditegakkan akan makmur rakyatnya. Contoh yang nyata adalah di Singapura. Gaji presiden Singapura, menurutnya, adalah paling besar di dunia yaitu 1,5 juta US Dolar/tahun lebih besar gaji Presiden Amerika yang Cuma 400.000 Us Dolar/tahun. Tapi sistem pemerintahan dan birokrasi berjalan dengan baik. Karena dari atas sudah tidak mau korupsi sampai ke bawah pun tidak ada korupsi.

Kemudian kita diskusi masalah Perda Syariah di tiap daerah di Indonesia. Menurutnya, yang juga fasih berbahasa Arab, ketika di timur tengah penerapan hukum syariah cukup efektif. “I like Syariah” katanya. Karena dengan penerapan hukum syariah secara konsisten banyak orang tidak berani berbuat jahat. Contohnya di Saudi. Ketika dia bawa mobil dia tidak perlu mencabut kuncinya. Namun ada juga beberapa kejadian yang salah tangkap atau salah tuduhan karena altruisme lembaga pengadilan setempat yang lebih suka tuduhan tidak diarahkan pada penduduk arab setempat. Dia cerita sebuah kasus pemerkosaan terhadap perempuan arab yang dilakukan oleh kakaknya sendiri tapi dituduhkan kepada orang Bangladesh.

Akhirnya kami tutup obrolan kami karena listrik mati dan hari sudah gelap karena mendung. “kayaknya waktunya sudah harus pulang” kata dia. Sebelumnya dia menjanjikan kalau dia bersedia sebagai informan saya. Mekanisme dia sendiri yang akan menulis sesuai daftar pertanyaan yang sudah saya buat. Dia janji dalam minggu ini akan diselesaikan. Intinya dia antusias dan very helpful untuk saya. Thanks mr.

Depok, 22 Mei 2007



Saturday, May 19

Antara Ideal dan Aktual




Sudah menjadi hal yang wajar, jika seseorang jauh dari rumah dan keluarga dia akan merasakan homesick. Istilah yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan kangen dan kerinduan mendalam terhadap kehangatan keluarga. Lain bagi seorang wisatawan lain juga dengan penuntut ilmu. Kalau wisatawan keluar rumah untuk jalan-jalan cari hiburan, sedang penuntut ilmu jalan-jalan secara sungguh-sungguh untuk cari ilmu. Yang mungkin dapat dikatakan sama-sama sifatnya, kedua-duanya sama-sama butuh duit. Baik yang bepergian wisata maupun yang mau menuntut ilmu.

Barangkali unsur materi ini yang telah menjadi masalah utama kenapa Indonesia tidak maju-maju. Mutu dan kualitas pendidikan Indonesia tidak pula menggembirakan. Kasus-kasus terhadap kegagalan-kegagalan terus menerus berulang. Tidak pintar-pintar mengambil hikmah dan pelajaran dari peristiwa dan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Ambil contoh Negara tetangga kita, Malaysia. Secara signifikan mereka jauh meninggalkan kita dalam hal akademis dan pembangunan. Lalu kemudian mari kita tarik ke belakang 20 tahun yang lalu, siapa dan bagaimana Malaysia dibanding Indonesia?

Ada kekhawatiran-kekhawatiran dalam hati ini. Sebelum masa kuliah berakhir, karena singkatnya waktu dan terbatasnya jam tatap muka, saya merasa belum mendapat apa-apa. Saya merasa apa yang seharusnya saya terima dari materi kuliah belum begitu maksimal. Belum optimal dengan luasnya dan padatnya materi untuk berselancar dalam ilmu-ilmu sosial. Sebab dimensi sosial saat ini sudah sedemikian kompleks. Kita tidak bisa menyalahkan seorang guru karena lalai ketika salah seorang siswa menjadi korban pembantaian teman-temannya di areal sekolah. Sungguh banyak aspek terkait yang perlu dibongkar dan diungkapkan pokok dasar masalahnya.

Dari masalah kangen, kuliah, baca buku, kerjain tugas dan main game, silih berganti menjadi aktivitasku. Namun setiap weekend ada aja acara bersama kawan-kawan gontorian main bulutangkis di Ciputat. Cukup membuat badan dan pikiran menjadi sehat. Kesehatan memang lebih mahal dari pada kekayaan dan kekuasaan apapun (kata Don Corleon dalam film Godfather). Sedangkan dalam kata mutiara mengatakan, kesehatan adalah semacam crown di atas kepala orang-orangnya, yang tidak diketahui oleh orang kecuali bagi yang sakit.

Jum’at, 4/5/2007, kemarin sempat pulang untuk melepaskan rindu kepada keluarga. Jakarta – semarang memang tidak jauh, tapi saya sendiri baru pulang kali ini semenjak lepas lebaran kemarin. Momen weekend saya kira paling tepat untuk pulang. Bisa tiga sampai empat hari di rumah, selasa balik untuk masuk kuliah siangnya. Cukup seru juga di rumah ketemu dengan ponakan-ponakan yang lucu-lucu. Semuanya pada kangen “lik” (oom)nya. Perkembangan di desa juga biasa-biasa saja tidak terdengar suatu gerakan-gerakan yang menggembirakan.

Sudah lama memang saya meninggalkan suasana dan romantisme kehidupan di desa. Sudah 15 tahun kiranya, 12 tahun di Gontor dan 3 tahun di Jakarta. Dulu semasa kecil masih teringat mandi di kali (sungai), main sepeda ke gunung, cari jangkrik malam-malam, main betengan, dan aneka cerita seru lainnya. Sekarang sudah berubah. Tidak ada lagi keceriaan-keceriaan itu lagi yang saya lihat. Paling-paling banyak pemuda-pemuda kumpul kongkow-kongkow tanpa tujuan jelas, kemudian anak-anak juga saling pamer motor. Nuansa-nuansa romantisme dan harmoni desa di zaman dulu sudah hilang tergilas oleh globalisasi. Mereka sudah kenal handphone, lebih memilih nonton sinetron, main internet, main playstation, dan lain-lain.

Suatu fenomena baru yang tidak perlu diantisipasi tapi dipikirkan bagaimana kita sebagai manusia menghadapinya. Bagaimana identitas kita dipertaruhkan di sini. Sebenarnya identitas kita itu apa sih, sebagai warga Negara Indonesia tentunya identitas kita adalah orang Indonesia. Yang menjadi pertanyaan bagaimanakah identitas orang Indonesia itu? Pancasilais kah? Atau plural? Sekular? Religius? Siapa yang bisa mendefinisikannya? Agar di kemudian hari tidak salah generasi-generasi selanjutnya menafsirkan identitas mereka sebagai bangsa Indonesia.

Gandul, 20 Mei 2007

Thursday, May 17

Globalisasi, apaan sich???



Istilah globalisasi terus menerus ada di sekitar kita. Kalau mendengar globalisasi yang terbersit dalam benak saya sesuatu yang serba lintas batas, teknologi modern, dan pengaruh asing. Sepertinya kata globalisasi sudah tidak asing lagi di telinga kita. Apalagi dalam dunia antropologi, istilah ini kerap dibawa-bawa untuk menunjukkan perubahan yang terjadi pada lapangan penelitian. Dalam materi metodologi teori dan praktik, yang diajarkan oleh trio antropolog UI; Iwan Tjitradjaja, Sulistyowati Irianto, dan Suraya Afif, seluruh program pascasarjana antropologi ditugasi untuk mengadakan penelitian dengan tema globalisasi. Secara khusus mengambil tempat penelitian di Detos dan Margo City Depok. Jadi penelitian kawan-kawan terfokus pada bagaimana warga depok mengalami globalisasi sehari-hari di Mal.

Dari satu tempat penelitian sudah terdapat banyak peristiwa dan gejala di setiap sudut yang dapat kami ambil sebagai judul penelitian masing-masing kelompok yang terbagi menjadi tujuh kelompok. Saya sendiri bersama Yusran dan Endang Rudiatin mengambil tema “
Representasi Identitas Serta Tafsir Remaja Atas Life Style di Mal: Studi Kasus Remaja Depok”. Meski judul tersebut belum bersifat baku, namun dari situ kami dapat memfokuskan penelitian pada remaja, bagaimana mereka memaknai globalisasi sehari-hari yang mereka representasikan melalui identitas tertentu. Minggu-minggu sampai depan adalah proses abstraksi dan penulisan setelah berlelah-lelah menulis fieldnotes, coding-memoing dan analisa data.

Jum’at 11/5/2007, pukul 13.30 WIB di blok café FISIP UI ada bedah buku karya Firmansyah, Ph.D, Dosen FE-UI, yang berjudul “Globalisasi – Sebuah Proses Dialektika Sistemik”. Yang melatarbelakangi penulisan buku ini, menurut penulis, keragaman pengalaman yang alami selama berada di luar negeri tempat ia belajar baik di Amerika, Perancis maupun di negara lainnya. Bahwa isu globalisasi tidak hanya dibicarakan di Indonesia, di Perancispun, Negara yang sudah maju isu ini tidak kalah pentingnya dengan isu politik. Dalam suatu petikan peristiwa ia dapatkan di sana, bahwa kumpul kebo itu malah tidak dilarang tapi malah diperkuat oleh hukum sebab dengan kumpul kebo bisa mengurangi nilai pajak pendapatan. Pengurangan pajak pendapatan tidak hanya berlaku bagi suami istri yang sah.

Menurutnya, globalisasi adalah sebuah proses untuk menjadi global. Sedangkan konsep global mengacu pada sebuah kondisi dimana terdapat interkoneksi yang terjadi secara intens dari berbagai macam karakteristik lokalis dimana kejadian di suatu wilayah berdampak pada kondisi di luar wilayah bersangkutan. Karena begitu banyaknya definisi tentang globalisasi, seperti dari Anthony Gidden (1990), yang menyebutkan bahwa proses globalisasi ditandai oleh intensifikasi hubungan antar wilayah, dimana peristiwa yang terjadi di luar sana akan mempengaruhi kondisi dalam negeri di suatu tempat. Ada yang mengaitkan globalisasi dengan konsep deteritorialisasi (Kearney, 1995). Ide ini mengacu pada pemahaman bahwa aktivitas produksi, konsumsi, ideologi, komunitas, politik, budaya dan identitas melepaskan diri dari ikatan lokal. Ada dua mekanisme dalam pandangan ini; pertama, melalui ekstensifikasi hegemoni suatu negara atau diaspora kelompok masyarakat tertentu melalui migrasi dan pengungsian seperti keberadaan negara superpower Amerika dan pengaruh imigran yang tinggal di Perancis. Kedua, melalui konsep hyperspace yang berarti runtuhnya tembok-tembok batas lokal dalam ruang imajiner atau virtual seperti hadirnya internet, handphone dan lainnya.

Globalisasi juga diterjemahkan sebagai suatu proses integrasi manusia yang melewati batas-batas negara dan bangsa (Pieterse, 2000). Globalisasi juga diindikasikan oleh time-space compression (Robinson, 2001). Hal ini juga pernah diungkapkan oleh McLuhan di tahun 60-an bahwa dunia mengarah pada suatu kondisi yang dinamakan global village sebagai akibat dari akselerasi interaksi manusia di seluruh dunia. Dalam bukunya globalisasi, bahwa proses ini mengacu pada seluruh proses sosial, ekonomi, budaya dan geografis yang terjadi pada banyak negara dimana proses tersebut telah memberikan banyak batasan bagi kebebasan pengembangan identitas dan institusi lokal dalam suatu daerah.

Dalam keterangan globalisasi di atas dapat dibaca dengan seksama, bahwa terjadinya globalisasi meski terkait dengan isu lokal dan global, bagaimanakah posisi identitas lokal?. Globalisasi ini peluang atau tantangan?. Secara lebih ekstrim, rahmat atau laknat?. Ada standar global dan ada standar lokal. Pada suatu negara, terjadi perlawanan antara tekanan global dan lokal atau regional. Terjadilah benturan kepentingan. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah dengan globalisasi apakah membuat manusia semakin menutup diri atau membuka diri. Bisa kedua-duanya, jawab Firmanzah.

Keberagaman adalah implikasi dari proses globalisasi itu sendiri. Sedangkan dampak dari globalisasi, menurut I Putu Gede Ary Suta, bisa positif bisa juga negatif. Positifnya seperti dirinya bisa bersekolah di beberapa universitas di luar negeri sampai tamat, itu karena globalisasi. Akses dan kesempatan untuk belajar di luarnegeri dengan beasiswa menurutnya adalah suatu implikatif dari proses globalisasi. Sedangkan negatifnya, dapat kita lihat pada media massa bagaimana negara-negara miskin yang menjadi budak para pengendali globalisasi itu. Sebagai salah satu pembicara Putu sampaikan sebuah pidato Bush yang singkatnya menerangkan bahwa Bush dengan tegas mengatakan pada setiap negara untuk memutuskan bersama US atau di luar US (yang berarti dianggap musuh oleh dia), kalau ikut bersama US mari ikut aturan yang sudah kita buat. Secara eksplisit menjelaskan suatu hegemoni suatu negara adidaya atas negara-negara yang tidak berdaya. Bagaimana kita bersikap dan beradaptasi dengan globalisasi? Secara lebih besar, bagaimana Indonesia mengambil sikap dalam hal ini? Lalu bagaimana pula dengan kedaulatan Republik Indonesia.

Connie Rahakundini Bakrie, pembicara lainnya mengaitkan globalisasi dengan isu pertahanan. Bahwa pertahanan menurut Juwono Sudarsono adalah isu anyone, anywhere dan anytime. Antara kedaulatan satu Negara dipengaruhi oleh Negara lain. Kalau dalam pengertiannya fisiknya yaitu batas territorial, tapi secara umum kaitan dengan globalisasi, mencakup aspek yang lebih luas lagi yang diistilahkannya dengan “euphoria globalisasi”. Ia mengutip pertanyaan seorang jenderal VOC J.P. Coen yang mengatakan bahwa perang dan dagang tidak dapat dipisahkan. Yang pada akhirnya ia menanyakan bagaimana Indonesia mengelola globalisasi ini? coba lihat sikap pemerintah dengan keberadaan perusahaan-perusahan asing MNC (multi national corporation) yang mengekploitasi kekayaan dan sumberdaya alam Indonesia. Bagaimana tidak malu, Singapura yang luasnya hanya selebar kabupaten Sidoarjo (yang sekarang mau dibenamkan oleh perusahaan lokal sendiri “Lapindo Brantas”) menjadi negara pengeskpor ikan terbesar di Asia Tenggara. Malaysia menjadi pengekspor kayu lapis terbesar. Darimana ikan mereka, pantai mereka tidak ada apa-apanya dengan pantai Indonesia. Dari mana kayu mereka, hutan mereka tidak seluas hutan Indonesia. Dua hari yang lalu saya membaca sebuah Koran yang memberitakan bahwa kita layak dikasih pemecah rekor dari Guinness Book dengan prestasi Negara paling cepat penghancur hutan di dunia. Banggakah kita? Jawab salah seorang menteri yang dituduh korupsi, sekarang syukur sudah direshuffel, wallahu a’lam bisshawab.

Saya kemudian berpikir, Indonesia yang terdiri dari 13.000 pulau lebih, lebih dari 500 suku dengan dialek bahasanya yang ragam, bagaimana pemerintah dapat mengendalikan semuanya. Dengan kencangnya proses globalisasi ini bukan tidak mungkin seorang Indonesia sulit untuk menunjukkan identitasnya sebagai seorang Indonesia akibat persinggungan dari berbagai macam budaya dan nilai asing. Bagaimanakah semestinya identitas seorang Indonesia itu? Apakah bhineka tunggal ika bisa dikatakan sebagai identitas Indonesia? Pertarungan antara lokal dan global, mana yang menang? Mari kita lihat secara politis, ekonomis dan sosial fenomena berdirinya Carefoour, Giant, Matahari, Alfamart, dan Indomart. Apa dampak dari perbuatan para kapitalis sebagai agen dari globalisasi?

Dalam penelitian kami juga sangat terlihat jelas bagaimana subkultur yaitu budaya anak remaja di sebuah kota pinggiran Jakarta, mengalami globalisasi. Depok yang tumbuh dengan pesatnya telah menjadi arena globalisasi. Dimana tumbuh mal-mal, pusat-pusat hiburan dan membanjirnya kaum urban yang tinggal di Depok. Di penghujung tahun 1998-an pusat belanja di Depok yang ada hanya Ramayana. Sekarang sudah banyak sekali, ada ITC Depok, Mal Depok, DTC, Detos, dan Margocity. Suatu kemajuan yang cepat. Para remaja SMP pegangannya Handphone 3G dengan fasilitasnya yang lengkap, pakaiannya meniru model yang ia lihat suatu majalah fashion, rambutnya ia tata kayak bintang pujaannya, dan aksesorisnya adalah referensi dari iklan tv yang ia tonton. Wow, biar gaya abis gitu loh, biar keren gitu loh, dan biar-biar seterusnya. Apakah ini yang menjadi identitas mereka sebagai seorang Indonesia. Apa bedanya mereka dengan remaja sebuah kota di Malaysia atau di Jepang?
Sekali lagi globalisasi peluang atau tantangan, rahmat atau laknat?

Depok, 11 Mei 2007