Saturday, January 6

NILAI UJIAN DAN MASJID TERMEGAH DI INDONESIA






Belum jelas nilai semesteranku, dalam benakku sudah bertanya-tanya bagaimana tata cara daftar ulang. Siang itu, selasa 3 Januari 2006, aku telpon ke kantor jurusan untuk bertanya. Aku mendapat ucapan selamat dari staf sekretariat karena nilaiku alhamdulillah selamat semua alias berhasil. Penasaran aku jadinya, pengin tahu persis materi-materi apa saja dan dapat apa. Sebab dalam hati ini belum yakin kalau dapat lolos dari jeratan-jeratan kesulitan materi-materi pelajaran yang baru ku kenal.
Hari Jum’at kemudian baru aku pergi ke kampus. Selain ingin buka rekening BNI guna daftar ulang juga ingin mampir ke sekretariat. Kepengin tahu nilai-nilauku. Di luar dugaanku, setelah aku minta daftarnya memang tak satupun yang gagal. Materi yang paling ku khawatirkan saja, hermeneutik dan teori interpretasi, dapat B plus. Dua materi lainnya dapat A (Antropologi Psikologi) dan A minus (Metode Penelitian), dan materi kebijakan publik dan antropologi sosial budaya masing-masing dapat B plus. Alhamdulillah aku bersyukur. Pingin rasanya nraktir semua staf tapi aku pikir kebutuhanku masih buanyak, oke nanti sajalah kusimpan niat baik ini dulu.
Setelah itu aku pamit dan mencari tempat yang enak untuk sarapan. Tanpa basa basi aku genjot motorku ke tempat saudaraku di Pancoran Mas. Sebetulnya bukan mampir mau makan di tempatnya, tapi yang ku tuju adalah warung di belakang rumahnya. Aku puaskan sarapan pagi di situ.
Jam menunjukkan pukul 10.30. Aku mulai berpikir dimana aku akan menunaikan ibadah salat Jum’at. Di Gandul, di kampus atau di jalan saja kalau sudah masuk waktunya mampir di suatu Masjid. Pikiranku melayang pada sebuah spanduk di depan kampus UPN yang isinya ajakan para muslimin untuk salat ‘ied di Masjid Dian Al-Mahri (Masjid berkubah emas) di daerah Meruyung Limo Depok. Ingin rasanya salat Jum’at di sana. Sebab dulu ketika masa pembangunannya sangat tertutup rapat. Tidak boleh orang sembarangan masuk.
Selang 20 menit aku sampai di gerbang. Ada dua petugas yang mempersilahkan setiap kendaraan yang masuk sambil memberi kartu parkir. Ku ambil kartu dan masuklah aku ke sebuah kompleks yang luas sekali. Konon tanahnya terbentang dari jalan Meruyung sampai jalan Grogol. Aku lihat sebuah Masjid yang berdiri kokoh dan mempesona setiap mata memandang. Aku parkir dan ku ambil sebuah buku karya Ohan Parmuk berjudul “My Name is Red” untuk baca-bacaan sambil menunggu salat Jum’at tiba.
Rasa kantuk mendera setelah beberapa menit aku serius untuk membaca buku di dalam Masjid yang sejuk. Berbeda sekali rasanya di luar Masjid sama di dalam Masjid. Rasa dingin dan sejuk di dalam Masjid membuat perasaan dan hati tenang. Ditambah dengan keanggunan tata letak dan ruang yang semakin membikin setiap jama’ah tentram di dalamnya. Ku ambil wudhu lagi untuk mengusir kantukku. Masih ada waktu 20 menit menuju waktu salat. Aku gunakan untuk keliling Masjid melihat kesempurnaan bangunan yang katanya dibangun selama tujuh tahun ini.
Kamaluddin namanya ia perkenalkan padaku. Setahun sudah ia bekerja di Yayasan Dian Al-Mahri sebagai salah satu takmir Masjid. Darinya baru aku tahu kalau jum’atan kali ini adalah jum’atan perdana. Memang ajakan salat ied yang terpampang di spanduk yang kubaca adalah waktu pertama kalinya Masjid itu resmi difungsikan. Acara tersebut sebagai pembukaan dan peresmian yang disiarkan langsung oleh SCTV.
Darinya ku korek banyak keterangan mengenai seluk beluk Masjid dan Yayasan Dian al-Mahri. Menurutnya, pembangunan Masjid menghabiskan dana lebih dari satu Triliun rupiah. Kubah emasnya saja pesanan langsung dari Turki. Setiap kubah dilapisi emas 24 karat tipis mengelilingi kaca. Sehingga kalau kaca pecah emas tersebut juga ikut pecah. Lalu lampu hias yang tergantung di tengah-tengah adalah buatan dari Italy. Setelah tiga bulan sebelumnya dipesan langsung di Italy. Dan datang dengan kontainer dan teknisi langsung dari sana. Lampu yang mempunyai berat 6 ton tersebut ditarik dengan tali baji yang bisa menahan beban seberat 8 ton. Konon lampu pesanan khusus tersebut menghabiskan dana 60 miliar.
Belum lagi tiang-tiang kokoh yang terbuat dari batu pualam dan marmer. Setelah kuhitung jumlah tiang yang ada di dalam sejumlah 36 tiang. Dia menyebut kalau harga setiap tiang itu sama dengan harga rumah kurang lebih 150 juta. Subhanallah, masih ada juga yang kaya di negeri ini yang mau menyisihkan dananya untuk membangun Masjid yang biayanya sampai triliunan rupiah. Di tengah ironinya keadaan ekonomi dan sosial yang dapat dikatakan terpuruk. Semoga niatnya sang pemilik dan pendiri Masjid tersebut lurus.

Bangunan Masjid tersebut aku taksir menempati lokasi seluas 5 – 6 hektar. Padahal seluruh tanah yang dijadikan kompleks yayasan tersebut seluas 60 hektar. Tak bisa kubayangkan kalau jalan kaki mengitari tanah seluas itu. Ada tiga villa yang mengelilingi kompleks itu. Sebuah auditorium megah nan luas juga dapat dilihat dari halaman Masjid. Secara fisik memang pembangunan di tempat itu menelan biaya yang tidak sedikit. Penghasilan dan kekayaan pemilik tempat tersebut, ibu Dian, pasti di atas rata-rata umumnya orang yang dicap kaya di Indonesia. Wallahu a’lam.
Aku kemudian menanyakan tentang kegiatan pengajian rutin di tempat itu. Ia menyebut pengajian yang anggotanya hanya kaum ibu-ibu diselenggarakan setiap dua minggu sekali. Sedangkan ke depan dengan sudah berfungsinya Masjid tersebut akan diadakan beberapa pengajian umum dengan menghadirkan tokoh atau para dai kondang. Salah satu stasiun televisi kabarnya telah membooking tempat ini untuk kegiatan pengajian tersebut.
Hal yang masih menyisakan pertanyaan di benak saya dan juga mungkin di benak para jama’ah jum’at yang hadir kala itu yaitu mengenai sosok ibu Dian. Siapa, apa pekerjaannya, siapa suaminya, dan so on and so on. Dari Kamaluddin pun aku hanya dapat sedikit keterangan mengenai sosoknya. Menurutnya, si ibu ini sekarang hidup bersama suaminya yang ketiga. Suami pertama kabarnya seorang pengusaha minyak dari Arab Saudi. Si ibu juga pengusaha apartemen di Singapura dan mempunyai beberapa saham di beberapa perusahaan nasional seperti di BRItama. Hanya itu saja yang kudapat keterangan dari Kamaluddin. Selebihnya aku dengar kabar dari temenku Ahmad kalau dia ini adalah paranormal yang dulu pernah menyembuhkan sakitnya Sultan Bolkiah dari Brunei Darussalam. Karena jasanya sang sultan memberi ia saham salah satu pengeboran minyak di Saudi Arabia. Yang sampai saat ini keuntungannya tersebut terus mengalir ke koceknya. Wallahu a’lam.
Namun demikian, dengan tidak menafikan jasa ibu Dian semoga apa yang telah ia usahakan dari membangun Masjid, membina jama’ah, dan beberapa kegiatan sosial lainnya semoga menjadi salah satu kekuataan di antara kekuatan-kekuatan Islam yang ada. Kan satu muslim dengan muslim lainnya saling bertumpu satu sama lain sehingga membuat satu bangunan yang kokoh. Al mu’minu lil mu’mini kal bunyaani yashuddu ba’duhum ba’dlo. Semoga kita juga dapat berkontribusi dalam membangun kekuatan tersebut.

Wednesday, January 3

Hari Raya Qurban dan Tahun Baru 2007


Jutaan orang berkumpul di padang Arafah. Ramai-ramai wukuf untuk memanjatkan doa dan mengharap ridho-Nya. Mereka datang dari seluruh penjuru dunia meninggalkan sanak famili demi satu tujuan, menghadap Ilahi Rabbi di Baitullah. Semua sama di hadapan-Nya, manusia yang tercipta dari tanah. Tidak ada beda antara orang Arab dan di luar Arab. Kecuali mereka dibedakan dengan kadar takwa mereka di hadapan-Nya.
Sepetik peristiwa ibadah haji di atas merupakan ritual wajib bagi Muslim yang mampu melaksanakannya. Mampu biaya, tenaga dan kesempatan. Jika sudah terpenuhi hal-hal tersebut, maka tidak ada alasan baginya untuk menundanya. Semoga Allah SWT memberiku kesempatan suatu saat nanti. Tidak hanya sekali tapi berulang kali. Amien ya Rabbal ‘Alamin.
Biasanya ketika wukuf itulah para Muslimin di seluruh dunia disunatkan untuk puasa yang disebut puasa‘arafah. Namun disebabkan oleh beberapa hal, mungkin juga salah informasi mengenai perbedaan waktu di Saudi dengan di Indonesia, saya tidak berpuasa Arafah tahun ini. Menyesal sekali dalam hati. Tapi hari-hari itu memang sibuk sekali. Setelah jadi panitia launching buku-buku filantropi oleh Center for Study Religion and Culture. Aku kemudian fokus ke finalisasi majalah pakar yang belum kelar-kelar untuk naik cetak. Sehingga waktuku juga tidak seenjoy orang yang mau merayakan lebaran yang umumnya sudah pada libur tapi kita masih saja ada kerjaan.
Suatu kesyukuran yang saya rasakan adalah saya dapat berkurban tahun ini. Kurban seekor kambing. 3-4 hari sebelum lebaran ied aku merenung dan berdoa, “Ya Allah berilah aku kesempatan dan kemampuan untuk berkurban di hari raya ‘ied ini”. Padahal waktu itu tak sepeserpun uang ada di kantongku. Namun ada perasaan optimis dalam hatiku untuk bisa berkurban. Tak disangka min 2 hari sebelum ‘ied aku dapat honor dari kepanitian kemarin sebesar 750 ribu. Alhamdulillah aku bisa berkurban. Ku telpon rumah untuk mencarikan aku kambing seharga 650 ribu. Yang aku tidak ketahui kalau hari itu hari Jum’at. Semua bank sudah tutup termasuk bank BCA yang aku mau pake transfer. Bagaimana caranya ya? Mau minta tolong ust. Husnan tidak enak pinjem atm-nya. Ada saja jalannya Alhamdulillah, dibantu mbak enen transfer ke rekening kakakku, Mbak lis. Hari itu juga dicariin kambingnya dan dapat. Seneng rasanya aku dapat berkurban.
Berkurban, suatu pelajaran mahal yang dicontohkan oleh Khalillullah, Nabi Ibrahim AS. Contoh seorang hamba yang mengurbankan apa yang ia paling cintai karena Allah SWT. Ratusan tahun tidak dikaruniai anak. Saatnya Allah mengkarunianya seorang anak, tiba-tiba datang perintah untuk menyembelihnya. “inniy araa fil manaami, inny adzbahuk, fandzur madza taraa?” suatu pertanyaan dari seorang bapak pada anaknya mengenai mimpinya tentang perintah dari Yang Maha Kuasa untuk menyembelihnya. Dengan kesalehan dan keikhlasan pula sang anak menjawab “ya abatif’al maa tu’mar satajiduny insyaAllah minasshabirin” suatu keikhlasan yang tiada tara dimana seluruh dunia dan isinya bahkan dirinya pun lebur terhadap perintah dan permintaan Allah, Sang Pencipta-Nya. Di situlah sebenarnya inti dari ibadah kurban yang setiap tahun kita laksanakan. Teringat ketika di pondok pernah pertama kali dipaksa menyembelih kambing. Rasa ketakutanku hilang dan berhasil menyembelih sekitar 15 kambing dari 700 kambing yang disembelih bergantian. Luar biasa.
Pagi itu hujan gerimis turun mengiringi salat ‘ied. Aku salat ‘ied di Masjid Imam Bonjol komplek Angkatan Laut Pondok Labu, tepatnya di samping Diklat Dephan. Jama’ah membanjiri Masjid sampai pelataran penuh. Rencananya salat yang akan dilaksanakan di lapangan terpaksa dibatalkan karena cuaca hujan. Namun tidak mengurangi kekhusyukan kita menjalani salat ‘ied. Setiap takbir dikumandangkan teringat aku sedang merayakan lebaran dengan keluarga di rumah. Jadi ingin rasanya pulang.
GPK (Gerakan Pemuda Ka’bah), salah satu organisasi kepemudaan yang saya ikuti menyelenggarakan penyembelihan kurban. Kali ini ada 2 sapi dan 9 kambing. Kedua sapi adalah sumbangan dari mantan ketua Syahrial Agamas dan Walikota Pontianak bapak Buchari Abdurrahman dan keluarga. Rencana dagingnya akan dibagikan pada orang-orang miskin yang tinggal di bantaran sungai dan di kolong jembatan. Selain ada sembelih menyembelih. Momen ini juga digunakan oleh GPK konferensi pers mengenai peran GPK menjelang Muktamar PPP dan menanggapi beberapa isu kontemporer yang ada. Ketua Umum Syafruddin langsung diwawancarai oleh Indosiar, SCTV, RCTI, harian Republika, Berita Kota, Pos Kota dan Warta Kota. Aku sempat datang juga untuk potret-potret dan ambil daging lah ya. Aku dapat dua kepala kambing dan 2 kaki kambing untuk disop. Muantap.
Malam harinya meski begitu sepi. Rencananya aku ingin hadir pada zikir nasional di TMII. Karena malam itu adalah malam tahun baru. Tengah malam sudah ganti tahun, tahun 2007. Namun rasa lelah dan letih menyelimuti diriku setelah sesore sampai malam ngurusi daging dan kepala yang mau disop. Untuk menghilangkan kejenuhan aku pergi ke mall untuk refresh sebentar. Malamnya setelah pulang kawan-kawan yang rencananya mau nyate pun belum datang. Karena kecapean akhirnya akupun tertidur. Wah lewat deh malam tahun baru yang indah.
Nothing special with this new year, except we become older and may be more wiser. Tahun baru ini cukup membuat saya ciut. Mengingat masih jauh perjalanan hidup ini dan belum sama sekali prestasipun tertoreh. Diri ini masih banyak kekurangan. Masih banyak harus belajar. Refleksi, introspeksi, kontemplasi, imajinasi, seluruhnya perlu dilakukan demi mewujudkan suatu cita-cita. Namun hati ini rasanya belum dapat dorongan dan motivasi untuk lebih mengoptimalkan sarana itu. Masih terbelenggu. Terbelenggu oleh sesuatu yang aku pun tak tahu. Astaghfirullah.
Rencananya aku pulang liburan aku urungkan sementara. Aku batalkan karena cuaca di jalan lagi tidak bersahabat. Selain itu juga mendengar kabar tentang hilangnya pesawat ADAM AIR dan tenggelamnya kapal Senopati yang merenggut banyak korban dan berbagai musibah lainnya. Apakah ini pertanda alam murka. Nyatalah kerusakan di bumi dan laut akibat ulah manusia. Maha suci Allah dengan segala firman-Nya.
Keinginanku untuk ngekos timbul lagi. Aku ingin mandiri, tenang, dan bebas. Bisa membaca sesukaku, bisa mengerjakan apa saja, tanpa gangguan ini itu. Tapi itukah yang aku cari. Bagaimana kalau boring nanti, karena kegiatannya itu-itu saja. Wallahu a’lam. Ust. Husnan juga tetap menyarankan untuk tinggal di rumahnya. Buat apa buang-buang duit untuk bayar kontrakan lebih baik buat beli buku, kilahnya. Yah aku pikirkan sekali lagi deh.
Begitulah dua peristiwa di penghujung tahun 2006 dan di awal 2007 ini. Semoga Allah memberiku kekuatan lahir batin untuk menghadapi dan mengarungi kehidupan ini. isy kariman au mut syahidan, hidup mulia atau mati syahid. Slogan orang gerakan ikhwanul muslimin terus menggelayuti setiap hirup nafasku. Ditambah dengan kata-kata, khoirunnasi anfa’uhum linnasi. Allahu Akbar!!!

Tuesday, January 2

Selesai Sudah UAS


Lega hatiku, telah selesai ujian akhir semester. Rasanya tidak nyenyak tidur, hati belum tenang. Mengingat tugas-tugas untuk jawab ujian yang menumpuk. Apalagi diingat referensiku sangat minim sekali. Aku kurang baca. Bacaanku belum banyak. Katanya untuk menjadi antropolog minimal harus baca kurang lebih 60 judul buku etnografi budaya. Setelah kuhitung-hitung bacaanku mengenai setting etnografi belum nyampe sepuluh. Buku-buku yang kubeli tahun ini memang lebih banyak dari biasanya. Selain memang buku wajib, sebagai referensi kuliah. Aku memang gemar mengoleksi buku, tapi belum tentu yang kukoleksi sudah terbaca semua. Konsekswensinya ya aku tidak bisa nabung.
Bagaimanapun, titik tolak usaha dan perjuangan sudah harus dimulai. Tak surut langkah untuk mundur meninggalkan medan perang. Tak sedikit dari kawan-kawanku bahkan bekas muridku menanyaiku perihal jurusan yang aku ambil, mengapa mengambil antropologi. Ku jawab dengan tegas, ilmu adalah milik Allah, maka jangan dibeda-bedakan yang penting keyakinan dan aqidah kita jangan sampai rusak. Justru dengan belajar kita akan semakin tahu makna dan hakekat hidup ini. Barangsiapa yang ingin dunia maka dengan ilmu, barangsiapa ingin akherat dengan ilmu, barangsiapa yang ingin keduanya juga dengan ilmu.
Kembali rasa hatiku dilanda kecemasan. Karena sebentar lagi ada registrasi. Berarti saya harus bayar semesteran sebesar 5 juta. Berat rasanya minta sama orang tua lagi. Tidak tega rasanya. Tapi alhamdulillah orangtuaku masih diberi kekuatan dan kesehatan untuk bisa membiayaiku. Memang dari ketiga saudaraku yang lain. Aku paling tidak mau merepotkan orangtua. Aku lama di pondok, belajar selama enam tahun ditambah enam tahun mengabdi. Selama mengajar itupun aku jarang minta kiriman. Bahkan hanya sekedar untuk beli baju lebaranpun aku sendiri yang malah ditanyain. Mau beli baju lebaran nggak? Minta uang berapa untuk beli baju baru? Aku jawab ndak usah deh. Dah udah nggak zamannya lagi setiap lebaran harus baju baru. Kedua kakakku (perempuan) semua sudah menikah. Kedua-keduanya menjadi dokter. Yang pertama sudah praktek di rumah. Sedangkan yang satu lagi belum praktek. Tinggal aku sama adikku. Adikku alhamdulillah sudah punya kerjaan, jadi polisi. Saya rasa ia tepat berprofesi menjadi polisi. Sebab ia memang nakal meskipun ia pernah mondok di Gontor sampai kelas lima. Tapi orangnya masih perlu untuk diarahkan dan diberi nasehat.
Liburan semesteran ini aku belum ada planning. Tapi rencananya ingin pulang ke Semarang. Orang tuaku juga bilang kalau liburan pulang. Uang semesteran sudah disiapkan oleh bapak di rumah. Suerrr, aku bokeekkkk. Pakai apa pulang?
Memang bulan ini habis-habisan. Meski aku tidak pernah minta-minta ke orang tua setelah pulang lebaran dari Semarang. Tapi sebelumnya aku minta modal buat beli laptop, dikasihlah aku 5 juta. Dengan catatan kalau kurang cari sendiri tambahannya. Karena barang inilah penting bagiku. Selain untuk menunjang kegiatanku kuliah juga untuk terbantukan kegiatan lainnya. Jadi waktu itu ingin sekali aku punya laptop. Hasrat yang tak terbendung ini akhirnya dapat jalan. Selagi aku mencari tambahan buat beli laptop. Bersyukur dapat rejeki. Bu Sri Astuti dan ust. Husnan kasih tambahan. Kekurangannya aku pinjam kakak sepupuku yang ada di depok. Akhirnya terwujud jugalah keinginanku.
Sangat aku rasakan sekali manfaatnya. Apalagi ketika menghadapi UAS. Dengan berakhirnya UAS, sebenarnya tidak terlalu gembira mengingat nilai belum keluar. Aku khawatir ada yang fail. Sebab sampai disitulah kemampuanku. Aku coba mengadaptasikan diri dengan ilmu baru dan wawasan yang menurutku sangat luas. Alhamdulilah teman-teman kuliahku juga akrab. Meski umur mereka yang jauh di atas saya. Kebanyakan mereka sudah kepala tiga bahkan yang menempuh s3 ada yang sudah berkepala empat. Namun semua nampak akrab. Dalam obrolan dan diskusi juga enak-enak saja. Sebab mereka adalah para calon antropolog.
November kemarin aku ulang tahun yang ke-26. Tak terasa umurku sudah 26 tahun. Perlu refleksi, kontemplasi, atau si..si.. yang lainnya. Terkadang untuk kembali ke masa lalu memang perlu. Untuk selalu mengaca. Intinya harus berpikir masa depan. Masa depan memang harus direncanakan terlepas nanti meleset atau tidak namun tetap kita berusaha dan ada niat. Ingin rasanya aku cepat selesai kuliah ini dan dapat berkarya dan bermanfaat bagi orang lain. Ingin rasanya kembali mengajar, kembali ngaji di masjid, kembali khutbah di depan jama’ah, kembali..kembali..dan kembali. Lan tarji’al ayyamul latii madzot!!!

Ciputat, 22 Desember 2006

Panitia Launching & Hefner


Siang itu, Rabu 20/12/2006, aku diminta datang ke kantor CSRC – Center for the Study Religion and Culture – yang dulu namanya Pusat Bahasa dan Budaya di kampus 2 UIN Syarif Hidayatullah Ciputat. Mereka adalah teman-temanku juga, dari direktur sampai stafnya adalah teman-teman sekerja dengan bu Diana, darinya aku kenal mereka dan akrab dengan mereka. Beberapa acara yang sering dilakukan oleh mereka, aku sering dilibatkan. Terutama untuk urusan pers. Sebab acara mereka adalah bantuan dari asing berkenaan dengan program sosial dan kemasyarakatan.
Pada akhir bulan ini mereka mau melaunching buku-buku karya ciptaan mereka. Buku-buku mengenai filantropi Islam yang bertemakan “Mewujudkan Keadilan Sosial Melalui Filantropi Islam” hasil riset mereka selama ini di beberapa daerah di Indonesia. Filantropi istilah barat yang dipopulerkan untuk program-program sosial membantu orang-orang lemah. Filantropi Islam berarti kegiatan atau aktivitas untuk tujuan keadilan dan sosial dalam agama Islam. Di Islam lebih dikenal dengan zakat, infaq, sedekah dan wakaf.
Rencana mereka akan melaunching tiga buah buku. Aku diminta membantu mereka dalam urusan pers. Acara akan diselenggarakan rabu minggu depan, 27/12/2006. Bertempat di Auditorium UIN Syarif Hidayatullah. Schedule acara akan dimulai siang hari pukul 14.00 WIB, sebab Azyumardi Azra (rektor yang sebentar lagi habis masa jabatannya), baru dapat hadir pukul 14.00 setelah sebelumnya ada acara di TMII.
Namun di luar dugaanku siang itu, aku ketemu dengan antropolog Amerika yang indonesianis. Kalau dulu tahun 1940 – 1960-an orang mengenal Geertz. Namun pada dekade 90-an, Robert M. Hefner, professor dari Universitas Boston ini lebih dikenal karena berbagai penelitiannya di Indonesia. Ia bersama Kareel Steenbrink, Antropolog Belanda, memberi kuliah umum di paska sarjana Universtas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Selasa 19/12/2006.
Ia waktu itu datang mampir ke kantor CSRC setelah berkunjung ke PPIM. Kedatangannya disambut oleh Direktur CSRC baru, Chaider S. Bamualim. Ketika baru datang itulah saya berkesempatan untuk berkenalan dengannya. Pakai baju batik dan berbicara dengan bahasa Indonesia dengan fasih. Setelah ia tahu kalau saya kuliah antropologi di UI, ia menanyaiku antropologi apa yang aku ambil, aku jelaskan kalau aku belum fokus pada bidang apa dari antropologi yang saya ambil. Lalu ia menanyakan kembali siapa saja yang kasih kuliah di kampus. Aku sampaikan beberapa nama dosen yang mengajarku. Seperti yang saya ketahui salah satu dosen saya Prof. Amri Marzali, pengajar Kebijakan Publik, dalam disertasinya menyebutkan Hefner sebagai pengujinya. Maka ketika saya sebut nama dia, Prof. Hefner katakan ia kenal baik, bahkan ia tak percaya kalau pak Amri masih mengajar dikiranya sudah pensiun. Aku beritahu kalau sekarang pak Amri malah maju sebagai kandidat Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di UI. Sebelum pamit ia sempat titip salam ke pak Amri dan aku minta kartu namanya serta minta foto bersamanya.
Prof. Hefner sebagai seorang antropolog Indonesianis. Barangkali pengetahuan dan pemahamannya mengenai keragaman budaya dan tradisi di Indonesia lebih luas daripada kita-kita. Ini dapat dilihat dari karya-karya hasil penelitiannya yang sudah puluhan diterbitkan. Saya terakhir melihat bukunya “Islam Civil”untuk dijadikan referensi dalam menjawab ujian akhir mengenai antropologi sosial budaya. Isinya menerangkan budaya kontemporer Islam. Bagaimana komunitas beragama membentuk suatu kebudayaan tertentu dengan pengaruh dunia global dan kosmopolitan. Cukup masuk akal dan logis apa yang ia sampaikan dari pengujian hipotesis-hipotesis. Aljaddu bil jiddi wal khirmaanu bil kasali.



Gandul, 21 Desember 2006