Saturday, January 6

NILAI UJIAN DAN MASJID TERMEGAH DI INDONESIA






Belum jelas nilai semesteranku, dalam benakku sudah bertanya-tanya bagaimana tata cara daftar ulang. Siang itu, selasa 3 Januari 2006, aku telpon ke kantor jurusan untuk bertanya. Aku mendapat ucapan selamat dari staf sekretariat karena nilaiku alhamdulillah selamat semua alias berhasil. Penasaran aku jadinya, pengin tahu persis materi-materi apa saja dan dapat apa. Sebab dalam hati ini belum yakin kalau dapat lolos dari jeratan-jeratan kesulitan materi-materi pelajaran yang baru ku kenal.
Hari Jum’at kemudian baru aku pergi ke kampus. Selain ingin buka rekening BNI guna daftar ulang juga ingin mampir ke sekretariat. Kepengin tahu nilai-nilauku. Di luar dugaanku, setelah aku minta daftarnya memang tak satupun yang gagal. Materi yang paling ku khawatirkan saja, hermeneutik dan teori interpretasi, dapat B plus. Dua materi lainnya dapat A (Antropologi Psikologi) dan A minus (Metode Penelitian), dan materi kebijakan publik dan antropologi sosial budaya masing-masing dapat B plus. Alhamdulillah aku bersyukur. Pingin rasanya nraktir semua staf tapi aku pikir kebutuhanku masih buanyak, oke nanti sajalah kusimpan niat baik ini dulu.
Setelah itu aku pamit dan mencari tempat yang enak untuk sarapan. Tanpa basa basi aku genjot motorku ke tempat saudaraku di Pancoran Mas. Sebetulnya bukan mampir mau makan di tempatnya, tapi yang ku tuju adalah warung di belakang rumahnya. Aku puaskan sarapan pagi di situ.
Jam menunjukkan pukul 10.30. Aku mulai berpikir dimana aku akan menunaikan ibadah salat Jum’at. Di Gandul, di kampus atau di jalan saja kalau sudah masuk waktunya mampir di suatu Masjid. Pikiranku melayang pada sebuah spanduk di depan kampus UPN yang isinya ajakan para muslimin untuk salat ‘ied di Masjid Dian Al-Mahri (Masjid berkubah emas) di daerah Meruyung Limo Depok. Ingin rasanya salat Jum’at di sana. Sebab dulu ketika masa pembangunannya sangat tertutup rapat. Tidak boleh orang sembarangan masuk.
Selang 20 menit aku sampai di gerbang. Ada dua petugas yang mempersilahkan setiap kendaraan yang masuk sambil memberi kartu parkir. Ku ambil kartu dan masuklah aku ke sebuah kompleks yang luas sekali. Konon tanahnya terbentang dari jalan Meruyung sampai jalan Grogol. Aku lihat sebuah Masjid yang berdiri kokoh dan mempesona setiap mata memandang. Aku parkir dan ku ambil sebuah buku karya Ohan Parmuk berjudul “My Name is Red” untuk baca-bacaan sambil menunggu salat Jum’at tiba.
Rasa kantuk mendera setelah beberapa menit aku serius untuk membaca buku di dalam Masjid yang sejuk. Berbeda sekali rasanya di luar Masjid sama di dalam Masjid. Rasa dingin dan sejuk di dalam Masjid membuat perasaan dan hati tenang. Ditambah dengan keanggunan tata letak dan ruang yang semakin membikin setiap jama’ah tentram di dalamnya. Ku ambil wudhu lagi untuk mengusir kantukku. Masih ada waktu 20 menit menuju waktu salat. Aku gunakan untuk keliling Masjid melihat kesempurnaan bangunan yang katanya dibangun selama tujuh tahun ini.
Kamaluddin namanya ia perkenalkan padaku. Setahun sudah ia bekerja di Yayasan Dian Al-Mahri sebagai salah satu takmir Masjid. Darinya baru aku tahu kalau jum’atan kali ini adalah jum’atan perdana. Memang ajakan salat ied yang terpampang di spanduk yang kubaca adalah waktu pertama kalinya Masjid itu resmi difungsikan. Acara tersebut sebagai pembukaan dan peresmian yang disiarkan langsung oleh SCTV.
Darinya ku korek banyak keterangan mengenai seluk beluk Masjid dan Yayasan Dian al-Mahri. Menurutnya, pembangunan Masjid menghabiskan dana lebih dari satu Triliun rupiah. Kubah emasnya saja pesanan langsung dari Turki. Setiap kubah dilapisi emas 24 karat tipis mengelilingi kaca. Sehingga kalau kaca pecah emas tersebut juga ikut pecah. Lalu lampu hias yang tergantung di tengah-tengah adalah buatan dari Italy. Setelah tiga bulan sebelumnya dipesan langsung di Italy. Dan datang dengan kontainer dan teknisi langsung dari sana. Lampu yang mempunyai berat 6 ton tersebut ditarik dengan tali baji yang bisa menahan beban seberat 8 ton. Konon lampu pesanan khusus tersebut menghabiskan dana 60 miliar.
Belum lagi tiang-tiang kokoh yang terbuat dari batu pualam dan marmer. Setelah kuhitung jumlah tiang yang ada di dalam sejumlah 36 tiang. Dia menyebut kalau harga setiap tiang itu sama dengan harga rumah kurang lebih 150 juta. Subhanallah, masih ada juga yang kaya di negeri ini yang mau menyisihkan dananya untuk membangun Masjid yang biayanya sampai triliunan rupiah. Di tengah ironinya keadaan ekonomi dan sosial yang dapat dikatakan terpuruk. Semoga niatnya sang pemilik dan pendiri Masjid tersebut lurus.

Bangunan Masjid tersebut aku taksir menempati lokasi seluas 5 – 6 hektar. Padahal seluruh tanah yang dijadikan kompleks yayasan tersebut seluas 60 hektar. Tak bisa kubayangkan kalau jalan kaki mengitari tanah seluas itu. Ada tiga villa yang mengelilingi kompleks itu. Sebuah auditorium megah nan luas juga dapat dilihat dari halaman Masjid. Secara fisik memang pembangunan di tempat itu menelan biaya yang tidak sedikit. Penghasilan dan kekayaan pemilik tempat tersebut, ibu Dian, pasti di atas rata-rata umumnya orang yang dicap kaya di Indonesia. Wallahu a’lam.
Aku kemudian menanyakan tentang kegiatan pengajian rutin di tempat itu. Ia menyebut pengajian yang anggotanya hanya kaum ibu-ibu diselenggarakan setiap dua minggu sekali. Sedangkan ke depan dengan sudah berfungsinya Masjid tersebut akan diadakan beberapa pengajian umum dengan menghadirkan tokoh atau para dai kondang. Salah satu stasiun televisi kabarnya telah membooking tempat ini untuk kegiatan pengajian tersebut.
Hal yang masih menyisakan pertanyaan di benak saya dan juga mungkin di benak para jama’ah jum’at yang hadir kala itu yaitu mengenai sosok ibu Dian. Siapa, apa pekerjaannya, siapa suaminya, dan so on and so on. Dari Kamaluddin pun aku hanya dapat sedikit keterangan mengenai sosoknya. Menurutnya, si ibu ini sekarang hidup bersama suaminya yang ketiga. Suami pertama kabarnya seorang pengusaha minyak dari Arab Saudi. Si ibu juga pengusaha apartemen di Singapura dan mempunyai beberapa saham di beberapa perusahaan nasional seperti di BRItama. Hanya itu saja yang kudapat keterangan dari Kamaluddin. Selebihnya aku dengar kabar dari temenku Ahmad kalau dia ini adalah paranormal yang dulu pernah menyembuhkan sakitnya Sultan Bolkiah dari Brunei Darussalam. Karena jasanya sang sultan memberi ia saham salah satu pengeboran minyak di Saudi Arabia. Yang sampai saat ini keuntungannya tersebut terus mengalir ke koceknya. Wallahu a’lam.
Namun demikian, dengan tidak menafikan jasa ibu Dian semoga apa yang telah ia usahakan dari membangun Masjid, membina jama’ah, dan beberapa kegiatan sosial lainnya semoga menjadi salah satu kekuataan di antara kekuatan-kekuatan Islam yang ada. Kan satu muslim dengan muslim lainnya saling bertumpu satu sama lain sehingga membuat satu bangunan yang kokoh. Al mu’minu lil mu’mini kal bunyaani yashuddu ba’duhum ba’dlo. Semoga kita juga dapat berkontribusi dalam membangun kekuatan tersebut.

No comments: