Wednesday, December 19

Ied Mubarok, Iedul adha (2)


Pagi-pagi sebelum subuh aku sudah bangun. Pagi itu memang agak "gasik" bangunnya. Maklum semalam jam 22.00 saya sudah tidur. Malam ini saya menginap di tempatnya mbak Enen Bekasi. Sebab keesokan harinya saya akan ikut mengantar rombongan ke Mantingan dan Gontor. Syukurlah, sekalian silaturrahim ke pondok.

Kumandang takbir menyongsong datangnya pagi. Sejak subuh speaker masjid terus menerus mengumandangkan takbir tanpa berhenti. Sepertinya memanggil-manggil para jama'ah untuk bersegera datang. Salat ied akan sebentar lagi dilaksanakan. Hewan-hewan sembelih sudah siap dikurbankan.

Rencana selesai salat ied. Kita bersama menuju kediaman ust. Rusydi. Rencananya menjemput mbak Uke sekeluarga. Sebenarnya berhajat ke pondok adalah mbak Uke dan anak-anaknya. Mbak Uke dengan ketiga anak-anaknya ingin ke pondok menengok suaminya. Mumpung pas liburan, katanya. Yakni dari hari ied, natal dan tahun baru yang bersambungan. Setelah beres-beres sebentar kita langsung berangkat.

Syukur proposal penelitianku telah disetujui dan lulus. Tinggal melakukan penelitian di Gontor. Pembimbing thesis Prof. Afid, meminta saya setelah natalan dapat membicarakan proposal tersebut secara terfokus. Untuk lebih jelas operasionalnya di lapangan nanti. Selain itu juga mempersiapkan apa-apa sebelum ke lapangan.

Siang ini rencana berangkat ke Jawa. Entah lewat utara atau selatan saya belum tahu. Mana yang tidak macet deh. Soalnya, lalu lintas dari Jakarta mestinya ramai menyongsong liburan berantai di akhir tahun ini. Yang penting kita jalan santai saja kok. Tidak ngebut-ngebut. Alon-alon waton kelakon.


Ma'a salamah fii amanillah

Ied mubarok, iedul adha



Allahu Akbar

Allahu Akbar

Allahu Akbar

Laa ilaha illaAllahu Allahu Akbar

Allahu Akbar walillahi-l-hamd ... 3x

Pekik takbiran terdengar malam itu. Menandai masuknya hari raya Qurban atau iedul adha. Nun jauh di sana para hujaj sedang menunaikan ibadah haji di Makkah. Saat ini sedang ramai-ramainya tawaf setelah sebelumnya wukuf di Arafah. Ya Allah, Allahummarzuqni ziyarata baitikal muharram. Amin ya Rabbal 'alamin.

Muslimin di Indonesia merayakan hari raya Qurban tahun ini pada Kamis 20 Desember 2007. Lima hari kemudian ada perayaan suci juga bagi umat kristiani. Menyusul lima hari kemudian tahun baru. Subhanallah waktu berjalan begitu cepat. Apa yang sudah saya perbuat.
Bagi muslimin hikmah perayaan hari besar ini adalah bagaimana pelajaran untuk berkorban, berkorban dengan seluruh apa yang dimilikinya lillahi ta'ala. Sebab semua apa yang kita miliki adalah titipan dari Dia. Kelak akan kembali juga padanya. Bondo bahu pikir lek perlu sak nyawane pisan.

Mari kita petik hikmah dari kisah Nabi Ibrahim AS. Ketika beliau mendapat perintah dari Allah SWT untuk menyembelih putranya Ismail, beliau patuh dan tawakal. Setelah bercerita mimpi berupa perintah Allah SWT padanya, beliau tanya Ismail dulu "bagaimana menurutmu ya Ismail". "Lakukanlah wahai bapakku, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang saleh". Kedua-duanya memang saleh dan patut menjadi model suatu pengorbanan yang tertinggi. Karena keikhlasan keduanya yang paripurna, akhirnya Allah SWT menggantikan penyembelihannya dengan "dzibhin adzim", sebuah sembelihan besar berupa domba yang gemuk.

Subhanallah. Betapa ironisnya jaman sekarang ini. Gap sosial sangat tinggi sekali. Kapitalisme global membuat orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin. Kemiskinan terstruktur ini kalau tidak sama-sama ada yang care akan berakibat pada meningkatnya angka kriminalitas. Tingginya kriminalitas membuat situasi politik, sosial, ekonomi dan agama tidak aman. Begitulah masalah sosial yang involutif (mbulet).

Berkorban atau pengorbanan dalam artikulasi sosial muncul dalam sifat-sifat seperti kedermawanan, toleran, solider, dan ringan tangan (suka membantu). Sifat-sifat buruk seperti egois, bakhil, egp (emang gue pikirin), dan lain-lain dibuang jauh-jauh. Tolak ukurnya hikmah dari Nabi Ibrahim tadi. Bagaimana sampai nyawa anaknya siap beliau kurbankan lillahi ta'ala.
Berbagai gerakan karitas saat ini muncul di Indonesia. Di antaranya adalah gerakan wakaf, zakat, infaq dan sadaqah. Beberapa lembaga atau badan didirikan untuk mengefektifkan amanah ini dengan baik. Dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, sebenarnya Indonesia punya potensi untuk maju dan makmur. Tidak ada lagi para gelandangan, gembel di jalan-jalan, atau pengangguran jika semua sama-sama merapatkan barisan. Bersama bersatu, satu visi dan satu visi.

Alih-alih memberi suatu aksi nyata buat umatnya. Para elit dan tokoh agama sendiri sudah terkotak-kotakan dengan interes pribadi dan kelompok. Para pengikutnya pun dengan sendirinya juga terkotak-kotak. Perbedaan dengan pengkotak-kotakan tersebut tidak ada masalah jika mereka fahami perbedaan tersebut sebagai hikmah dapat tukar pikiran dan saling nasehat menasehati. Yang terjadi malahan baku hantam dan pertentangan.

Dengan hari yang mulia ini, kita berdoa sama-sama semoga kita dapat merapatkan barisan. Peduli amat dengan labeling orang luar kepada kita berupa sekuler, fundamentalis, radikalis, teroris dll. Sudah jemu dikatakan demikian. Jawabannya adalah mari berbuat nyata untuk umat. Wallahu fi 'aunil abdi maa daamal 'abdu fi 'auni akhiihi.

Bekasi 20 Desember 2007

Ba'da subuh sebelum salat 'ied

Disiplin, apakah sebuah formalitas?




Disiplin menjadi masalah krusial di Indonesia. Mengingat mayoritas orang Indonesia tidak berdisiplin. Disiplin yang dilakukan sepertinya dipaksakan dan sekedar formalitas. Sekedar contoh, seorang pegawai berdisiplin masuk kantor tepat pada waktunya. Namun setelah itu dia tidak berdisiplin dalam kerja. Seharusnya dia harus tetap mengerjakan tugas dan bekerja di kantor selama jam kantor. Tidak boleh "nyambi" (bekerja sambilan) sana nyambi sini.
Orang mencari akal supaya bisa menghindari disiplin sedemikian rupa. Ia merasa terkekang dengan disiplin. Kebebasan seperti terenggut oleh disiplin. Dalam pikirannya disiplin seperti suatu beban yang memaksa dia supaya patuh setiap saat. Seakan-akan disiplin itu menjadi majikannya yang siap memarahinya jika ia tidak patuh.

Namun jika dilihat lebih seksama pada kondisi sosial dan ekonomi di masyarakat. Khususnya masalah pendapatan para pegawai kantoran. Rata-rata gaji mereka jauh dari kebutuhan hidup yang mesti mereka tutupi. Mereka juga berusaha untuk dapat menutupi kekurangan itu. Lagi-lagi ia dituntut sekreatif mungkin untuk mencari sumber lain. Salah satu caranya yaitu mencari sambilan.
Maka tidak heran, kalau seorang kepala sekolah selesai mengajar di sekolah ia berprofesi sebagai tukang ojek. Meski ia berdisiplin menepati tugas formalnya. Masalah ekonomi telah mengusik konsentrasi terhadap tugasnya. Adapula yang mencari sela-sela waktu jam kerjanya untuk mengerjakan kerjaan lain yang mendatangkan uang.

Bagaimanakah berdisiplin dengan baik itu? apa pula yang membuat disiplin itu berjalan dengan baik. Berbagai asumsi bermunculan. Pada sebuah sekolah dapat dikatakan etosnya baik jika disiplin ditegakkan dengan baik. Begitu pula di sebuah institusi atau perusahaan, kualitas kerja didukung sekali dengan disiplin kerja yang bagus.

Menjawab pertanyaan di atas. Hendaknya kita fahami dulu apakah tujuan disiplin itu sebenarnya. Disiplin dalam arti positif berarti latihan, di lain pihak juga diartikan sebagai alat koreksi atau hukuman. Menurut Foucault, disiplin adalah metode-metode dimana dimungkinkan kontrol dengan seksama kepada kegiatan operasional tubuh, sehingga menghasilkan pada kepatuhan dan kebermanfaatan. Ia melihat dari sudut pandang kekuasaan yang produktif. Bahwa tujuan dari pendisiplinan baik itu di penjara maupun institusi lain adalah untuk menciptakan masyarakat yang produktif. Tidak selalu berarti kekuasaan yang represif atau dengan kekerasan. Tujuan utamanya adalah bagaimana individu dapat mengontrol dirinya sendiri (self control).

Ada fenomena menarik yang perlu dikaji. Di sebuah negara yang kurang beragama seperti di Rusia atau di Amerika disiplin sangat diperhatikan sekali. Keteraturan, stabilitas dan keamanan semua digiatkan dengan penuh disiplin. Jika hal tersebut dibandingkan dengan Indonesia yang jauh lebih beragama karena mayoritasnya beragama Islam, kenapa tidak bisa seperti mereka. Timbullah pertanyaan kemudian, apakah yang menjamin berlakunya demikian itu sistem atau agama atau pendidikan atau pada akhirnya dikembalikan pada kesadaran individu masing-masing.

Silahkan dijadikan bahan renungan.....! al'abdu yudrobu bil 'asoo, wal maahiru yakfiihi bil isyaaroh.

obrolan dengan Ust. Rusydi Bey Fananie

18 Desember 2007 Ba'da Magrib di kediaman Polonia Otista Jakarta.

Kendari, sebuah kenangan (1)




Satu persatu dari kiri, Ita Rahmawati (Jombang), Wulan atau ciwoel (Depok), Ida Rachmawati (Jombang), Dewi (Riau), Fatimah (Gontor), Nur Chotimah (Kediri), Kiki Ruqiah (Bogor), Inuk (Jakarta). Kecuali Fatimah binti KH. A. Syukri Zarkasyi, merekalah para ustadzah di Gontor Putri 4 periode pertama. Foto ini diambil sewaktu mengantar rombongan Gontor untuk acara peresmian pondok meskipun pembangunannya baru 65 % saat itu. Pimpinan Pondok Gontor, KH. A. Syukri Z., ingin supaya pondok diresmikan terlebih dahulu untuk syiar dan dakwah.
Para ustadzah tersebut datang bersama kita terlebih dahulu. Rombongan kami tiba di Kendari 5 hari sebelum rombongan Pimpinan Pondok datang. Sebuah perjalanan panjang yang pernah saya alami. Meski naik pesawat terasa perjalanan sangat panjang. Rencananya kita tiba pukul 21.00 malam, namun baru 01.00 baru tiba. Kurang lebih 5 jam kami menunggu pesawat di Makasar yang datang Jakarta.
Setibanya di Kendari kita sudah dijemput oleh para asatidz dari Gontor 7 Pudahoa. Rasa lelahpun belum sampai hilang kita sudah disambut oleh para penduduk di pondok dengan jamuan makan. Jam menunjukkan pukul 01.30 dinihari. Acara baru selesai pukul 03.00 pagi. Bayangkan. Habis itu tidak juga kunjung istirahat. Kita para asatidz bersama para alumni musyawarah untuk persiapan acara peresmian yang akan diadakan dua hari lagi dilanjut salat subuh berjama’ah. Kita baru bisa tidur jam 04.45 WITA. Pada pukul 05.30 saya dibangunkan oleh Ust. Heru, Wakil pengasuh di Gontor 7 Pudahoa.
Bersama beliau saya diajak ke pondok di Pudahoa. Ini kali pertama saya berkunjung ke pondok tersebut. kurang lebih 350 santri tinggal di pondok. Usianya baru jalan 3 tahun. Saya pun mempersiapkan apa apa yang dibutuhkan untuk acara dua hari ke depan. Dari membuat undangan, soundsystem, panggung, lampu dan lain-lain untuk kebutuhan pada waktu acara nanti. Semua dibantu urusannya oleh Gontor 7. Secara otomatis saya diberi tugas sebagai sekretaris. Sekretaris lagi, sekretaris lagi..hee….hee..nggak di Gontor, di Sulawesi juga dapat job yang sama.
Wow belum tentu. Ternyata tugas di Sulawesi tidak sebatas ketik mengetik saja. Tugas mendirikan pondok tidaklah semudah yang dibayangkan. Bagaimana para mujahid yang mendirikan pondok dari nol ya. Kita saja yang sudah disediakan tempat dan bangunan yang nyaris selesai begitu banyak persoalan yang harus diurus. Dari urusan air, urusan penghijauan, urusan listrik, urusan fasilitas, urusan jemuran, urusan parit, urusan dapur, urusan koperasi/kantin, urusan pembinaan masyarakat, dan lain-lain masih banyak lagi. Saya bersama Taten (Tasikmalaya) dan Subhan “Ahong” (Jambi) harus bisa bahu membahu untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut, sebab kita adalah guru laki-lakinya.
Acara peresmian berjalan dengan khidmat. Pimpinan Pondok juga puas. Beliau membagi-bagikan hadiah buat para penduduk sekitar yang ikut mendukung dan membantu pembangunan pondok. Hadiah berupa sarung dan uang jumlahnya saya kurang tahu. Meski semalaman hujan deras sampai pagi masih gerimis, namun tidak mengurangi kekhidmatan acara. Selesai acara kita seluruh guru berkunjung ke Gontor 7 di Pudahoa bersama rombongan Gontor. Kita sama-sama mendengar nasehat dan wejangan Pimpinan Pondok. Beliau memberi semangat pada kami untuk berjuang di Kendari.
Esok harinya kita mengantar rombongan Gontor ke Bandara untuk kembali pulang ke Jawa. Sebelum masuk boarding kita berfoto bersama rombongan dan Pimpinan Pondok. Para ustadzaat juga menyempatkan berpose bersama Fatimah, putri Kiai Gontor. Sebelum keluar pintu bandara, Bu Syukri, membisikiku “ssst jangan..jangan nanti dapat jodoh loh disini”. “Hee…hee…nggak bu”, jawabku.
Cukup lama saya memang bertugas sebagai sekretaris pimpinan di Gontor. Interaksi dengan keluarga pimpinan dari keluarga Ust. Syukri, Ust. Hasan, dan alm. Ust. Badri juga cukup intens. Tidak hanya urusan pondok, urusan keluarga juga kita harus siap bantu. Sehingga kadang-kadang juga madamat ikut menasehati dan memberi arahan. Terkadang juga malah ngojok-ngojoki untuk urusan jodoh. Aaaah bisa aja deh.
Sebenarnya, di tahun tersebut saya mendapat tugas mengajar di Gontor Putri 1 Mantingan. Namun selama setengah tahun saya masih tertahan di Gontor Pusat untuk membantu tugas pimpinan, khususnya masalah pendataan dan menghadapi sidang badan wakaf. Setelah sidang badan wakaf yang sempat tertunda sampai pertengahan tahun, saya kembali mohon izin untuk ke Mantingan namun malah dapat tugas ke Kendari untuk berangkat bersama rombongan Ust. Husni Kamil.
Pesan beliau saat itu, sebenarnya memberi saya kebebasan memilih. Entah mau tetap mengabdi di Kendari atau kembali lagi ke Mantingan, terserah saya. Setelah melihat keadaan di Gontor Putri Kendari yang baru dibangun. Rasanya tidak tega meninggalkannya. Masak kalah semangat sama para ustadzaat yang berani dan mau berjuang di tempat terpencil seperti itu. Mari, saya juga siap berjuang dan jihad di pondok. Allahu Akbar.........good bye Mantingan.
Pancoran Mas, 18/12/2007
Sebelum sarapan 07.d00 – 07.30 WIB

Monday, December 17

Proposalku diterima



Syukur alhamdulillah, proposalku lolos. Dosen bilang kalau proposal saya diterima dengan segala kekurangannya. Informasi diterimanya proposal saya dapat langsung dari
mbak Tina, salah satu staf di jurusan antrops. Kebetulan saat itu disitu ada Prof. Afid. Setelah tahu saya lulus, saya langsung tanyakan kepada beliau bagaimana langkah
selanjutnya. Beliau memberitahu kalau sekarang tinggal bimbingan saja. Kebetulan lagi, beliau sendirilah yang menjadi pembimbing penelitianku, alhamdulillah.

Beliau meminta nanti setelah natalan didiskusikan lebih
lanjut. Sebab dari tanggal 20 sampai tanggal 25 Desember kegiatan di kampus libur. Kalau tidak tanggal 26 atau 27 saya diminta untuk menghubungi beliau. Sebelum ke lapangan, masalah metodologi dan arah fokus penelitian juga sudah harus jelas. Diharapkan dengan bimbingan masalah menjadi jelas. Untuk sementara saya perlu banyak referensi lagi. Khususnya buku-buku tentang karya etnografi. Karena saran dosen, penelitian saya lebih diarahkan ke etnografi pesantren.

Dalam penelitian kualitatif lebih diutamakan emik, baru kemudian etik untuk menganalisa. Dalam prosesnya kemudian terjadi dialog antara emik dan etik. Begitulah saran dari prof. Afid. Bagi saya ini adalah sebuah pekerjaan rumah bagaimana memahami jalannya proses tersebut.

Jika tidak ada halangan. Penelitian ini akan saya mulai pada bulan Januari ini. Satu hal yang tidak ingin saya tinggalkan adalah kebiasaan diskusi dan komunikasi bersama teman-teman kuliah. Karena mereka menjadi inspirasi saya untuk terus belajar dan maju sebagai calon antropolog. bravo antropolog dan antropologi.

Badan Wakaf Gontor

Berdiri dari kiri; KH. Rusydi Bey Fananie, alm. KH. Imam Badri, KH. Abdullah Baharmus, KH. M. Solihin, KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, KH. Hidayat Nur Wahid, KH. Kafrawi Ridwan, KH. Sutadji Tadjuddin, KH. M. Masruh Ahmad, dan KH. Amal Fathullah Zarkasyi.

Mereka adalah anggota Badan Wakaf (BW) Pondok Modern. Gambar ini saya ambil selesai sidang badan wakaf ke-43 kalau tidak salah, yaitu pada tahun 2004. Sebab yang saya ingat waktu saya sudah tidak aktif lagi ngajar. Hanya bertugas di sekretariat, sebelum pindah ke Mantingan. Di antara para anggota BW hanya KH. Hasan Abdullah Sahal yang tidak nampak. Beliau saat itu masih di atas ruang sidang menerima telpon. Jadi tidak kena jepret deh. Oh ya satu lagi adalah KH. Dien Syamsuddin yang tidak bisa hadir karena lagi ada tugas di luar negeri.

Badan Wakaf adalah lembaga tertinggi di Pondok Modern Gontor. Di tangan BW-lah kelangsungan hidup pondok dibebankan. Mereka bersidang setahun dua kali. Sidang pertama di awal tahun dan keduanya di awal pertengahan tahun. Acara sidang biasanya dilaksanakan di Gontor. Dalam acara tersebut dibahas mengenai laporan Pimpinan pondok yang juga anggota BW selama setahun dan memberi masukan untuk pondok ke depan. Selain itu, sebagai lembaga tertinggi, BW melakukan pemilihan dan pergantian pimpinan pondok setiap empat tahun sekali.

Terbentuknya BW ini sebagai tanggungjawab para alumni yang memegang amanah dari para Trimurti yang telah mewakafkan pondok ini kepada umatnya. BW dibentuk saat penyerahan wakaf pada tahun 1958 sebagai pihak penerima wakaf yang mewakili umat. Di antara para anggotanya sudah pada meninggal. Setiap berkurangnya anggota diadakan terus re-generasi. Jika lengkap anggotanya berjumlah 15 orang. Di antaranya anggota yang pernah saya jumpai sebelum meninggal adalah; KH. Hadiyin Rifai, KH. Al Muhammady, KH. Abdullah Mahmud, KH. Imam Badri dan KH. Ali Saifullah. Semoga Allah memberi mereka surga dan pahala yang melimpah karena jasanya terhadap pondok.

Dengan penyerahan wakaf dari para pendiri pondok berarti keturunan keluarga pendiri tidak boleh mengklaim kemudian kalau pondok ini adalah milik keluarga. Betapa para pendiri pemikiran dan cita-citanya jauh menerawang ke depan menembus sekat-sekat
ruang dan waktu. Begitu banyak pondok yang jatuh bangun dan kemudian hilang disebabkan karena masalah intern ma'had. Setelah pendiri pondok meninggal pondoknya juga ikut mati. Hal demikian tidak diinginkan oleh para Trimurti. Cita-citanya Pondok
Modern Gontor menjadi "center of the excelent" dari para kader-kader umat di Indonesia.

Mampukah para penerusnya mewujudkan cita-cita Trimurti? InsyaAllah mampu.

Presentasi proposalku




Lega rasanya kalau sudah dapat jadwal presentasi seminar proposal. Namun kegundahan datang sehabis seminar. Disetujui tidak proposal saya ya.

Senin siang, 17/12/2007, saya bersama mbak Kun dijadwal presentasi proposal. Prof. Afid dan Pak Iwan menjadi pengujinya. Perasaan grogi, pede, dan kurang yakin bisa, menghantuiku. Pingin rasanya cepat-cepat presentasi lalu menjawab semua pertanyaan dari dosen. Lalu beres.

Ternyata belum beres. Presentasiku selama 15 menitan seperti berjalan cepat. Belum sempat saya jelaskan secara detail. Mungkin itu salah saya sendiri karena terlalu panjang. Barangkali terlalu banyak konsep-konsep yang saya jelaskan. Ah tidak. Itupun sudah saya pangkas dan terus menerus saya perbaiki. Itu sudah maksimal bagi saya.

Pak iwan memberi waktu bagi saya untuk duluan. Pertama saya jelaskan latarbelakang lalu ke permasalahan penelitian seperti yang dianjurkan oleh mas Jaya. Baru masuk ke tela’ah konseptual dan metodologi penelitian.

Selesai presentasi dilanjutkan dengan pertanyaan dari hadirin yang hadir. Kebetulan saat itu yang hadir menyimak kami presentasi hanya seorang. Dialah Yusran Darmawan. Hanya dia yang sempat dan mau datang. Dapat dimaklumi kawan-kawan sedang menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang sudah mau deadline. Yusran saat itu menanyakan tentang istilah modern dalam kata Pondok Modern Gontor. Apakah penggunaan istilah tersebut mengartikan kalau Gontor kurang percaya diri, akhirnya menggunakan kata modern. Apakah hanya dengan menggunakan bahasa Inggris dan Arab bisa dikatakan modern. Selebihnya ia memberi masukan tentang penelitian.

Jawaban saya mengenai kata modern tersebut, bahwa kata modern datang sendiri dari masyarakat ketika melihat Gontor saat itu berbeda sistem pendidikannya dengan pesantren pada umumnya. Jika ingin menelesuri akar kemodernan Gontor memang tidak dilepaskan dari segi historisnya. Yakni ketika terjadi modernisasi di Gontor dengan diterapkannya sistem mu’allimin pada tahun 1936. Sebagaimana sistem pendidikan di Noormal Islamic School di Padang. Pak Iwan kemudian menyudahi jawaban saya dengan mengatakan, wah ini jawaban dari orang Gontor, orang yang pernah belajar di Gontor, sambil bercanda.

Pertanyaan selanjutnya datang dari Prof. Afid, pembimbing akademik saya. Kepada beliau-lah saya terus intensif berkonsultasi mengenai rencana penelitian saya. Pertanyaan beliau sangatlah pelik. Ia bertanya apa yang membedakan kajian kamu secara spesifik dengan kajian-kajian sebelumnya mengenai pesantren ini. Pertanyaan kedua, bagaimana punishment dan disiplin sebagaimana yang kamu ungkapkan dikaji secara antropologis, bagaimana posisi konsepnya?. Hanya pertanyaan pertama yang saya kira jawabannya baik. Untuk pertanyaan kedua, saya sendiri kurang yakin benar. Karena setelah mendengar jawaban saya beliau mengatakan kalau itu ada masalah di metodologi, Pak Iwan yang lebih tahu.

Giliran pak Iwan, ketua Jurusan Pascasarjana Antropologi, menanyaiku. Beliau dikenal disiplin dan ketat dalam masalah metodologi. Pertanyaan beliau mempertegas kembali, dimana posisi saya dalam penelitian ini. Apakah saya akan meneliti disiplin di pesantren atau masalah kekuasaan, atau masalah disiplin yang ada hubungannya dengan kekuasaan. Meski sudah saya dahului ketika presentasi bahwa konsep-konsep yang saya jelaskan tidaklah akan saya terapkan secara penuh nanti di lapangan. Itupun kurang membantu meyakinkan. Seakan-akan saya memaksakan isu kekuasaan dalam penelitian ini. Itu mungkin kesalahan saya. Pada akhirnya, Pak Afid lebih bijak mengarahkan penelitian saya ke arah etnografi pesantren. Sehingga jawaban saya yang ingin menjelaskan bahwa di pesantren sendiri isu kekuasaan itu pasti ada itu semakin memperumit masalah. Menurut pak Iwan arah penelitian saya belum jelas.

Waduh, gimana nieh. Saya kurang hati-hati dalam pembahasan konsep dan teori sampai dampaknya ke urusan metodologi. Sehingga setelah selesai pun saya tidak tenang. Pak Iwan kemudian memberitahu kalau pengumumannya ditunggu besok atau lusa bisa ditanya di jurusan. Mak tratap atiku, lanjut opo ora yo. Saya berdoa lulus dan lanjut. Sehingga rencana penelitian ke lapangan tidak tertunda lagi.

Mungkin sampai sinilah usahaku. Yang bisa hamba lakukan sesudah berusaha adalah berdoa. Semoga apa yang telah saya usahakan terkabul dan diridloi sama Allah SWT. Amin ya Rabbal ‘Alamin. Semoga hambamu ini diberi yang terbaik.

Pancoran Mas, 18 Desember 2007
Pukul 04.45 – 05.30 ba’da salat Subuh.

Friday, December 14

Akhirnya, akan seminar juga….




Tak kebayang sebelumnya, bisa menyelesaikan draf proposal penelitian. Sudah hampir selesai satu semester. Alhamdulilah disetujui juga usulan proposal saya. Sejak pertama mengajukan judul kepada pembimbing akademik, saya hitung sudah tiga kali ganti topik. Meski sulit untuk mendapat waktu konsultasi dengan pembimbing akademi Prof. Afid, namun cukup berharga sekali kesempatan untuk bertemu beliau.

Bukan main senangnya hati ini. Saat mendengar langsung dari pembimbing kalo proposalku disetujui dan suruh diserahkan ke jurusan untuk diseminarkan. Meski saat itu hati gundah mendengar adik dirawat di rumah sakit karena DB. Tanpa pikir panjang hari itu juga aku langsung serahkan ke jurusan dan bersiap-siap berkemas untuk pulang menjenguk adik yang sedang sakit sambil menunggu jadwal seminar.

Sudah seminggu kepulanganku. Alhamdulillah adik telah sembuh dan boleh pulang. Saya kembali ke Jakarta. Setelah empat hari di Jakarta, hari Kamis kemarin baru aku mendapat kabar kalau senin 17/12/2007 disuruh siap-siap untuk seminar bareng mbak Kun, periode sebelum saya. Wah kudu nyiapin untuk presentasi nih. Aku berdoa supaya lancar dan lulus seperti mbak Fikri kemarin.

Diskusi informal bersama kawan-kawan pasca antrop cukup memberi support bagi saya untuk segera menyelesaikan proposal ini. Suasana keakraban di kampus membuat saya bersemangat. Mereka bisa kenapa saya tidak. Saya harus banyak belajar. Banyak membaca. More reading more knowledge we got.

Selain diskusi informal di pojokan kantin, teman-teman juga terlibat diskusi di dunia maya. Kita tergabung dalam milis pasca-antrop UI yang dimoderatori oleh saudara Yusran Darmawan. Dari topik kangen-kangenan sampai diskusi masalah teori. Intinya, kita faham bahwa dengan tukar pikiran kita akan lebih memperluas wawasan kita. Dengan selalu sharing, kita selalu mendapat inspirasi. Ide-ide baru sering muncul dari obrolan yang tidak terencana. Untuk lebih memperkuat kekompakan kawan-kawan rencana bertahun baru di Halimun. Wuah liburan yang menarik tuh.

Sebentar lagi hari raya iedul qurban. Pemerintah menetapkan bahwa hari raya jatuh pada Kamis, 20 Desember 2007. Belum ada rencana mau merayakannya dimana. Terlebih dahulu saya ingin selesaikan urusan seminar proposal ini. Syukur-syukur dapat bantuan dana penelitian. Saya akan mencari info dimana yang dapat memberi bantuan dana penelitian. Menurut salah satu kawan, bahwa di depag yaitu bagian perguruan tingginya tersedia bantuan dana penelitian. Jika tidak ada halangan, saya ingin merayakan ied di Cirebon di tempat kakak iparku. Kakak ipar sekeluarga berencana merayakan ied di Cirebon.

Jum’at siang, 14/12/2007, beberapa kawan berkumpul bersama ibu Suraya dan mas Toni, keduanya adalah dosen di jurusan antropologi. Agenda siang itu membicarakan untuk membentuk suatu komunitas yang berminat dalam kajian agama dan budaya. Begitu banyak isu agama dan budaya menjadi topik sangat relevan saat ini. Namun disayangkan belum ada komunitas yang mendukung peminatan kajian tersebut. Saat itu kita berjumlah 8 orang bersepakat untuk membuat komunitas tersebut. Tugas awal dari anggota tersebut adalah membuat semacam review atas literatur-literatur yang berkaitan dengan kajian agama dan budaya. Untuk keperluan tersebut saya membuat milis untuk media komunikasi kita. Milis tersebut saya namai antropagama_UI. Rencana kita akan kembali berkumpul pada selasa, 8/1/2008.

Kegiatan-kegiatan edukatif semacam ini menjadi penyemangat bagi diri saya. Terlebih lagi gairah untuk terus belajar dan berproses. Akhirnya, saya berdoa semoga seminar proposal dan kegiatan penelitian dapat lancar dan dimudahkan oleh Allah SWT. Amin ya Rabbal ‘alamin.






Halal bi halal IKPM Kudus




Sebuah tradisi bagus di setiap lebaran adalah silaturrahim. Sebutan yang sering didengar adalah “halal bi halal”. Kenapa dinamai demikian, saya juga tidak begitu pasti tahu. Kemungkinan artinya saling memaafkan dan tidak lagi saling menyalahkan satu sama lain.

Bagi kawan-kawan alumni pondok Gontor yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Pondok Modern. Biasanya di setiap cabang diadakan acara halal bihalal. Tak terkecuali bagi IKPM Kudus. Tepat hari keenam lebaran acara halal bihalal diselenggarakan di tempat salah seorang pengusaha jenang yang juga alumni Gontor. Bapak Helmi pengusaha jenang al Mubarak menjadi tuan rumah.

Selain agenda kangen-kangenan dan maaf-maafan. Kesempatan tersebut juga dibuat untuk konsolidasi para alumni dalam menghadapi pemilihan bupati sebentar lagi. Kebetulan bapak Helmi saat itu mencalonkan diri. Namun beberapa hari yang lalu beliau mengundurkan diri dari pencalonan. Tinggallah sekarang putra dari ketua IKPM Kudus bapak As’ad yang menjadi calon bupati bersaing dengan calon-calon yang lainnya.

Namun demikian, tidak mengurangi kehidmatan dari acara silaturrahim yang berlangsung saat itu. Kurang lebih 150 orang lebih hadir dalam acara. Dari mulai alumni 1950-an sampai alumni yang terbaru 2007, semua berkumpul dalam aula pabrik milik jenang al Mubarak. Acara yang dimulai pukul 10.00 berakhir pada pukul 14.00 siang.

Selesai acara, saya sempat mengobrol dengan bapak Helmi. Beliau yang satu periode dengan almarhum ust. Ali Sarkowi low profile sekali. Tidak terkesan jaga jarak dan jaga wibawa sebagai seorang pengusaha sukses. Beliau cerita mengenai mundur dirinya dari pencalonan bupati. Ternyata keinginannya untuk membesarkan perusahaan lebih berat daripada bertarung di dunia politik di Kudus. Maslahah lebih besar mundur daripada maju, demikian ungkapnya. So bravo mr. Helmi, bravo buat jenang Al Mubaroknya.