Wednesday, December 19

Disiplin, apakah sebuah formalitas?




Disiplin menjadi masalah krusial di Indonesia. Mengingat mayoritas orang Indonesia tidak berdisiplin. Disiplin yang dilakukan sepertinya dipaksakan dan sekedar formalitas. Sekedar contoh, seorang pegawai berdisiplin masuk kantor tepat pada waktunya. Namun setelah itu dia tidak berdisiplin dalam kerja. Seharusnya dia harus tetap mengerjakan tugas dan bekerja di kantor selama jam kantor. Tidak boleh "nyambi" (bekerja sambilan) sana nyambi sini.
Orang mencari akal supaya bisa menghindari disiplin sedemikian rupa. Ia merasa terkekang dengan disiplin. Kebebasan seperti terenggut oleh disiplin. Dalam pikirannya disiplin seperti suatu beban yang memaksa dia supaya patuh setiap saat. Seakan-akan disiplin itu menjadi majikannya yang siap memarahinya jika ia tidak patuh.

Namun jika dilihat lebih seksama pada kondisi sosial dan ekonomi di masyarakat. Khususnya masalah pendapatan para pegawai kantoran. Rata-rata gaji mereka jauh dari kebutuhan hidup yang mesti mereka tutupi. Mereka juga berusaha untuk dapat menutupi kekurangan itu. Lagi-lagi ia dituntut sekreatif mungkin untuk mencari sumber lain. Salah satu caranya yaitu mencari sambilan.
Maka tidak heran, kalau seorang kepala sekolah selesai mengajar di sekolah ia berprofesi sebagai tukang ojek. Meski ia berdisiplin menepati tugas formalnya. Masalah ekonomi telah mengusik konsentrasi terhadap tugasnya. Adapula yang mencari sela-sela waktu jam kerjanya untuk mengerjakan kerjaan lain yang mendatangkan uang.

Bagaimanakah berdisiplin dengan baik itu? apa pula yang membuat disiplin itu berjalan dengan baik. Berbagai asumsi bermunculan. Pada sebuah sekolah dapat dikatakan etosnya baik jika disiplin ditegakkan dengan baik. Begitu pula di sebuah institusi atau perusahaan, kualitas kerja didukung sekali dengan disiplin kerja yang bagus.

Menjawab pertanyaan di atas. Hendaknya kita fahami dulu apakah tujuan disiplin itu sebenarnya. Disiplin dalam arti positif berarti latihan, di lain pihak juga diartikan sebagai alat koreksi atau hukuman. Menurut Foucault, disiplin adalah metode-metode dimana dimungkinkan kontrol dengan seksama kepada kegiatan operasional tubuh, sehingga menghasilkan pada kepatuhan dan kebermanfaatan. Ia melihat dari sudut pandang kekuasaan yang produktif. Bahwa tujuan dari pendisiplinan baik itu di penjara maupun institusi lain adalah untuk menciptakan masyarakat yang produktif. Tidak selalu berarti kekuasaan yang represif atau dengan kekerasan. Tujuan utamanya adalah bagaimana individu dapat mengontrol dirinya sendiri (self control).

Ada fenomena menarik yang perlu dikaji. Di sebuah negara yang kurang beragama seperti di Rusia atau di Amerika disiplin sangat diperhatikan sekali. Keteraturan, stabilitas dan keamanan semua digiatkan dengan penuh disiplin. Jika hal tersebut dibandingkan dengan Indonesia yang jauh lebih beragama karena mayoritasnya beragama Islam, kenapa tidak bisa seperti mereka. Timbullah pertanyaan kemudian, apakah yang menjamin berlakunya demikian itu sistem atau agama atau pendidikan atau pada akhirnya dikembalikan pada kesadaran individu masing-masing.

Silahkan dijadikan bahan renungan.....! al'abdu yudrobu bil 'asoo, wal maahiru yakfiihi bil isyaaroh.

obrolan dengan Ust. Rusydi Bey Fananie

18 Desember 2007 Ba'da Magrib di kediaman Polonia Otista Jakarta.

No comments: