Friday, October 19

TKI DAN HARGA DIRI BANGSA



Selasa malam 16/10/2007, saya potong rambut di sebuah kota kecamatan. Kebetulan barber-nya adalah pendatang madura. Saya tahu dari logat dan gaya bicaranya saat ditanya oleh salah satu temannya. Iseng saya ajak ngobrol sambil ia melaksanakan tugasnya. Mulai dari kehidupan keluarganya yang belum dikaruniai buah hati sampai pada petualangannya mencari nafkah. Di antara pengalaman menarik yang ia sampaikan adalah ketika ia berada di Saudi selama dua tahun setengah.

Indonesia merupakan salah satu Negara pengekspor tenaga kerja terbesar di dunia. Seperti halnya di Negara berkembang lainnya, ekspor tenaga kerja menjadi andalan devisa dan komoditas penting bagi Negara tersebut. Namun keuntungan ini harus dibarengi dengan mekanisme dan prosedur yang proporsional. Sehingga para tenaga kerja yang betul-betul menyandarkan ekonomi keluarga mereka pada pekerjaan di luar negeri tidak menjadi sapi perahan saja. Dari perekrutan, pembekalan, pengarahan sampai pada pemberangkatan dan penempatan, rentetan ini harus sehat. Sehat dalam arti semua urusan dapat diselesaikan dengan mudah dan tidak berbelit. Oknum-oknum yang melanggar harus ditindak tegas. Jaminan keamanan dan keselamatan bagi para TKI juga harus jelas.

Akhir-akhir ini banyak sekali berita mengenai TKI yang teraniaya di luar negeri, di Malaysia, Singapura, dan Saudi Arabia, baik karena didzalimi oleh majikannya maupun disebabkan oleh kecelakaan kerja. Seluruh aparat yang terkait dengan pengurusan TKI harus bahu membahu membenahi urusan ini. Kurang lebih kejadian demi kejadian semakin memberi plek hitam pada wajah Indonesia. Sebagaimana diungkapkan si Bejo (barber:nama samaran), akunya saat ia berada di Saudi untuk membantu saudara-saudaranya yang tinggal di sana, ternyata banyak wanita Indonesia yang bekerja dengan cara menjual diri. “ini sudah menjadi rahasia umum” demikian katanya. Mereka datang secara illegal. Ditampung oleh para germo yang juga adalah orang-orang Indonesia sendiri. Para germo inilah mendistribusikan kepada para penduduk setempat yang sudah menjadi langganannya.

Fenomena sebagai “juragan silit”, istilah yang ia pakai, memang tertutup. Bahkan saat ia pulang ke Indonesia pun, imejnya betul-betul dijaga dan dimanipulasi sedemikian rupa dengan cerita dan bualan bahwa ia disana bekerja sambil beribadah. Sudah haji ratusan kali karena jaraknya yang dekat dengan Masjidil Haram. Orang-orang tidak menyangka kalau pekerjaannya adalah pekerjaan yang nista di tempat suci bagi orang Islam.

Selama bekerja dua tahun setengah ikut saudaranya di Saudi, meskipun belum satupun korban atau pelaku yang berbicara langsung sama dia tapi dia banyak mendengar dari kanan kirinya. Karena fenomena tersebut sudah menjadi rahasia umum. Bagi yang masih takut dengan agama, bahwa kalau berbuat baik di tanah suci pahalanya akan dilipatgandakan begitupun sebaliknya jika berbuat jahat dosanya juga akan berlipatganda, ia akan membawa pelacur tersebut keluar tanah suci. Jika sudah tidak mengindahkan lagi norma agama ia akan melaksanakan perbuatan tercelanya di tempat itu juga.


Tidak ada pilihan
Profesi sebagai pelacur dan bekerja sebagai TKI illegal sengaja mereka lakukan demi mencari nafkah. Desakan kebutuhan ekonomi keluarga di kampung halaman yang membuat mereka memilih jalan pintas sebagai pelacur. Dengan profesi tersebut mereka merasa lebih beruntung daripada para TKI legal yang gajinya sebulan bisa mereka raih hanya dengan sistem kebut semalam (SKS). Jika seorang pembantu pendapatan sebulan 60 riyal misalkan, dia hanya butuh semalam untuk menghasilkan jumlah tersebut dengan segala risiko yang ada.

Kupu-kupu malam adalah istilah yang pernah digunakan untuk menyebut para pekerja seks komersial (PSK) yang beroperasi di malam hari sampai pagi. Di Indonesia sendiri, khususnya di Ibukota Jakarta, ada beberapa daerah dimana terkonsentrasi kegiatan mesum seperti di jalan Mentawai Kebayoran Baru, sepanjang jalan Hayam Wuruk, Prumpung Jatinegara dan di beberapa daerah lainnya. Namun saat ini sering ada operasi penangkapan oleh satpol PP mereka mulai mengkonsentrasikan diri keluar Jakarta. Salah satu yang paling ramai dikunjungi oleh para pencari kenikmatan adalah di Parung. Di sana banyak warung remang-remang yang sengaja menyediakan jasa mesum.

Fenomena menjamurnya kegiatan mesum ini disebabkan oleh banyak faktor. Jika para pekerja seks disensus mereka datang dari berlainan daerah. Faktor ekonomi adalah yang banyak melatarbelakangi profesi mereka. Selain itu rumah tangga yang hancur (broken home), putus asa, susah cari pekerjaan dan sebagainya. Profesi penjaja seks sendiri bagi mereka karena tidak ada pilihan lagi. Keadaan ekonomi keluarga yang minim, susah cari kerja, pemasukan tidak ada, suplai kebutuhan tidak ada, pemerintahpun tidak urung turun tangan memberi solusi, lalu mereka berpikir satu-satunya pekerjaan yang mudah dilakukan dan cepat mendatangkan uang adalah “melacurkan diri”.

Harga diri bangsa
Ketika urusan bisnis mesum sudah mengglobal, urusannya tidak lagi bersifat individu, atau lokal daerah saja, tapi sudah menjadi urusan bangsa dan Negara. “Human trafficking” telah menjadi perhatian dari sejumlah Negara untuk menindak kejahatan internasional yang tidak manusiawi. Masak manusia diperdagangkan? Betapa teganya. Suatu perbuatan kriminal yang segera harus dibasmi.

Indonesia adalah Negara yang mayoritas muslim dan memegang adat ketimuran yang kuat. Sangat naïf bila apa yang terjadi malah banyak menyalahi etika ketimuran. Dimana lagi jati diri dan harga diri bangsa ini. Harga diri bangsa apa sudah tergadaikan? Bagaimana supaya mengembalikan “marwah” bangsa ini. Bila dikenal sebagai Negara pengekspor minyak terbesar, Indonesia boleh bangga. Tapi jika dikenal sebagai pengekspor “pekerja seks” apa bisa dibanggakan? Apakah hasil pendapatan Negara dari bisnis maksiat ini membawa berkah? Naudzubillah tsumma naudzubillah. Malaysia saja, Negara tetangga kita, dapat meremehkan kita disebabkan urusan TKI. Namun banyak yang menyayangkan bobroknya birokrasi bangsa ini yang sudah penuh dengan praktik KKN. Semoga Allah SWT memberi kita kekuatan untuk memperbaiki segala kerusakan dan degradasi moralitas penduduk yang seperti “Negeri di Awan” ini.

Berikut adalah ungkapan salah satu orang Indonesia yang sudah lama tinggal di Malaysia mengenai masalah TKI atau TKW.

Berbicara masalah TKW memang menyedihkan. Problema TKW ini seakan-akan merupakan pil pahit atau racun penjatuh martabat yang harus ditelan oleh seluruh bangsa Indonesia . Kepada siapa kita harus mengeluh dan bagaimana harus memperbaikinya?. Di Indonesia sendiri seperti benang ruwet yang sukar dicari ujung pangkalnya. Berbelit-belit dan mbulet-mbulet, bersimpul-simpul ke sana kemari. Innii asykuu basttsii wa huznii ilallah.

Bukan hanya di Malaysia saja tetapi juga berlaku di Saudi, Singapura, Brunei, kadang-kadang saya tidak sanggup mendengar kabar apabila perempuan-perempuan kita berkeliaran ke sana kemari dibawa orang, sambil ngobyek. Ada yang disiksa, ada yang hamil entah sengaja menyerahkan diri atau diperkosa. Siapa yang harus dipersalahkan?. Kita-lah yang sengaja menghantarkan gadis-gadis kita (kadang masih di bawah umur yang dituakan) ke luar negeri, jauh dari tanah air. Makhluk-makhluk yang lemah ini diserahkan kepada orang-orang yang tidak kita kenali dan di tempat yang tak terjangkau oleh keluarganya. Memanglah tidak dinafikan tidak sedikit dari mereka yang bernasib baik mempunyai majikan yang baik dan berperikemanusiaan. Terus terang saja, dhamir (hati kecil) sayapun keberatan mengirimkan wanita-wanita kita ke luar negara. Marilah kita pecahkan bersama masalah yang rumit ini, tanpa harus menyerahkan kesalahan kepada siapa-siapa. Apakah ada jalan lain yang lebih baik lagi untuk menambah devisa Negara selain mengekspor wanita-wanita kita?.

Yang lebih parah lagi adalah suami-suami mereka malah ada yang minta dikirimi uang, handphone dan minta dibelikan motor. Ini dunia sudah terbalik. Dan berita yang menyakitkan adalah suaminya mau kawin lagi dan mempunyai perempuan simpanan. Ini bagaimana?. Ya Allah, berilah hidayah kepada kami semua agar para suami benar-benar melaksanakan tanggungjawabnya sebagai suami. Bukankah seorang suami wajib bertanggungjawab memberi nafkah lahir batin kepada isteri dan anak-anaknya. Bukan sebaliknya.

Entahlah sampai kapankah bangsa kita ini bisa terlepas dari satu cobaan demi cobaan? . Satu hal yang saya percayai adalah selama kita tidak kembali kepada ajaran-ajaran yang diridhai oleh Allah, maka ujian demi ujian ini tidak akan berakhir. Hanya Allahlah yang bisa menyelesaikan segala masalah yang rumit ini. Jika Allah menghendaki, Kun Fa Yakun. Allah tidak akan merubah nasib suatu bangsa selama bangsa itu tidak berusaha merubah nasibnya sendiri.

Apakah mengirimkan tenaga wanita kita ke luar Negara ini tidak salah di sisi agama?. Jika dikatakan tidak salah, tentunya ada syarat-syarat yang ketat agar wanita-wanita kita tetap terlindungi marwahnya dan tidak memalukan bangsa Indonesia yang besar dan memiliki kekayaan yang luar biasa ini. Bisakah kita bangkit maju tanpa harus mengexport makhluk yang lemah ini?. Semoga saja ya. Ya Robb, makmurkanlah bangsa ini di bawah ridha-Mu dan petunjuk-Mu. Amin.