Thursday, April 19

SELAMAT JALAN SAHABAT


Selamat jalan lampung padang, lapang
Semoga arwahmu diterima di sisi Ilahi
Dan memaafkanmu dari dosa-dosa
Memberi ketabahan dan kesabaran bagi yang dicintai

Di tengah terik matahari. Di bawah pancaran sang surya yang lagi memanas. Ratusan orang mengiring kepergiannya. Iring-iringan mobil dan motor dari kerabat, handai taulan, serta kawan-kawan mengiring jenazah tercinta. Takdir ajal sudah tiba, tak ada satupun jua yang kuasa menghentikannya. Jenazah terbujur kaku dibungkus kain kafan dalam usungan peti di dalam Masjid. Para Jama’ah takziyah pun menyalatinya. Saat kuterima lalu kupanggul keluar dari Masjid bersama menuju mobil ambulance tubuhmu tetap diam membisu. Memasuki mobil jenazah untuk menuju pemakaman. “Darinya (tanah) Kami ciptakan, dan kepadanya pulalah Kami kembalikan (ciptaan itu)”.

MUHAMMAD LAPANG DALAM KENANGAN

Saya teringat waktu dia cerita di kelas II KMI, karena kami bersama kelas II C tahun 1994, mengenai riwayat dirinya sebelum masuk Gontor. “Dulu saya adalah atlet perenang, pernah loh juara renang, karena kena sakit lever ya jadi badanku melar seperti ini”, memang saat itu badannya gemuk. Tapi dengan kegemukannya memang kelihatan kekar dan besar, tidak gemuk karena kelebihan lemak seperti orang yang overweight.

Sebelum masuk Gontor, ceritanya ia pernah tercatat sebagai santri di Pondok Pesantren Assalam di Surakarta. Saya sendiri tidak tahu sampai kelas berapa dia di sana. Setelah itu pindah ke KMI Gontor. Yang selalu kami ingat di kelas adalah kelakar dia dan canda tawanya bersama teman-teman kibar. Walau waktu kami adalah kaum sighor dan duduk di depan, tapi kami dalam satu kelas cukup akrab dan hidup. Wali kelas kami adalah ust. Miftahul Ulum.

Naik ke kelas III, kembali saya satu kelas dengannya di kelas III C. Wali kelas kami adalah Ust. Heru Wahyudi, staf pengasuhan santri. Kelihatannya M. Lapang di kelas ini dikader betul dan diperhatikan oleh Ust. Heru untuk kelak jika kelas selanjutnya menjadi pengurus yang berkualitas. Meski sering absen tidak masuk kelas, Ust. Heru tetaplah seorang wali kelas yang perhatian pada siswanya. Dia tetap masuk kelas, walau harus mengajar sambil terkantuk-kantuk kepalanya mantuk-mantuk di atas kursi pengajar karena kecapean. Kita yang melihatnya kadang-kadang terkadang geli.

Saat yang paling kami ingat bersamanya adalah ketika diajar Hadits oleh Ust. Tauhid. Pelajaran Hadits yang seminggu sekali ini adalah pelajaran yang buat kami banyak manfaatnya; sebagai hiburan, penyiksaan, atau bahkan ujian mental. Bayangkan saja, baru masuk kita sudah menahan tawa karena memang sosok dan pembawaannya yang unik. Saat itulah ketegangan melanda seisi ruang kelas. Tidak ada yang berani bertingkah aneh. Cuma dia sendiri yang boleh bertingkah aneh. Saking tidak kuatnya kami menahan geli, ada yang kelepasan mengeluarkan suara, meskipun tidak terdengar jelas namun samar-samar ada suaranya yang tertahan dan tak kuasa lagi ditahan lalu keluar. Didekatilah orang itu lalu, “cuh..cuh..cuh..” kena ludah deh, bau jengkol kali, siapakah dia yang pernah merasakan ludah pak Tauhid? Ayo siapa?

Naik ke kelas IV, kalau tidak salah saya masih satu kelas dengannya di kelas IV B. Ust. Miftahul Ulum kembali menjadi wali kelas. Oh ya, betul dia satu kelas sama kami. Waktu itu ada bustanul, Nur Tsalits, Nazaruddin, Asrizal, ada anak Jakarta yang juga sama kecilnya (lupa namanya) dengan bustanul yang diam di rayon Santalada. M. Lapang saat itu diangkat menjadi keamanan kelas IV di rayon santalada. Di kelas kadang-kadang cerita bagaimana di rayon. Menegakkan disiplin anggota rayon yang diantaranya adalah teman sekelas sendiri. Namun ia sosok yang tegas. Urusan rayon, urusan rayon, lain lagi di kelas. Yang menjadi kenangan kami, ia suka ceritakan pengalaman dia disertai kelakar dan cukup mampu memotivasi kami. Selain itu, ia cukup disegani dan ditakuti waktu ia menjadi keamanan di rayon Saudi 3 lantai 2, rayon sighor lama.

Sehingga kelas V ia duduk di OPPM sebagai, kalau tidak salah, bagian keamanan. Namun sayang karena kesungguhan dalam kepengurusan, baik di OPPM maupun di kegiatan-kegiatan pondok lainnya, studinya jadi keteteran. Yang membuat dirinya naik kelas Enam di Kediri. Naik kelas enam tapi di Gontor III Kediri. Saat itu memang awal mula di Kediri ada OPPM. Jadilah ia Ketua OPPM, ikut bersama rombongan sahabat satu kelas saya Imron Chaidir yang cukup syok juga naik kelas di Kediri padahal waktu itu ia optimis bisa naik di Gontor. Optimis dari hasil belajarnya juga karena dia bersama saya di kelas V C, kelas yang cukup amanlah ibaratnya. Meskipun kawan-kawan satu kelas memang rata waktu itu naiknya dari Enam B sampai K bahkan sampai di Kediri ada semua dari kelas V C. Menurut keterangan kemudian yang datang dari panitia ujian sendiri, bahwa terjadi kesalahan dalam pendistribusian nilai. Namun nasi sudah menjadi bubur. Kebetulah saya sendiri di tengah-tengah naik kelas VI F. Hikmahnya teman-teman dari V C dulu kelulusannya bagus-bagus. Ada di VI K yang jayid jiddan seperti Ottoman yang berubah namanya jadi Otsman, ada juga Najihan Maududi di kelas yang sama, sekarang telah tamat s2 di UIN, lagi giat nyari jodoh, sambil nyampi terjemahan buku dan khutbah di mana-mana.

Tidak banyak rekaman peristiwa saya di Kediri, karena otomatis saya dan teman-teman yang jumlahnya waktu itu sekitar 450 terpisah dengan kawan-kawan yang di Kediri, termasuk M. Lapang. Hingga kembali kita bertemu saat akhir-akhir masa kelas Enam untuk karantina bersama dan ujian tahap akhir. Pada waktu itu tahun 1998, saya lulus bersama teman-teman, dan ditugaskan bersama 71 orang untuk mengajar di KMI Gontor. Kalau tidak salah M. Lapang saat itu ditempatkan di KUK Toko Besi. KUK adalah singkatan dari Koperasi Usaha Keluarga. Ia bersama Nur Najman dan Syaikhudin dari Lombok. Lalu kemudian ditarik ke dalam pondok untuk menangani Majalah Gontor yang saat itu baru-baru terbit.

Selain bertugas mengajar dan membantu pondok, kami juga kuliah di ISID al Azhar. Kebetulan memang kembali saya satu fakultas bersama M. Lapang, Fakultas Tarbiyah, saat itu pesertanya seru alias aneh-aneh orangnya seperti; Nurul Huda alias gonjrot, Muhajir alias dukun, Teguh Widiatmiko alias ulo, Subhan Roza orang suka manggil Sobekan rusak, M. Lapang, and so on lah termasuk saya. Meski sebagai orang sibuk M. Lapang adalah mahasiswa yang rajin. Rajin untuk mengulang ujian materi tiap semester, kalau tidak salah waktu itu materi “statistic” sebab gagal tiga kali, akhirnya lulus juga alhamdulillah. Setelah KKN, kami dapat wisuda bersama. Setelah itu M. Lapang diwisuda beneran ala ISID, kali ini singkatannya bukan “Institut Studi Islam Darussalam” lagi, tapi “Ikatan Suami Istri Darussalam”. Ia naik pelaminan mempersunting seorang Ustadah namanya Ustadah Darma, setelah melewati proses PDKT yang berliku, di sini saya tidak cukup bahan untuk menceritakan masalah ini. Tahu-tahu udah jadian aja.

Selepas dari pengabdian di Gontor kembali ke Jakarta dan berkeluarga, 2004. Ia masih mengabdikan dirinya di Majalah Gontor, kali ini sebagai jurnalis. Wartawan atau reporter Majalah Gontor. Semangatnya memang patriotisme dan pantang menyerah, sehingga cukup dikenal oleh para teman alumni dan para tokoh yang sempat ditemui atau diwawancarainya. Namun di tengah kesibukan dirinya semenjak di Gontor dan di luar Gontor, ia kurang memperhatikan dirinya sendiri, ia kurang menjaga kesehatan dirinya sendiri. Pola hidup yang tidak sehat selalu saja diulang-ulangnya seperti; merokok, tidur sembarangan (tidak di atas kasur), suka keluar malam, begadang dan jarang olahraga. Selain itu adalah kegemaran makan yang kurang terkontrol apa yang dimakan, seperti sate kambing, jeroan atau lainnya.

Saat saya mendengar Lapang jatuh sakit dan dirawat di RS Fatmawati, saya lalu teringat akan kebiasaan dia waktu di pondok dan saat di Jakarta waktu ketemu beberapa kali, 2006. Apalagi saat mendengar kena komplikasi lalu gagal ginjal. Hati tidak tega untuk mendengar dia sampai sakit sejauh itu dengan umur yang masih muda dan harapan yang masih jauh ke depan. Harus cuci darah rutin tiap minggu. Saat ku jenguk di RS Fatmawati, tubuhnya seperti bengkak. Tangannya kelihatan bengkak sekali. Dan kelihatan warna kulitnya biru kehitam-hitaman seperti ada cairan di dalamnya. Aku usap-usapkan kain yang dibasahi dengan air hangat di tangannya agar nyaman dan kempes kembali. Lalu ia bilang “ndi, doakan sembuh ya ndi, saya nggak mau sakit, doakan ya, saya tidak mau kena ginjal” dengan suara berat ia sampaikan. Trenyuh aku mendengar sambil kujawab, “amin-amin, insyaAllah, Allahu Yashfiik , Lapang, amin-amin, sabar ya pang”. Sambil terus saya usapin lalu dia bertanya-tanya tentang kegiatan saya apa selama di Jakarta.

Sesudah sekian bulan saya sibuk dengan kuliah saya. Dan mendengar kalau Lapang sudah divonis gagal ginjal dan harus rutin cuci darah, saya tidak tahu lagi kabarnya. Baru kemudian, Bu kyai Hasan cerita kalau Lapang pernah konsultasi ke mbak Sekar di Cirendeu untuk pengobatan alternatif, dimana para keluarga pondok juga berobat disitu. Kemudian dia tidak jadi berobat karena masalah finansial. Bu kyai Hasan tetap menganjurkannya untuk berobat, masalah biaya nanti insyaAllah ada yang bantu, yang penting berusaha jangan pasrah. Singkatnya, ia bersama istrinya dan anaknya lalu pindah di dekat prakteknya Mbak Sekar. Untuk dapat berobat setiap mbak Sekar buka praktek. Saya sendiri sebagai pasien untuk sementara off, mengingat membludaknya pasien yang datang dari keluarga gontor dan dari Madura, di samping juga saya sedang buanyak tugas dan ujian di kampus. Jika saya dapat menyempatkan sekali datang waktu itu ke mbak Sekar, barangkali saya bisa ketemu Lapang lagi. Tapi saya baru ceritanya setelah beliau almarhum.

Dirawat tiga hari, alhamdulillah perut dapat kempes. Untuk membuat kempes, kabarnya mbak Sekar sampai mengeluarkan energi yang banyak. Memang mbak sekar berusaha sedapat mungkin mengerahkan energinya untuk kesembuhan Lapang. Terbukti efektif. Perutnya bisa kempes dalam tiga hari. Pihak medis rumah sakit di Halim, dimana ia sering cuci darah juga kaget, kok bisa kempes, “didoain ya bu?” tanya seorang medis ke istrinya. “ya” jawabnya singkat. Namun entah karena banyaknya pasien yang datang entah dari keluarga Gontor, dari Madura, dan sekitar jabotabek, atau karena energi yang banyak terkuras untuk Lapang, mbak Sekar jatuh sakit. Ya tenaga manusia bagaimanapun juga ada batasnya. Sempat tiga hari atau berapa hari off, tidak praktek yang membuat M. Lapang juga tidak ditangani. Selama menunggu itu, ia terus berusaha mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh mbak Sekar.


Selasa sore (17/4/2007) pukul 16.00 menurut salah satu teman yang ikut menjaganya, kelihatan Lapang masih biasa dan sadar. Tapi menjelang pukul 17.00 keadaannya mulai drop, nafasnya sudah sampai tenggorokan saja, katanya. Lalu mbak Darma, istrinya berlari ke tempat Bu Hasan yang juga ngekos di gedung sebelahnya. Sambil nangis, menanyakan bagaimana solusinya? Bu Hasan pun menuju lokasi dan minta didatangkan taksi. Lalu dibawa sama temannya yang jagain tadi ke rumah sakit, biar cepat diambil tindakan medis, jangan nunggu mbak Sekar. Kemudian ditemani oleh seorang teman yang jaga tadi dilarikan ke RS Fatmawati. Sedangkan istrinya tinggal di tempat untuk mencari mbak Sekar, untuk konsultasi dan apa-apa sarannya tentang keadaan suaminya yang kritis. Dengan bantuan tetangga yang tahu rumahnya, mbak Darma sampai ke rumahnya mbak Sekar, tapi menurut tetangganya ia baru saja pergi entah kemana.

Di RS. Fatmawati lalu Akrimul dari Majalah Gontor dipanggil untuk membantu urusan-urusan bersangkutan dengan Lapang. Menurut keterangan Rumah sakit (cerita dari Ust. Akrim) bahwa yang bersangkutan harus masuk penanganan High Care sedangkan ruang untuk High Care di rumah sakit saat itu sudah full. Untuk masuk ke UGD atau ICU sendiri, menurut kriteria, yang bersangkutan tidak bisa masuk. Entah disini saya kurang faham ceritanya kenapa tidak bisa masuk UGD. Namun Ust. Akrimul tetap mengomando teman-teman yang ada untuk mencari di mana rumah sakit yang High Care-nya masih ada tempat, coba di RS Pasar Rebo, barangkali masih ada. Meski Akrim sendiri pesimis waktu itu ketika memegang ujung jari-jari kakinya sudah dingin, sepertinya waktu itu adalah proses naza’-nya. Waktu itu pukul 19.30 malam lebih, menurut pak Akrim. Ibu dan istrinya diminta Ust. Akrim untuk tetap membimbing dan mentalqin Lapang untuk terus melafazkan kalimat Ilahi. Akhirnya, tepat pukul 20.40 saudara Muhammad Lapang menghembuskan napasnya yang terakhir. Inna lillahi wa Inna ilaihi Rajiun. Selamat jalan kawan, engkau bersama para salihin mendahului kami, dan kami akan menyusul kalian kelak, antum salaafuunaa wa nahnu bil atsari.

Allahummaghfir lahu war hamhu wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu
Allahumma laa tahrimnaa ajrahu walaa taftinnaa ba’dahu waghfir lanaa wa lahu


Gandul, 20 April 2007 (Jum’at pukul 00.30)




Wednesday, April 11

Mengenai Kerangka Berfikir



  1. Boleh saja orang berusaha menjadi The First, tapi lebih baik jika menjadi The Best.

  2. Kelemahan Iman seseorang tidak boleh menghalalkan yang Haram.

  3. Urutannya "Saya Benar", kemudian "Saya Boleh" baru "Saya Mau" bukan sebaliknya : "Saya Mau" maka "Saya Boleh" dan oleh karenanya "Saya Benar" ini yang berbahaya! Rugi dan merugikan.

  4. Mengurusi orang waras saja capek ... , kok mengurusi orang gila!

  5. Toleransi kita pada sikon jangan merubah mental kepribadian (aqidah sibghoh).

  6. Siapa yang mengisi kekosongan dalam barisan dan dalam pembinaan ummat Islam? Dan Ummat Manusia? Bapak Pandu Islam itu Rasulullah - Sumber Pendidikan Kepramukaan.

  7. Jangan terpesona atau tertipu oleh apa yang menamakan dirinya Ilmiah atau "Penemuan Ilmiah".

  8. Dunia akal-akalan (Rekayasa) membuahkan Agama Rekayasa. Celakanya banyak manusia yang menciptakan "Rekayasa Agama".

  9. Dengan Teka-teki ini Ananda jangan menciptakan atau menjadi objek mangsa para makhluk-makhluk ambisius dunia.

  10. Kalau manusia itu laki-laki dan perempuan menjadi manusia beneran, maka hanya Islam-lah tempat yang tepat.

  11. Setiap manusia itu mempunyai bakat menonjolkan dirinya. cuma kadar atau volume dan hasilnya berbeda-beda, juga caranya, jalannya. HATI-HATI!

  12. Pandai-pandailah memilih mana yang Prinsip ananda. Jangan menjadi Insan "Mendinganistis".

  13. Dalam menghadapi masalah (kesulitan) jangan cuma hanya mencari "Siapa Pemicunya , siapa di balik masalah ini," tapi carilah apa pemicu dan penyebabnya. Mungkin anda sendiri .

  14. Sistem yang paling baik itu tidak ada, dan tidak akan ada.

  15. Setelah Nabi Muhammad SAW. tidak ada lagi Nabi, dan sekaligus tidak ada lagi manusia yang terbaik di Zaman ini.

  16. Carilah sektor apa saja yang perlu, boleh dan mau dilaksanakan dalam pembinaan umat.

  17. Perbedaan arti dan akibat antara tsiqoh dan ghurur, antara percaya pada kekuasaan dan perasaan lebih dari yang lain (sombong).

  18. Kalau ananda melihat sesuatu itu benar supaya dibantu, kalau salah supaya diingatkan.

  19. Jangan sampai kalau maju kita mengakuinya, kalau mundur kita cuci tangan.

    Gontor, Maret 2001
    KH. Hasan Abdullah Sahal (Pimpinan Pondok Modern Gontor)


Hubungan Orangtua - Remaja, review sebuah buku


Pernak-pernik Hubungan Orangtua – Remaja
Anak “Bertingkah” Orangtua Mengekang
Oleh Sawitri Supardi Sadarjoen
Penerbit Buku Kompas, 2005

Berbagai persoalan remaja dan hubungannya dengan orangtua merupakan bahasan pokok dalam buku ini. Masa remaja yang dikategorikan dengan batasan umur antara 14/15 tahun sampai 19/21 tahun adalah masa dimana remaja berusaha mencari identitas dan jatidirinya. Dalam proses ini banyak remaja yang menemui kegagalan. Mereka terlalu matang dalam fisik padahal psikisnya belum siap. Disamping itu kultur keluarga tidak menunjukkan sama sekali perhatiannya, misalkan jika kedua orangtuanya adalah pekerja yang pergi pagi pulang malam.

Posisi remaja yang dependen (masih tergantung) pada orangtua berimplikasi pada tanggungjawabnya pada aturan orangtua di rumah, kewajiban belajar di sekolah dan aneka kegiatan lainnya yang difasilitasi orangtuanya. Namun di sisi lain kebutuhan otonomi untuk memecahkan kebuntuan, kebosanan, kejemuan, kesendirian mengakibatkan banyak aturan yang dilanggar. Orangtua menganggap anak selalu melawan, sedangkan anak menganggap orangtua terlalu mengekang. Akibatnya banyak perilaku remaja yang nekat dan diluar batas kewajaran, ini sebagai akibat dari pelampiasan dari rasa pemberontakan dalam dirinya.

Dalam pemaparan konsep-konsep hubungan yang terjadi antara orangtua dan anaknya, penulis berangkat dari kasus. Berbagai macam kasus yang ditanganinya, ia tulis di rubrik psikologi tiap hari Minggu di Koran Kompas. Kasus-kasus yang diceritakan dan analisa komprehensif baik secara psikologis maupun sosial memberi pembelajaran (lesson learned) terhadap proses perkembangan anak dan proses pendewasaan orangtua.

Di antara poin yang sekiranya penting, adalah sebagai berikut;
1. Anak-anak penderita gagap, biasa ditandai oleh pengulangan spasmodik, hendaknya dihindarkan dari situasi lingkungan yang menekan. Hindari hukuman fisik, berikan dukungan dengan kelembutan emosional agar anak tenang (Hal. 19).


2. Rasa kesepian anak adalah penyebab utama anak terpaku pada kenikmatan erotisme yang diperoleh melalui stimulasi internal ataupun eksternal terhadap zona erotis tertentu pada organ tubuhnya, seperti mengisap jempol, melakukan gerakan bibir sambil meraba/memegang benda tertentu seperti ujung selimut, atau menggesekkan alat genitalnya pada guling tertentu yang dikempit di antara selangkangannya (Hal 24).


3. Kebutuhan personal remaja untuk mengikuti aturan cenderung menurun di lain pihak kecenderungan untuk otonom sangat tinggi, berimplikasi pada kebutuhan afiliatif, kebutuhan seksual tinggi, kebutuhan agresivitas tinggi, kebutuhan untuk tampil beda atau pamer, semua kebutuhan tersebut cerminan dari perilaku “semau gue” tanpa perencanaan (Hal. 50).


4. Percepatan perkembangan fisik ditandai dengan pematangan fungsi genital, remaja sadar akan kebutuhan erotisme dan seksual. Pada masa ini adalah awal perkembangan fantasi romantisme, fantasi erotisme, dan fantasi seksual. Sering idola menjadi objek pelampiasan kebutuhan-kebutuhan tersebut (hal. 76). Efek globalisasi membuat remaja memiliki peluang luas untuk mengambangkan pilihan idolanya (hal. 77). Remaja rela melakukan apa saja demi idola (hal. 78). Bahkan sampai pingsan pun dijalani agar bisa salaman sama idolanya atau sekedar mendapat tanda tangan darinya.


5. Dalam masa proses pencarian identitas diri, remaja akan merasakan kekosongan batin, resah, gelisah. Untuk mengatasi kegelisahan dan keresahan ini tanpa mereka sadari membuat mereka mengembangkan fanatisme yang kuat tanpa batas terhadap idola (Hal 76).


6. Keinginan kuat untuk bebas dari kungkungan aturan, diikuti dengan tampilan perilaku keluar dari aturan baku, bahkan terkesan keinginan untuk menciptakan norma khusus yang berlaku bagi remaja (Hal 77)


7. Perkembangan fisik yang relatif cepat pada usia remaja membawa pengaruh terhadap kehidupan psikis remaja. Pada masa ini, remaja sering dilanda “penyakit” jenuh, malas (Hal 118)


8. Masa remaja adalah masa di mana seseorang berada dalam proses untuk memilih posisi moralnya, baik nilai-nilai yang dianut, arah minat yang dipilih, serta hal-hal yang tidak disukainya. Selain itu juga merupakan proses untuk memperoleh bayangan diri sebagai entitas seksual utuh yang tidak lagi meragukan dirinya (Hal. 159)


9. Kemampuan intelektual seseorang bukanlah jaminan bagi keberhasilan studinya. Masih banyak potensi mental lain yang berperan dalam optimasi fungsi intelektual (Hal 149). Seperti dikenal emotional quotient, spiritual quotient, atau mungkin kemampuan lainnya seperti dalam hal intuisi.


10. Pemantauan kemajuan studi hendaknya berdasarkan kejelasan aturan akademik tidak pada penekanan beban mental berlanjut sehubungan harapan/tuntutan orangtua yang terkadang melebihi batas kemampuan mental anak. Peran orangtua bagi keberhasilan anak tidak hanya menyangkut masalah fisik saja namun juga masalah relasi serta konsekwensi psikologik yang tidak sederhana (Hal 146).


11. Sikap protektif yang terlalu berlebihan bisa menjadi dasar minimnya rasa tanggungjawab pribadi dan disiplin diri pada anak (Hal 138).

Demikian beberapa point yang dapat dikemukakan. Bahwa peran orangtua di sini sangat besar terhadap kematangan dan kedewasaan bagi sang anak. Maka perlu pendewasaan diri orangtua dalam menghadapi berbagai kasus anak dan pergaulannya. Sikap represif dominatif atau sikap acuh atau cuek, keduanya sama sekali tidak tepat. Pendekatan secara partisipatif, untuk mau mendengar dan hadir di sampingnya, dan melihat aspek-aspek mental sosial anak secara moderat dan kritis. Akan lebih juga dibarengi dengan pendekatan spiritual yang selama ini jarang dilakukan di masyarakat perkotaan. Wallahua’lam

Gandul, 7 April 2007
Andi R. Arifianto