Saturday, May 19

Antara Ideal dan Aktual




Sudah menjadi hal yang wajar, jika seseorang jauh dari rumah dan keluarga dia akan merasakan homesick. Istilah yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan kangen dan kerinduan mendalam terhadap kehangatan keluarga. Lain bagi seorang wisatawan lain juga dengan penuntut ilmu. Kalau wisatawan keluar rumah untuk jalan-jalan cari hiburan, sedang penuntut ilmu jalan-jalan secara sungguh-sungguh untuk cari ilmu. Yang mungkin dapat dikatakan sama-sama sifatnya, kedua-duanya sama-sama butuh duit. Baik yang bepergian wisata maupun yang mau menuntut ilmu.

Barangkali unsur materi ini yang telah menjadi masalah utama kenapa Indonesia tidak maju-maju. Mutu dan kualitas pendidikan Indonesia tidak pula menggembirakan. Kasus-kasus terhadap kegagalan-kegagalan terus menerus berulang. Tidak pintar-pintar mengambil hikmah dan pelajaran dari peristiwa dan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Ambil contoh Negara tetangga kita, Malaysia. Secara signifikan mereka jauh meninggalkan kita dalam hal akademis dan pembangunan. Lalu kemudian mari kita tarik ke belakang 20 tahun yang lalu, siapa dan bagaimana Malaysia dibanding Indonesia?

Ada kekhawatiran-kekhawatiran dalam hati ini. Sebelum masa kuliah berakhir, karena singkatnya waktu dan terbatasnya jam tatap muka, saya merasa belum mendapat apa-apa. Saya merasa apa yang seharusnya saya terima dari materi kuliah belum begitu maksimal. Belum optimal dengan luasnya dan padatnya materi untuk berselancar dalam ilmu-ilmu sosial. Sebab dimensi sosial saat ini sudah sedemikian kompleks. Kita tidak bisa menyalahkan seorang guru karena lalai ketika salah seorang siswa menjadi korban pembantaian teman-temannya di areal sekolah. Sungguh banyak aspek terkait yang perlu dibongkar dan diungkapkan pokok dasar masalahnya.

Dari masalah kangen, kuliah, baca buku, kerjain tugas dan main game, silih berganti menjadi aktivitasku. Namun setiap weekend ada aja acara bersama kawan-kawan gontorian main bulutangkis di Ciputat. Cukup membuat badan dan pikiran menjadi sehat. Kesehatan memang lebih mahal dari pada kekayaan dan kekuasaan apapun (kata Don Corleon dalam film Godfather). Sedangkan dalam kata mutiara mengatakan, kesehatan adalah semacam crown di atas kepala orang-orangnya, yang tidak diketahui oleh orang kecuali bagi yang sakit.

Jum’at, 4/5/2007, kemarin sempat pulang untuk melepaskan rindu kepada keluarga. Jakarta – semarang memang tidak jauh, tapi saya sendiri baru pulang kali ini semenjak lepas lebaran kemarin. Momen weekend saya kira paling tepat untuk pulang. Bisa tiga sampai empat hari di rumah, selasa balik untuk masuk kuliah siangnya. Cukup seru juga di rumah ketemu dengan ponakan-ponakan yang lucu-lucu. Semuanya pada kangen “lik” (oom)nya. Perkembangan di desa juga biasa-biasa saja tidak terdengar suatu gerakan-gerakan yang menggembirakan.

Sudah lama memang saya meninggalkan suasana dan romantisme kehidupan di desa. Sudah 15 tahun kiranya, 12 tahun di Gontor dan 3 tahun di Jakarta. Dulu semasa kecil masih teringat mandi di kali (sungai), main sepeda ke gunung, cari jangkrik malam-malam, main betengan, dan aneka cerita seru lainnya. Sekarang sudah berubah. Tidak ada lagi keceriaan-keceriaan itu lagi yang saya lihat. Paling-paling banyak pemuda-pemuda kumpul kongkow-kongkow tanpa tujuan jelas, kemudian anak-anak juga saling pamer motor. Nuansa-nuansa romantisme dan harmoni desa di zaman dulu sudah hilang tergilas oleh globalisasi. Mereka sudah kenal handphone, lebih memilih nonton sinetron, main internet, main playstation, dan lain-lain.

Suatu fenomena baru yang tidak perlu diantisipasi tapi dipikirkan bagaimana kita sebagai manusia menghadapinya. Bagaimana identitas kita dipertaruhkan di sini. Sebenarnya identitas kita itu apa sih, sebagai warga Negara Indonesia tentunya identitas kita adalah orang Indonesia. Yang menjadi pertanyaan bagaimanakah identitas orang Indonesia itu? Pancasilais kah? Atau plural? Sekular? Religius? Siapa yang bisa mendefinisikannya? Agar di kemudian hari tidak salah generasi-generasi selanjutnya menafsirkan identitas mereka sebagai bangsa Indonesia.

Gandul, 20 Mei 2007

No comments: