Thursday, May 17

Globalisasi, apaan sich???



Istilah globalisasi terus menerus ada di sekitar kita. Kalau mendengar globalisasi yang terbersit dalam benak saya sesuatu yang serba lintas batas, teknologi modern, dan pengaruh asing. Sepertinya kata globalisasi sudah tidak asing lagi di telinga kita. Apalagi dalam dunia antropologi, istilah ini kerap dibawa-bawa untuk menunjukkan perubahan yang terjadi pada lapangan penelitian. Dalam materi metodologi teori dan praktik, yang diajarkan oleh trio antropolog UI; Iwan Tjitradjaja, Sulistyowati Irianto, dan Suraya Afif, seluruh program pascasarjana antropologi ditugasi untuk mengadakan penelitian dengan tema globalisasi. Secara khusus mengambil tempat penelitian di Detos dan Margo City Depok. Jadi penelitian kawan-kawan terfokus pada bagaimana warga depok mengalami globalisasi sehari-hari di Mal.

Dari satu tempat penelitian sudah terdapat banyak peristiwa dan gejala di setiap sudut yang dapat kami ambil sebagai judul penelitian masing-masing kelompok yang terbagi menjadi tujuh kelompok. Saya sendiri bersama Yusran dan Endang Rudiatin mengambil tema “
Representasi Identitas Serta Tafsir Remaja Atas Life Style di Mal: Studi Kasus Remaja Depok”. Meski judul tersebut belum bersifat baku, namun dari situ kami dapat memfokuskan penelitian pada remaja, bagaimana mereka memaknai globalisasi sehari-hari yang mereka representasikan melalui identitas tertentu. Minggu-minggu sampai depan adalah proses abstraksi dan penulisan setelah berlelah-lelah menulis fieldnotes, coding-memoing dan analisa data.

Jum’at 11/5/2007, pukul 13.30 WIB di blok cafĂ© FISIP UI ada bedah buku karya Firmansyah, Ph.D, Dosen FE-UI, yang berjudul “Globalisasi – Sebuah Proses Dialektika Sistemik”. Yang melatarbelakangi penulisan buku ini, menurut penulis, keragaman pengalaman yang alami selama berada di luar negeri tempat ia belajar baik di Amerika, Perancis maupun di negara lainnya. Bahwa isu globalisasi tidak hanya dibicarakan di Indonesia, di Perancispun, Negara yang sudah maju isu ini tidak kalah pentingnya dengan isu politik. Dalam suatu petikan peristiwa ia dapatkan di sana, bahwa kumpul kebo itu malah tidak dilarang tapi malah diperkuat oleh hukum sebab dengan kumpul kebo bisa mengurangi nilai pajak pendapatan. Pengurangan pajak pendapatan tidak hanya berlaku bagi suami istri yang sah.

Menurutnya, globalisasi adalah sebuah proses untuk menjadi global. Sedangkan konsep global mengacu pada sebuah kondisi dimana terdapat interkoneksi yang terjadi secara intens dari berbagai macam karakteristik lokalis dimana kejadian di suatu wilayah berdampak pada kondisi di luar wilayah bersangkutan. Karena begitu banyaknya definisi tentang globalisasi, seperti dari Anthony Gidden (1990), yang menyebutkan bahwa proses globalisasi ditandai oleh intensifikasi hubungan antar wilayah, dimana peristiwa yang terjadi di luar sana akan mempengaruhi kondisi dalam negeri di suatu tempat. Ada yang mengaitkan globalisasi dengan konsep deteritorialisasi (Kearney, 1995). Ide ini mengacu pada pemahaman bahwa aktivitas produksi, konsumsi, ideologi, komunitas, politik, budaya dan identitas melepaskan diri dari ikatan lokal. Ada dua mekanisme dalam pandangan ini; pertama, melalui ekstensifikasi hegemoni suatu negara atau diaspora kelompok masyarakat tertentu melalui migrasi dan pengungsian seperti keberadaan negara superpower Amerika dan pengaruh imigran yang tinggal di Perancis. Kedua, melalui konsep hyperspace yang berarti runtuhnya tembok-tembok batas lokal dalam ruang imajiner atau virtual seperti hadirnya internet, handphone dan lainnya.

Globalisasi juga diterjemahkan sebagai suatu proses integrasi manusia yang melewati batas-batas negara dan bangsa (Pieterse, 2000). Globalisasi juga diindikasikan oleh time-space compression (Robinson, 2001). Hal ini juga pernah diungkapkan oleh McLuhan di tahun 60-an bahwa dunia mengarah pada suatu kondisi yang dinamakan global village sebagai akibat dari akselerasi interaksi manusia di seluruh dunia. Dalam bukunya globalisasi, bahwa proses ini mengacu pada seluruh proses sosial, ekonomi, budaya dan geografis yang terjadi pada banyak negara dimana proses tersebut telah memberikan banyak batasan bagi kebebasan pengembangan identitas dan institusi lokal dalam suatu daerah.

Dalam keterangan globalisasi di atas dapat dibaca dengan seksama, bahwa terjadinya globalisasi meski terkait dengan isu lokal dan global, bagaimanakah posisi identitas lokal?. Globalisasi ini peluang atau tantangan?. Secara lebih ekstrim, rahmat atau laknat?. Ada standar global dan ada standar lokal. Pada suatu negara, terjadi perlawanan antara tekanan global dan lokal atau regional. Terjadilah benturan kepentingan. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah dengan globalisasi apakah membuat manusia semakin menutup diri atau membuka diri. Bisa kedua-duanya, jawab Firmanzah.

Keberagaman adalah implikasi dari proses globalisasi itu sendiri. Sedangkan dampak dari globalisasi, menurut I Putu Gede Ary Suta, bisa positif bisa juga negatif. Positifnya seperti dirinya bisa bersekolah di beberapa universitas di luar negeri sampai tamat, itu karena globalisasi. Akses dan kesempatan untuk belajar di luarnegeri dengan beasiswa menurutnya adalah suatu implikatif dari proses globalisasi. Sedangkan negatifnya, dapat kita lihat pada media massa bagaimana negara-negara miskin yang menjadi budak para pengendali globalisasi itu. Sebagai salah satu pembicara Putu sampaikan sebuah pidato Bush yang singkatnya menerangkan bahwa Bush dengan tegas mengatakan pada setiap negara untuk memutuskan bersama US atau di luar US (yang berarti dianggap musuh oleh dia), kalau ikut bersama US mari ikut aturan yang sudah kita buat. Secara eksplisit menjelaskan suatu hegemoni suatu negara adidaya atas negara-negara yang tidak berdaya. Bagaimana kita bersikap dan beradaptasi dengan globalisasi? Secara lebih besar, bagaimana Indonesia mengambil sikap dalam hal ini? Lalu bagaimana pula dengan kedaulatan Republik Indonesia.

Connie Rahakundini Bakrie, pembicara lainnya mengaitkan globalisasi dengan isu pertahanan. Bahwa pertahanan menurut Juwono Sudarsono adalah isu anyone, anywhere dan anytime. Antara kedaulatan satu Negara dipengaruhi oleh Negara lain. Kalau dalam pengertiannya fisiknya yaitu batas territorial, tapi secara umum kaitan dengan globalisasi, mencakup aspek yang lebih luas lagi yang diistilahkannya dengan “euphoria globalisasi”. Ia mengutip pertanyaan seorang jenderal VOC J.P. Coen yang mengatakan bahwa perang dan dagang tidak dapat dipisahkan. Yang pada akhirnya ia menanyakan bagaimana Indonesia mengelola globalisasi ini? coba lihat sikap pemerintah dengan keberadaan perusahaan-perusahan asing MNC (multi national corporation) yang mengekploitasi kekayaan dan sumberdaya alam Indonesia. Bagaimana tidak malu, Singapura yang luasnya hanya selebar kabupaten Sidoarjo (yang sekarang mau dibenamkan oleh perusahaan lokal sendiri “Lapindo Brantas”) menjadi negara pengeskpor ikan terbesar di Asia Tenggara. Malaysia menjadi pengekspor kayu lapis terbesar. Darimana ikan mereka, pantai mereka tidak ada apa-apanya dengan pantai Indonesia. Dari mana kayu mereka, hutan mereka tidak seluas hutan Indonesia. Dua hari yang lalu saya membaca sebuah Koran yang memberitakan bahwa kita layak dikasih pemecah rekor dari Guinness Book dengan prestasi Negara paling cepat penghancur hutan di dunia. Banggakah kita? Jawab salah seorang menteri yang dituduh korupsi, sekarang syukur sudah direshuffel, wallahu a’lam bisshawab.

Saya kemudian berpikir, Indonesia yang terdiri dari 13.000 pulau lebih, lebih dari 500 suku dengan dialek bahasanya yang ragam, bagaimana pemerintah dapat mengendalikan semuanya. Dengan kencangnya proses globalisasi ini bukan tidak mungkin seorang Indonesia sulit untuk menunjukkan identitasnya sebagai seorang Indonesia akibat persinggungan dari berbagai macam budaya dan nilai asing. Bagaimanakah semestinya identitas seorang Indonesia itu? Apakah bhineka tunggal ika bisa dikatakan sebagai identitas Indonesia? Pertarungan antara lokal dan global, mana yang menang? Mari kita lihat secara politis, ekonomis dan sosial fenomena berdirinya Carefoour, Giant, Matahari, Alfamart, dan Indomart. Apa dampak dari perbuatan para kapitalis sebagai agen dari globalisasi?

Dalam penelitian kami juga sangat terlihat jelas bagaimana subkultur yaitu budaya anak remaja di sebuah kota pinggiran Jakarta, mengalami globalisasi. Depok yang tumbuh dengan pesatnya telah menjadi arena globalisasi. Dimana tumbuh mal-mal, pusat-pusat hiburan dan membanjirnya kaum urban yang tinggal di Depok. Di penghujung tahun 1998-an pusat belanja di Depok yang ada hanya Ramayana. Sekarang sudah banyak sekali, ada ITC Depok, Mal Depok, DTC, Detos, dan Margocity. Suatu kemajuan yang cepat. Para remaja SMP pegangannya Handphone 3G dengan fasilitasnya yang lengkap, pakaiannya meniru model yang ia lihat suatu majalah fashion, rambutnya ia tata kayak bintang pujaannya, dan aksesorisnya adalah referensi dari iklan tv yang ia tonton. Wow, biar gaya abis gitu loh, biar keren gitu loh, dan biar-biar seterusnya. Apakah ini yang menjadi identitas mereka sebagai seorang Indonesia. Apa bedanya mereka dengan remaja sebuah kota di Malaysia atau di Jepang?
Sekali lagi globalisasi peluang atau tantangan, rahmat atau laknat?

Depok, 11 Mei 2007

No comments: