Monday, January 7

Menyongsong tahun baru hijriah




Malam selasa, 7/1/2008, saya hendak menemui kawan di Pancoran. Di antara jalan Kalibata - Pancoran saya menyaksikan kerumunan massa berbaju putih. Semuanya terkonsenstrasi di sebuah Masjid yang terletak tepat di depan pertigaan Perdatam. Keramaian tersebut tak pelak mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Selain konsentrasi massa terlihat juga banyak motor-motor yang diparkir di bahu-bahu jalan. Sehingga memakan sebagian jalan yang dipakai untuk jalur umum. Meskipun demikian banyak petugas yang juga berbaju seperti jubah putih ikut menertibkan lalu lintas sepanjang lokasi acara yang bersentuhan langsung dengan jalan raya.

Suatu pemandangan yang lazim terjadi. Jika telah selesai lebaran Haji - sebutan untuk idul adha - maka umat Islam bersiap menyongsong datangnya pergantian tahun hijriah. Tahun ini kebetulan datang tahun baru Islam berdempetan dengan tahun baru umum. Selisihnya hanya 10 hari. Umat Islam ramai-ramai menggelar pengajian. Bahkan ada sebagian partai politik atau kelompok tertentu menggunakan kesempatan tersebut untuk konsolidasi kelompoknya.

Kalender hijriah yang berlaku di Islam berbeda dengan kalender syamsiah pada umumnya. Hitungan kalender hijriah berdasarkan peredaran bulan, sedangkan kalender syamsiah berdasarkan matahari. Jika dalam satu hitungan kalender syamsiyah, sebagaimana dalam ilmu pengetahuan alam menyebutkan, berjumlah 365 hari. Namun hitungan hijriah bisa kurang dari itu. Biasanya umat Islam lebih berpatokan dengan kalender hijriah ini dalam menentukan hari-hari besarnya. Metode yang dipakai bisa dengan rukyat maupun hisab.

Sebenarnya merayakan tahun baru Islam bukanlah tradisi Islam yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad SAW. Peringatan serupa berawal dari tradisi yang dibuat oleh Salahudin al Ayoubi. Ketika umat Islam saat itu bertempur melawan serangan kaum salib Nasrani. Perayaan dengan tujuan untuk membangkitkan semangat dan jihad para muslimin yang terlibat dalam pertempuran tersebut ternyata berhasil. Pasukan muslimin mampu menangkis dan balik memukul mundur tentara salib.

Kalender hijriah mula-mula digagas semasa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab dengan berpatokan pada saat hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah. Sedangkan, sebelumnya, umat Islam masih menggunakan kalender dengan patokan matahari, bulan dan bintang secara manual. Kemudian ketrampilan dalam menghitung kalender dan melihat arah mata angin tersebut disebut dengan ilmu falak.

Suatu pemandangan yang paradoksal. Dimana ada dua tradisi berbeda. Tradisi dalam merayakan dua tahun baru. Tahun baru Islam dan tahun baru pada umumnya. Yang saya saksikan di malam tahun baru melalui layar kaca seminggu yang lalu sangatlah fantastis, mewah dan boros. Di beberapa pusat kota dibuat semacam acara meriah dengan dana yang jutaan sampai miliaran. Di saat saudara-saudara lainnya sesama indonesian mengalami beberapa musibah.
Sedangkan di kota yang sama. Perayaan tahun baru bagi umat Islam berlangsung dengan khidmat. Tidak ada yel-yel maupun pekikan terompet. Pesta kembang api pun juga tidak kelihatan. Mereka melangsungkan perayaan dengan pengajian bersama sambil berintrospeksi diri dan berdzikir kepada Tuhannya. Sebagai tanda syukur atas nikmat yang telah dikaruniakan kepadanya.

Namun apakah tradisi seperti ini berlaku bagi seluruh muslimin di Indonesia. Menurut saya, tradisi ini belum merata di seluruh Indonesia. Tradisi untuk turun semua dalam satu acara, satu warna, satu misi, belum bisa terwujud. Keragaman umat Islam sendiri yang menjadi penyebabnya. Sehingga sosialisasi untuk memuliakan tradisi-tradisi Islam untuk meningkatkan rasa kebersamaan masih jauh rasanya. Meskipun begitu, pada akhir dekade 90-an telah banyak momentum yang diselenggarakan untuk maksud tersebut. Walau masih berskala kecil, namun ini juga berarti untuk lebih memberi corak generasi muslim Indonesia selanjutnya. Selamat Tahun Hijriah 1430.

Pancoran, 8/1/2008

Ba'da Subuh

No comments: