Tuesday, December 9

Spirit Berkurban; Kekuatan yang Menyatukan

Allahu Akbar 3x Walillahi-l-hamd

Sejak matahari terbenam pada sore 9 Dzulhijjah, umat Islam seantero dunia dengan riang gembira mengekspresikan rasa syukur atas datangnya Idul Adha dengan menampakkan muka-muka berseri, mandi, memakai baju terindah, dan yang terutama dengan menggemakan takbir, tahlil dan tahmid. Sebuah pengakuan atas ke-Mahabesaran, ke-Mahakuasaan, ke-Mahasucian, ke-Mahahebatan, ke-Maha tak terhinggakan. Sang Khaliq, Allah Robba-l-'Alamin, sekaligus merupakan sebuah kesadaran betapa kecil, lemah, bodoh, tidak berdaya dan hinanya kita di hadapan Allah SWT.

Nun jauh di sana, di atas tanah suci Padang Arofah dan di atas bumi Mina, jutaan kaum Muslimin, dari berbagai suku dan bangsa di dunia berkumpul, bersatu padu, satu ide, satu persepsi, bersama-sama mengumandangkan kalimah talbiah (labbaikallahumma labbaik, dst), sebagai klimaks dari penunaian ibadah haji rukun Islam kelima.

Sungguh, momentum Idul Adha dengan kewajiban berhaji bagi yang mampu dan disunnahkan berkurban dengan menyembelih hewan adalah pemandangan yang indah yang tiadataranya. Terwujud dalam sebuah kebersamaan, persatuan dan persaudaraan. Kepada kaum Muslimin diserukan untuk bergembira ria, melepas ketegangan dan mencairkan kebekuan, puasa hari ini dan 3 hari berikutnya diharamkan, ibu-ibu dan perempuan-perempuan dewasa yang datang bulan sekalipun dianjurkan ikut beramai-ramai dengan teman-temannya yang suci mendatangi tanah lapang tempat salat 'Ied dilaksanakan; anak-anak kecil juga dianjurkan turut menghiasi hari ini dengan hiasan yang terindah dan paling mengesankan yaitu takbir, tahlil dan tahmid.

Allahu akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahi-l-hamd

Perintah Untuk Berkurban

Peristiwa Nabiyullah wa kholiiluhu Ibrahim AS dengan Nabiyullah Ismail AS yang termuat dalam Kitab Suci ribuan tahun yang lalu rasanya baru kemarin terjadi. Lebih-lebih bagi yang secara sadar aktif mengaktualisasikan diri dengan ajaran syari'at beliau itu. Ajaran untuk berkumpul dalam persaudaraan dan kebersamaan melalui haji yang disyari'atkan bagi yang mampu dan ibadah alat 'Ied di Masjid-masjid atau lapangan-lapangan. Kegiatan ini bersifat tahunan, berskala Internasional dan regional yang kemudian bisa dikontekstualisasikan dalam skala yang lebih kecil yakni dalam keluarga, lingkungan dan daerah, dengan kumpul untuk makan bersama, untuk salat berjama'ah, untuk salat Jum'at dan kumpul gotong royong untuk membangun desa.

Secara historis, sebagaimana yang disebut dalam Ayat Al Qur’an, bahwa Ibadah Kurban adalah pelajaran (ibrah) dari apa yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْي قَالَ يبُنـَيَّ إِنِّى أَرَى ِفي الْمَنَامِ أَنِّى أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى، قَالَ يَـأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِى إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ

‘’Maka, tatkala anak itu (Ismail) sampai (pada umur untuk sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, dia berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu, apa pendapat kamu? (Ismail menjawab): ‘Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, niscaya engkau akan mendapatiku jika Allah menghendaki termasuk orang-orang yang sabar.’’

Ayat tersebut jangan ditafsirkan bahwa Islam mengajarkan Barbarianisme dan sikap-sikap tidak manusiawi lainnya. Islam diturunkan bukan untuk mengajarkan pertumpahan darah dan menyebarkan kebengisan, tapi justru untuk menjadi agama kasih, agama ketentraman, agama kemanusiaan. Dari ajaran Rasulullah SAW, ternyata perintah yang sangat memberatkan itu hanyalah ujian Allah SWT untuk mengukur tingkat ketakwaan mereka kepada Allah SWT. Lewat peristiwa heroik kedua hamba-Nya itu, Allah ingin menegaskan kepada seluruh makhluk-Nya bahwa Dialah memang satu-satunya Tuhan yang Mahahebat, Mahaagung, dan karena itu layak disembah dan dipatuhi.

Di lain pihak, pada sejumlah masyarakat Muslim perintah untuk berkurban ada yang diselewengkan. Mereka beralasan sebagaimana argumen kaum Jahiliyah yang mengurbankan seekor hewan yang dipersembahkan pada suatu yang mitos sifatnya. Harapan mereka, dengan persembahan tersebut tujuan mereka terkabul. Bahkan, sebelum Islam datang ke Mesir, para penduduk mempersembahkan seorang gadis paling cantik yang diceburkan ke dalam sungai Nil. Praktik-praktik syirik semacam itu sudah seharusnya diakhiri. Kita berkurban semata-mata mengharapkan ridlo Allah demi meraih cinta dan rasa takwa.

Esensi Berkurban

Oleh sebab itu, ekspresi syukur dan gembira dalam merayakan 'Idul Adha ini janganlah dinodai dengan perilaku kekufuran, dengan pesta minuman keras, pesta judi, sabung ayam, menyelenggarakan dan menghadiri pertunjukan maksiat; menyimpan rasa dendam dan dengki terhadap sesama, lebih-lebih terhadap orang tua, guru, ustadz, tokoh masyarakat, dan orang-orang terpuji karena kesalehannya, Na'udzubillah.

Syukur dan gembira hari ini bukan tanpa alasan, bagaimana tidak bersyukur dan bergembira, karena rangkaian kewajiban dan sunnah dalam Dzulhijjah ini mengandung hikmah, makna, nilai, ajaran moral, dan pendidikan bagi setiap manusia dalam menjalani kehidupan berkeluarga, berbangsa, dan bernegara. Di luar, jika terjadi tawuran antar pelajar, pasti yang disalahkan adalah lembaga sekolahnya. Padahal peristiwa itu terjadi jauh di luar sekolah. Dengan semangat 'Ied ini, mari kita mulai dari pendidikan di rumah. Kita tebarkan rasa kasih sayang, cinta, toleran, dan saling pengertian satu sama lain. Jika suatu keluarga berhasil tentu berdampak pada masyarakat yang lebih luas.

Mari kita ambil pelajaran dari perintah Allah SWT pada Nabi Ibrahim. Dalam mimpinya beliau mendapat perintah dari Yang Maha Kuasa untuk menyembelih darah dagingnya sendiri, Ismail AS. Padahal anaknya ini sudah dinanti-nanti ratusan tahun. Ketika doa sudah terkabul, saat itu pula Allah meminta supaya anaknya tersebut disembelih (dikurbankan). Tentu sangatlah berat perintah tersebut di tangan seorang hamba manusia. Namun justru suatu sikap kematangan iman yang diperlihatkan oleh kedua Nabi tersebut. Mereka adalah hamba Allah yang diciptakan oleh Allah sama halnya juga makhluk-makhluk semua ciptaan Allah. Jelaslah di sini Allah tentu ingin menegaskan bahwa Dialah satu-satunya Dzat yang patut disembah. Hanya Dialah Yang Maha Kuasa dan Sang Pencipta. Semua berasal dan diciptakan olehNya dan akan kembali pada-Nya. Anak, harta, tahta, suami/istri, dan aneka kenikmatan lainnya yang kita cintai semua hakikatnya bukanlah milik kita. Kita hanya mendapatkan titipan dari Allah, sudah amanahkan kita terhadap tanggungjawab titipan tersebut?

Kedua, Ibrahim AS adalah juga manusia. Bisa saja saat itu ia menolak perintah Allah karena perintah tersebut terhitung berat. Namun kecintaannya pada Allah SWT lebih besar dari segalanya demikian pula Ismail AS. Lalu kemudian Allah SWT memberi hadiah pada mereka dengan seekor sembelihan yang agung "dzibhin adzhim", berupa seekor domba (kambing) yang gemuk. Subhanallah.

Menarik jika kemudian dikaitkan dengan suatu ayat yang terjemahannya kurang lebih seperti ini: "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya" (Surat Al-Imran 92). Bukankah Nabi Ismail AS. adalah asset yang paling dicintai oleh Ibrahim AS.? Sudah ratusan tahun baru Allah kabulkan doa untuk dikaruniai anak. Oleh karena itu beliau mendapatkan tempat mulai di sisi Allah SWT. Kecuali jika beliau saat itu tidak mematuhi perintah Allah, niscaya tidak akan meraih kebajikan yang sempurna sebagaimana kutipan ayat tadi yang asal katanya dari "Al-Birr".

Sayangnya apa saja yang kita lakukan dalam ibadah, kita masih terjebak demi memenuhi tuntutan dan kewajiban semata. Belum pada tingkat kesadaran dan kebutuhan. Di mana jika sampai pada tingkat itu, seseorang akan merasa kurang, hampa, dan tentu merasa berdosa jika meninggalkannya. Sehingga spirit atau ruh dari ibadah tersebut kurang dapat ditangkap olehnya. Pengaruh dari ibadahnya pun terasa tidak maksimal dalam kehidupan sehari-harinya. Contohnya tentu dapat kita ketahui bersama; ada pejabat salat tapi berani korupsi, guru yang sejatinya jadi panutan malah mengajari kejelekan, dan masih banyak lagi. Namun tidaklah akan selesai jika kita hanya bisa terus menyalahkan orang lain tanpa mampu melihat dan mengoreksi diri kita sendiri. Dari mana kita mulai perubahan. Kita berangkat dari kita sendiri.

Menuai Benih Kebersamaan

Jika suatu ibadah dilakukan dengan jiwa, dampaknya akan optimal. Begitu juga dalam berkurban. Dengan spirit berkurban kita optimis menghadapi krisis yang sedang berjalan ini. Ruh berkurban ada pada rasa ingin berbagi, tolong menolong dan berempati pada sesama yang lebih membutuhkan. Spirit yang terhujam itu layaknya nyawa pada suatu tubuh, jika nyawa melayang tubuh pun akan jadi patung yang tak bernyawa. Tak bisa apa-apa dan tidak ada daya upaya.

Memang dalam syariat, Ibadah kurban tidak termasuk rukun Islam. Ibadah serupa berbentuk pemberian dalam rukun Islam yang tersebut hanya zakat. Maknanya, ibadah ini adalah dianjurkan dan tidak diwajibkan. Ada dua pesan sebetulnya yang mungkin bisa sama-sama kita tangkap. Pesan pertama, yakni ibadah ini adalah hubungan vertikal sang pengkurban dengan Sang Maha Pencipta yang berorientasi pada takwa. Salah satu hadist Rasulullah SAW menyebutkan yang kurang lebih berbunyi "Allah tidak mengharapkan daging dan darah kurbanmu tapi yang diharapkan adalah rasa takwamu". Pesan kedua, lebih pada hubungan secara horizontal sesama manusia yang berorientasi pada aspek sosial. Dengan berkurban kita bisa berbagi dengan sesama yang lebih membutuhkan. Bisa menolong orang lain dengan memberi rejeki kurban yang kita sembelih. Bisa berempati pada yang miskin dan yang membutuhkan. Dari dua pesan tersebut semoga kita lebih bisa menangkap ruh dari ibadah kurban yakni semangat untuk berbagai, menolong sesama dan berempati pada yang membutuhkan secara ikhlas, lillahi ta'ala.

Setelah kita sama mengetahui bahwa Ibadah berkurban sarat dengan aspek sosialnya. Maka, spirit berkurban itu perlu dipupuk dan terus menerus dipraktikan sehingga menjadi suatu pola pikir dan cara pandang Muslim yang humanis. Jika sudah terpatri pola pikir demikian, seorang pejabat tidak akan berbuat dzolim pada bawahannya. Demikian juga pengusaha. Ia tidak akan bertindak gaya kapitalis yang menghisab harta rakyat kecil dan menari-nari di atas penderitaan orang lain. Juga berbagai macam profesi-profesi baik birokrat sampai ningrat sekalipun.

Janganlah kita kotori spirit berkurban dengan ingin dilihat, ingin dikenal dan ingin dipilih dalam pemilu nanti. Perasaan-perasaan seperti itulah yang semakin membuat orang miskin tetap saja miskin. Pola pikir orang seperti itu belum berubah yang akhirnya menyebabkan orang kaya tetap kaya dan miskin tetap miskin. Oleh karena itu, perlu suatu tindakan nyata yang manfaatnya bisa berkesinambungan, tidak hanya sesaat saja. Tidaklah cukup hanya memberi ikannya, tapi yang lebih penting adalah memberi kailnya. Semangat kebersamaan antara yang mampu dan tidak mampu seperti inilah perlu diikuti oleh hamba-hamba Allah yang diberi kelebihan rejeki. Jika pola pikir dan cara pandang memberi, bersedekah dan hal lain yang bersifat memberi didasari dengan spirit berkurban. InsyaAllah, rakyat Indonesia ini akan makmur. Tidak takut sama krisis global yang menghantam saat ini.

Terakhir, bangsa Indonesia sebentar lagi akan memilih wakil-wakil rakyat terbaiknya untuk membawa negara ini ke depan menjadi yang lebih baik, keluar dari krisis multi dimensional akibat globalisasi yang ditunggangi misi setan kapitalisme dan kolonialisme. Kalau dalam berkurban ada empat macam hewan yang tidak memberi pahala untuk dikurbankan yaitu; hewan yang cacat mata, hewan yang sakit, hewan yang pincang, dan hewan yang sangat kurus. Hendaknyalah kita pandai-pandai untuk melihat dan menimbang-nimbang calon yang akan kita pilih seperti kita menimbang-nimbang untuk memilih hewan yang paling bagus untuk dikurbankan. Karena dengan itu akan mendatangkan manfaat dan kebaikan kita bersama menuju Baldatun Toyyibatun Wa Rabbun Ghofur. Wallahu a'lam

Ciputat 5 Desember 2008

No comments: