Friday, December 5

Spirit Berkurban Untuk Menghadapi Krisis

Kemarin saya menyertai kawan mau syuting di TVRI. Acaranya semacam talkshow bernama "Dialog Aktual" tanpa audiens berdurasi 1 jam untuk tayang hari Senin depan tepat hari raya Iedul Adha. Tema yang diangkat tentunya berkaitan dengan I'edu Kurban atau 'Iedul Adha. Sebagai moderatornya adalah produsernya sendiri, Mas Sifak Masyhudi. Beliau sering juga menjadi produser di acara-acara dialog lainnya. Sedangkan Narasumber ada 3 orang; Drs. Ansori, MPd., Prof. Dr. (lupa namanya) dari IPB, dan H. Humaedi Hasan dari Tokoh masyarakat Banten.

Saya tertarik dengan tema yang diangkat yakni "Spirit Berkurban Dalam Menghadapi Krisis Global". Spirit layaknya adalah jiwa atau ruh. Jika dikatakan spirit berkurban, berarti dalam berkurban tentu ada ruh dan jiwanya. Saya pikir-pikir apa yang menjadi ruh berkurban.

Flash back pada masa Nabi Ibrahim ketika beliau bermimpi mendapat perintah dari Yang Maha Kuasa untuk menyembelih darah dagingnya sendiri, Ismail AS. Padahal anaknya ini sudah dinanti-nanti ratusan tahun yang akhirnya Allah karuniakan. Namun ketika sudah lahir, Allah juga yang meminta supaya anaknya tersebut dikurbankan. Tentulah tidak sembarangan perintah tersebut.

Saya coba uraikan pendapat saya. Bukankah kita ini adalah hamba Allah yang diciptakan oleh Allah sama halnya juga makhluk-makhluk semua ciptaan Allah. Dengan demikian jelaslah maksud perintah tersebut bahwa Allah ingin menegaskan bahwa Dialah satu-satunya Dzat yang patut disembah. Hanya Dialah Yang Maha Kuasa dan Sang Pencipta. Semua berasal dan diciptakan olehNya dan akan kembali pada-Nya. Anak, harta, tahta, suami/istri, dan aneka kenikmatan lainnya yang kita cintai semua hakikatnya bukanlah milik kita. Kita hanya mendapatkan titipan dari Allah, sudah amanahkan kita terhadap tanggungjawab titipan tersebut?

Kedua, Ibrahim AS adalah juga manusia. Bisa saja saat itu ia menolak perintah Allah karena perintah tersebut terhitung berat. Namun kecintaannya pada Allah SWT lebih besar dari segalanya demikian pula Ismail AS. "Wahai Bapakku, niscaya engkau akan mendapatiku, dengan izin Allah, bersama orang-orang yang sabar". Kedua Nabi yang agung tersebut telah memberi pelajaran takwa nan indah. Allah SWT telah menguji ketakwaan keduanya dan berhasil. Akhirnya Allah ganti Ismail dengan "dzibhin adzhim", sembelihan yang agung, seekor domba yang gemuk. Subhanallah.

Lalu saya teringat suatu ayat yang terjemahannya kurang lebih seperti ini: "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya". Kalau tidak salah di Surat Al-Imran 92. Bukankah Nabi Ismail AS asset yang paling dicintainya? Sudah ratusan tahun baru Allah kabulkan doanya permohonan anak. Namun jika beliau tidak mematuhi perintah Allah, ia tidak akan meraih kebajikan yang sempurna yang dalam ayat tersebut disebut dengan "Al-Birr".

Sayangnya dalam ibadah kita masih terjebak dalam tuntutan dan pemenuhan kewajiban saja. Belum pada tingkat kesadaran dan rasa membutuhkan. Di mana sampai pada tingkat itu, seseorang akan merasa kurang, hampa, dan tentu merasa berdosa jika tidak melakukannya. Sehingga spirit atau ruh dari ibadah tersebut kurang dapat ditangkap olehnya. Pengaruh dari ibadahnya pun terasa tidak maksimal. Contohnya dapat kita ketahui bersama masih banyak bertebaran di mana-mana. Bahkan bisa jadi kita sendiri.

Menurut syariat, Ibadah kurban tidak termasuk rukun Islam. Ibadah serupa berbentuk pemberian dalam rukun Islam yang tersebut hanya zakat. Maknanya, ibadah ini adalah dianjurkan dan tidak diwajibkan. Ada dua pesan sebetulnya yang mungkin dapat ditambah. Pesan pertama, yakni hubungan secara vertikal dengan Sang Maha Pencipta yang berorientasi pada takwa. Salah satu hadist Rasulullah SAW menyebutkan yang kurang lebih berbunyi "Allah tidak mengharapkan daging dan darah kurbanmu tapi yang diharapkan adalah rasa takwamu". Pesan kedua, lebih pada hubungan secara horizontal sesama manusia yakni orientasi pada aspek sosial. Dengan berkurban kita bisa berbagi dengan sesama yang lebih membutuhkan. Bisa menolong orang lain dengan memberi rejeki kurban yang kita sembelih. Bisa berempati pada yang miskin dan yang membutuhkan. Dari dua pesan tersebut semoga kita bisa menangkap ruh dari ibadah kurban yakni semangat untuk berbagai, menolong sesama dan berempati pada yang membutuhkan secara ikhlas, lillahi ta'ala.

Saya lihat pada ibadah berkurban aspek sosialnya sangat tinggi. Spirit berkurban ini yang perlu dipupuk dan terus menerus dipraktikan sehingga menjadi suatu pola pikir dan cara pandang Muslim yang humanis. Jika sudah terpatri pola pikir demikian, seorang pejabat tidak akan berbuat dzolim pada bawahannya. Demikian juga pengusaha. Ia tidak akan bertindak gaya kapitalis yang menghisab harta rakyat kecil dan menari-nari di atas penderitaan orang lain. Juga profesi-profesi ningrat lainnya.

So, be inspired. Janganlah kita kotori spirit berkurban dengan ingin dilihat, ingin dikenal dan ingin dipilih dalam pemilu nanti. Perasaan-perasaan seperti itulah yang semakin membuat orang miskin tetap saja miskin. Pola pikirnya belum berubah yang kaya tetap kaya yang miskin tetap miskin. Perlu suatu tindakan nyata yang manfaatnya bisa berkesinambungan, tidak hanya sesaat saja. Sesudah kita memberi sesuatu lalu habis, sudah stop sampai disitu. Semangat kebersamaan seperti inilah perlu diamini oleh hamba-hamba Allah yang diberi kelebihan rejeki. Jika pola pikir dan cara pandang memberi, bersedekah dan hal lain yang bersifat memberi didasari dengan spirit berkurban. InsyaAllah, rakyat Indonesia ini akan makmur. Tidak takut sama krisis global yang menghantam saat ini.

Wallahu a'lam

Ciputat, 5 Desember 2008

No comments: