Thursday, March 29

Catatan Lapanganku


Selasa sore rencana saya bertemu dengan informan baru, adik dari Dias, informan yang minggu lalu saya wawancarai. Namun sebelum waktunya saya dapat kabar kalau batal. Selesai kuliah aku sengaja ke mall untuk sekedar ambil foto. Aku lewat belakang mall, dari depan fakultas kesehatan masyarakat UI. Karena hari sudah mulai agak sore saya cuma ambil setting lokasi foto di dalam saja. Dari lantai 3 atas tempat biasa saya ketemu informan, saya langsung ke lantai bawah. Situasi dalam mall dan beberapa gerai tengah mall juga saya foto.

Karena baterai drop aku kembali isi dan rencana balik. Tiba-tiba dalam perjalananku pulang, aku dapat sms kalau dias sudah dapat gantinya, ditunggu ditunggu jam 6 di mall, di tempat biasa. Aku langsung siap-siap di kos dan secepatnya kembali ke mall. Aku naik ojek biar tidak ribet dan cepat sampai tujuan. Jam menunjukkan hampir pukul 19.00 malam.

SUKA KOLEKSI AKSESORIS DAN BAJU
Sejak dia tinggal di Tangerang ia sudah suka mall. “Dulu waktu SMP di Tangerang aku sering ke mall, setiap habis sekolah aku senang jalan-jalan di mall”, katanya. Sampai sekarang juga setelah pindah ke Depok dia masih tetap suka ke mall, namun tidak tiap hari. Ketika saya tanya ngapain pergi ke mall, jawabnya, “ya cuci mata, kalau lagi tidak ada duit ya cuma keliling gitu” katanya. Namanya Ayu, anak tunggal dari bapak asal Kuningan dan Ibu dari Sidoarjo, sekarang tinggal di Vila Santika Tanah Baru Depok. Sekolah di SMA Sejahtera I Depok kelas 1 SMA.

Di mall ia suka cari berbagai macam model baju yang lagi tren dan aksesoris untuk koleksi. Suka warna pink, dan koleksi boneka Barbie. Semua aksesorisnya semua berwarna pink. Dari gaya berpakaian saat itu walau masih pake seragam sekolah dengan rok sebatas paha dan bajunya dikeluarin, warna pink dominant pada seluruh aksesoris yang ia pakai. Dari atas, antingnya sampai jam tangan, gelang, tasnya, kaos kakinya semuanya berwarna pink. Saya tentang kamar dan barang-barangnya apakah juga berwarna pink, jawabnya yaa dong. Mulai gorden, selimut, sprei dan lain-lain. Dalam urusan baju nampaknya remaja ini suka yang tidak ribet alias suka yang fleksibel. Ia selalu ikutin informasi mengenai trend an gaya busana dari media-media yang ada. Akunya ia sudah punya tempat-tempat boutique dimana ia suka menemukan baju-baju kesukaannya.

Gaya hidup dan tuntutan kehidupan sosial yang membuat benda seperti baju-baju koleksinya Ayu menjadi semacam totem (dalam pemahaman tradisional) untuk mengkomunikasikan identitas sosial yang mencolok. Di dunia modern ini, sistem pakaian sudah bergeser fungsinya sebagai penutup atau menghangatkan badan, tetapi sebagai kode simbol yang digunakan pemakainya untuk mengkomunikasikan keanggotaan mereka dalam kelompok sosial, menurut Sahlin ketika bicara tentang totemisme di zaman modern ini. Dengan model pakaiannya Ayu berpikir dan berusaha menstandarkan dirinya bahwa ia adalah seorang remaja putri yang berkecukupan, modist, tidak ketinggalan jaman dan cukup trendi. Ia tidak sama dengan penjual makanan di pasar atau tidak berperan hanya sebagai ibu rumah tangga. Selain itu ia cukup percaya diri dan senang dengan warna pink. Di sekolah ia ikut beraktifitas sebagai pengurus OSIS bidang tata usaha dan kewirausahaan.

PERAN KONTROL KELUARGA PERLU
Jika ada waktu kosong dia bersama temannya main ke mall. Masuk sekolah siang pukul 13.00 dan pulang pukul 17.00. Biasanya dia tidak langsung pulang, tapi jalan-jalan dulu. Ortu juga pasti pulang malam, karena dari Jakarta tempat kerja ke rumah di Depok memakan waktu 3 jam. Biasanya kalau mau jalan dia beritahukan dulu pada ortunya. Komunikasi terus ia lakukan jika mau bepergian apalagi jauh jaraknya. Proses infantilisasi (infantilisation) dimana seorang remaja masih belum bisa independen dalam hal ekonomi dan masih bergantung pada ortunya sehingga budaya sang remaja masih dapat dikontrol oleh ortunya”, hal ini berjalan baik dengan ia dengan ortunya. Kadang pula ia ditemani oleh ibunya jalan-jalan di mal. Sebagai anak tunggal ia lebih dibebaskan untuk berinisiatif cari kepuasan sendiri tapi tetap kontrol dari ortu tetap berjalan.

Tempat yang Ayu sukai untuk jalan-jalan adalah di Blok M dan di Mangga Dua. Di dua tempat tersebut banyak macam-macam koleksi yang ditawarkan. Dari yang aksesoris sampai dengan aneka model baju, sangat variatif. Sesekali ditemani dengan temannya, pada weekend dia pergi. Semua boutigue favorit dia, sudah terdaftar betul di kepalanya dan ada semua di nomor handphonenya seperti G. Dorens, Princess, Sakura, dan masih banyak lagi. “pokoknya di lantai empat di mangga dua mall disitulah pusat boutique”, kata dia. “kan murah-murah tapi berkualitas, kalau yang di mallnya ada pusat handycame, computer, biasa bokap nyokap beli untuk dikirim” tambahnya. Peran orang tua sebagai pemeran utama dalam pendidik anak harus paham betul bagaimana mendidik para remaja yang masih labil emosi dan sensitif. Keluarga pada keluarga Ayu, yang saya juga belum bertanya mendalam, kelihatannya demokratis dalam arti masih dalam kontrol orang tua. “ketika saya penasaran mau pake perching, aku dilarang, karena sakit katanya. Trus ketika aku coba pake tato yang hanya berumur 2 minggu, saya pun dimarahi”, ceritanya.

MEMBUAT CITRA DIRI
Jika ke mall bersama ibu ia suka jajal makanan yang aneh-aneh. Tapi kalau usai sekolah ia lebih suka pergi ke ITC Depok sebab banyak aksesoris di sana dibanding mall-mall lain di Depok. Tapi terkadang di keliling dari Gramedia dulu kemudian ke Detos, lalu ke Margo, trus ke Mal Depok dan terakhir di ITC lalu pulang ke rumah.

Masalah perawatan tubuh ia banyak contoh dari ibunya. Seperti masuk salon ketika ia rasa rambutnya lagi bermasalah atau istilahnya “bad hair dry”. Biasanya hanya satu atau dua minggu sekali. Hal-hal lain yang ia sukai adalah seputar dunia olahraga. Khususnya sepak bola ia sangat suka dengan club Chelsea dari Inggris, ungkap remaja putri yang memakai Nokia 93ai sebagai alat komunikasinya. Namun sayang sore itu lagi drop batereinya, lupa di-charge sebelumnya.

Dalam penampilan ia juga sesuaikan dengan gaya anak muda. Ia mengakui banyak dapat informasi dari majalah-majalah atau televisi tengan fashion. Ia melihat dan mengetahui apa yang sedang hangat dalam fesyen, bagaimana memperolah pakaian yang sesuai, bagaimana cara berpenampilannya. Pada akhirnya Ayu akan melihat pada citra fesyen juga sebagai tindakan konsumtif. Tindakan konsumtif ini bisa dianalogkan pada pengertian narsisisme, yang mengevaluasi ulang secara positif sumber kesenangan yang spesifik feminin seperti pakai aksesoris (anting, gelang, kalung dan pernak-pernik) masuk salon, atau bahkan hobi seperti nonton bola oleh Ayu juga bisa dikategorikan pada hal yang sama.

BUDAYA LEISURE TIME
Belum banyak aktivitas yang ia ikuti di luar sekolah. Meski dia sudah survei di beberapa tempat, namun belum dapat juga. Dulu di Tangerang dia sempat kursus bahasa Inggris di BBC.

Sebagai anak tunggal dia tidak pernah merasa kesepian di rumah. Ada saja aktivitas yang ia lakukan. Kalau lagi tidak ada kegiatan apa-apa, dia suka nonton tv. Acara yang ia sukai yaitu wisata kuliner yang dibawakan oleh Bondan Prakoso dan sinetron Intan. Selain itu kadang-kadang ia pergi ke warnet. Kalau sudah di warnet ia betah sampai sejam dua jam. Situs yang sering ia buka adalah friendster. Selain itu kalau jalan malam ia minta ijin dulu ke ortu. Dia tidak pernah menginap di rumah teman.

Kemudian ia memberikan tips bagaimana jika gadis remaja mau pergi ke mall; “Kalau mau belanja ke mall rambutnya dikuncir karena udara panas, kalau pakai baju tidak usah ribet-ribet agar mudah kalau ingin mencoba baju baru, makan di rumah supaya tidak pingsan, terus pake celana pendek sedengkul atau di atas dengkul tergantung udaranya”, begitulah tips yang ia dapat di majalah dan senantiasa ia praktekkan ketika mau pergi ke mall.

Budaya kapitalisme yang tengah menyerang dan melanda di Indonesia menciptakan budaya pada masing-masing kelas ekonomi, ras dan jenis kelamin. Masa luang atau kosong (leisure time) cenderung diarahkan pada kepuasan-kepuasan pribadi seperti nongkrong di kafe, nonton bioskop, pergi ke mall, dan lain-lain. Sedangkan para remaja yang masih kurang banyak pengalaman cenderung mengambil kesempatan tersebut dari informasi global yang masuk dari mana saja, dari media, dari iklan, dan lainnya, sesuai dengan pilihan hatinya. Namun menurut Clark dan Critcher (1985) punya argument bahwa waktu kosong pada masyarakat kapitalisme tidak hanya berurusan dengan pilihan yang sederhana, atau peran identitas, tapi cenderung pemaksaan pada kelas, ras dan jenis kelamin.

Melihat cara Ayu dalam menggunakan waktu kosongnya dengan jalan di mall, pergi ke salon, nonton, online di warnet dan lainnya, memperlihatkan globalisasi dan implikasi dari budaya kapitalis yang tengah melanda para remaja.

Depok Town Square
Selasa, 27 Maret 2007

Andi R. Arifianto

No comments: