Friday, March 30

Memahami Pendidikan Melalui Kebudayaan


tulisan ini ditulis oleh dosen favorit saya, Prof. Dr. Achmad Fedyani Saefuddin, Guru Besar UI, pernah dimuat di kompas tanggal 23 Juli 2005

Memahami Pendidikan Melalui Kebudayaan
- Peristiwa Berulang, Ekspresi Suatu Pola -

Di sebuah desa kita, tahun 2002, penulis mengamati tiga peristiwa yang menginspirasi tulisan ini. Meski sekilas ketiganya tampak biasa-karena itu tidak menarik perhatian banyak orang-namun bagi dunia antropologi ia punya makna tertentu.

Pertama, seperti biasa, anak-anak SD berseragam kemeja putih celana merah maron pulang berjalan kaki. Mereka bersenda-gurau, kadang terjadi perkelahian gara-gara tersinggung. Begitu berkelahi, yang kalah lari pulang sambil menangis. Orangtuanya kaget dan langsung naik pitam menyaksikan anaknya menangis dipukul temannya.

Tak pikir panjang, orangtua langsung pergi ke rumah orangtua anak yang memukul. Terjadi pertengkaran mulut antar orang tua. Tetangga di sekitar berdatangan menonton. Pertengkaran baru berakhir ketika salah seorang tetangga melerai.

Beberapa hari kemudian, peristiwa yang mirip modusnya terjadi lagi. Orang-orang sekitar mengatakan bahwa anak-anak berkelahi sepulang sekolah sudah biasa. Anak-anak tetap anak-anak. Tak lama setelah kejadian itu, mereka kembali rukun, bermain bersama, bersenda-gurau. Sebaliknya, orangtua tidak semudah itu melupakan permusuhannya.

Kedua, di sebuah kelas I SMP. Anak-anak duduk tertib, menyimak guru yang sedang mengajar. Berkali-kali terdengar seperti koor, anak-anak melanjutkan kalimat akhir guru. Guru mengatakan: "Dalam hidup bermasyarakat, kita harus hormat-menghorma....tiii." "Dalam hidup sehari-hari, kita harus memelihara keruku...naaan."

Di ruang kelas yang lain, guru minta anak didik untuk membaca buku wajib alinea demi alinea, dan mempelajari (menghafalkan) teks-teks tanpa salah. Salah seorang anak yang dianggap paling pandai biasanya disuruh maju ke depan papan tulis untuk menuliskan beberapa alinea dari sebuah buku pegangan, dan siswa lainnya menyalin ke buku tulis masing-masing. Usai menyalin, guru menyuruh mengumpulkan semua buku tulis itu, dan memberikan nilai. Anak yang tidak mengerjakan tugas dengan baik biasanya mendapat hukuman. Mereka disuruh menulis di buku kalimat seperti : "Saya tidak akan mengulangi kesalahan ini lagi", atau "saya tidak akan malas lagi", 100 kali.

Guru mengatakan bahwa semua ini untuk menegakkan disiplin anak. Mereka mengatakan bahwa hukuman yang kini diterapkan sudah jauh lebih ringan, karena dahulu anak-anak dijemur di bawah tiang bendera, lari keliling lapangan sekolah, bahkan dipukul oleh guru. Ketiga, Sabtu pukul 13.00 di suatu SMP. Sekelompok anak kelas II berlatih melaksanakan upacara penaikan bendera untuk Senin. Dengan arahan guru pelatih, tiga anak bertugas menaikkan bendera merah-putih, satu komandan upacara, dan satu pembaca teks Pancasila. Sesekali pelatih berteriak marah karena kesalahan-kesalahan yang dibuat anggota kelompok. Komandan upacara berdiri kurang tegap, lengan dan siku terlalu bengkok ke depan saat memberi hormat kepada pimpinan upacara, suara kurang lantang, atau wajah kurang serius. Kesalahan pengerek bendera lain lagi. Mengikat tali bendera ke tiang terlalu longgar, bendera terlalu cepat sampai di puncak padahal lagu Indonesia Raya belum selesai, berbaris kurang serempak, atau salah ketika melipat bendera. Kesalahan pembaca teks Pancasila tak kalah serius. Saat maju kurang tegap, membawa map teks tidak rapi, siku bengkok saat membaca, atau membaca kurang lantang. Maka mereka harus berlatih berulang kali. Bertindak kolektif Ketiga peristiwa mungkin hal biasa bagi banyak orang. Itulah keseharian, yang karena begitu terbiasa, menjadi tidak lagi menarik perhatian kita.

Akan tetapi, apabila kita memandangnya secara agak teoretis, maka ketiga peristiwa di atas sesungguhnya berkaitan satu sama lain dan menjadi bermakna. Bagi antropolog, peristiwa itu mengandung makna tertentu. Meski ketiga peristiwa tampak terpisah, mereka berupaya menemukan asosiasi ketiganya untuk memahaminya sebagai kesatuan gejala kebudayaan. Ada suatu isu teoretis yang muncul dari ketiga peristiwa di atas. Peristiwa berulang adalah ekspresi suatu pola. Peristiwa dua anak SD berkelahi, yang kalah lari pulang sambil menangis, kemudian orangtua kedua anak terlibat pertengkaran, ketika berulang hal tersebut menjadi biasa bagi masyarakat bersangkutan.

Profesor Erika Bourguignon (1991), seorang antropolog psikolog, berasumsi bahwa pada suatu masyarakat di mana peristiwa semacam itu menjadi pola, akan mengembangkan suatu generasi yang kurang mandiri, kurang mampu mengambil keputusan individual, dan kurang bertanggung jawab. Anak-anak yang demikian cenderung bertindak kolektif karena sukar menuntut tanggung jawab kolektif. Orang yang berbuat salah dapat berlindung di balik kolektivitas bila ada tuntutan kepadanya.

Contoh kedua dan ketiga sesungguhnya mendukung contoh pertama. Mungkin bisa dikatakan bahwa guru adalah orangtua kedua dalam kebudayaan kita. Profesor John Singleton (1990), antropolog pendidikan, berasumsi bahwa dalam kebudayaan di mana sekolah mempraktikkan hubungan antara guru dan siswa seperti ketaatan antara anak terhadap orangtua, akan menghasilkan pola kebudayaan denganciri-ciri serupa dengan asumsi Dr Bourguignon.

Lalu, apa pasal dengan kondisi masyarakat kita? Kalau refleksi teoretis tersebut digunakan untuk memandang masyarakat kita, mungkin kita dapat turut menjelaskan secara tidak langsung, mengapa berbagai kejadian marak beberapa tahun terakhir.

Tawuran terjadi tidak lagi hanya antarpelajar SMA, tetapi kini sudah melibatkan anak-anak SD hingga mahasiswa perguruan tinggi. Bahkan di kalangan para wakil rakyat kita yang amat terhormat juga terjadi tawuran antarkelompok.

Kalau dahulu, ketika masa ujian, sebagian siswa membuat kertas contekan kecil yang diselipkan di lengan baju, di lipatan celana, atau bahkan ditulis di tangan atau dipaha, sekarang teknologi SMS juga berguna untuk mendukung upaya itu. Dalam konteks yang lain, korupsi tidak dilakukan sendirian karena menjadi satu dengan kolusi dan nepotisme yang tak lain adalah kolektif sehingga ada orang membuat istilah baru, korupsi berjamaah.

Maka, terlepas dari isu provokator yang populer semenjak beberapa tahun yang lalu, barangkali kita sangat perlu mengkaji akar dari persoalan ini sehingga memahami apa yang harus berubah atau diubah. Mungkin pemahaman tentang budaya pendidikan kita selama ini secara lebih luas dapat menjelaskan sesuatu.

Anggota Forum Kajian Antropologi Indonesia, Pengajar pada Departemen Antropologi FISIP-UI

No comments: