Thursday, March 8

Kyai juga manusia


“Ustadz juga manusia”. Begitulah judul sinetron di salah satu stasiun tv. Pesan yang ingin disampaikan bahwa sekarang sudah tidak zamannya lagi untuk fanatisme buta pada seseorang atau pada golongan tertentu. Seolah-olah sekarang sangat sulit mempercayai orang lain. Sampai-sampai pada setingkat ustadz sekalipun, maksudnya kita tidak serta merta menelan mentah-mentah apa yang disampaikannya. Dunia kultus mengkultuskan diri sekarang sudah tidak zamannya lagi. Barangkali yang terjadi pada Gusdur juga demikian.

Saya jadi ingat pemikiran Erving Goofman tentang presentasi diri. Bahwa kehidupan ini layaknya permainan teater di panggung. Ada aktor pemainnya, ada skenario yang diperankan. Jadi hidup ini bagai permainan drama, atau yang ia sebut dengan pendekatan dramaturgi (dramaturgical approach). Ada front stage (panggung depan) dan ada back stage (panggung belakang). Di panggung depan ia berperan laksana pangeran yang agung, tapi ketika berada di belakang panggung ia hanyalah seorang gembel.

Contoh di atas bisa kita analogkan kepada kehidupan seorang ustadz. Ketika berhadapan dengan jama’ahnya dia berkarakter seolah-olah the king can do no wrong. Apa yang keluar dari mulutnya adalah sesuatu yang sudah melekat pada dirinya, menurut penilaian jama’ahnya. Namun ketika di belakang, atau setelah tidak di depan jama’ahnya, ia seakan bebas dan berbuat apa semaunya. Namun tidak semua seperti itu. Masih ada beberapa ustadz yang terus istiqamah dan menjaga komitmennya. Takut terhadap ayat yang akrab di telinganya “kabura maqtan ‘indallahi an taquuluu maa laa taf’aluu”.

Pada Kyai yang di foto ini (pemegang gitar), saya sangat mengaguminya. Bukan berarti saya mengkultuskannya. Kekaguman saya sebatas respek dan yaa kagum terhadap apa yang selama ini saya dapatkan dari kontak dan hubungan dengan beliau. Ust. Hasan, begitu orang-orang memanggil, lengkapnya KH. Hasan Abdullah Sahal. Di luar lebih dikenal dengan panggilan kyai Hasan. Seorang kyai yang keras dan tegas, namun juga ada sisi kelembutan dari dirinya. Keras tegas jika sudah menyangkut urusan aqidah atau masalah yang tidak sesuai dengan sunnah pondok yang tidak bisa ditolerir lagi. Akan lembut jika di tengah-tengah keluarga. Bukan hanya itu saja, di beberapa moment di luar tugas pondok beliau juga sangat welcome. Terbuka untuk dialog dan bicara dari hati ke hati.

Sebagai kyai Pondok Modern Gontor, beliau bukanlah seperti kyai pesantren lainnya. Hanya menjaga santrinya atau di pondok saja, atau dikenal dengan kyai lokal. Buktinya beliau juga sering diundang di beberapa acara di luar pondok. Bahkan hampir tiap tahun beliau diundang oleh beberapa KBRI di luar negeri untuk mengisi kegiatan ramadhan di perwakilan Indonesia tersebut. Seperti di Jepang, Belanda, Korea, Australia, bahkan yang terakhir kemarin di Amerika Serikat. Kalau kayak begini bukan lokal lagi, bahkan sudah internasional.

Kesalehan dan ketawadluannya di tengah keluarga pondok telah membuat diri dan keluarganya seakan-akan tidak dipusingkan oleh berbagai interes pribadi yang banyak bermunculan. Hal-hal yang sensitif seakan-akan dihindari demi untuk kemaslahatan bersama. Dalam membina keluarga juga demikian, sangat demokratis. Beliau bersama istrinya yang bernama Siti Abidah Mufarrihah, membebaskan anak-anaknya untuk menimba ilmu dimana saja. Asalkan sudah mendapat ilmu dasar dari pondok atau harus mondok dulu di mana baru setelah itu memilih dimana mau sinau. Beliau juga tidak mewajibkan anaknya untuk menjadi kader pondok. Kelihatan dari anak-anak yang berprestasi dengan aneka latar belakang pendidikan yang berbeda. Kreatif, cerdas dan berprestasi, begitulah terlihat dari hasil demokratisasi yang beliau tanamkan pada pendidikan anak di keluarga. Jika sudah berkeluarga nanti, ingin rasanya belajar bagaimana ngurus keluarga kepada beliau.

Dalam foto, beliau sangat enjoy sekali main musik bersama ust. Husnan dan violist asep. Sebab dulu ketika masih nyantri beliau juga jago musik. Bukan hanya musik, pada dunia olahraga yaitu sepakbola beliau juga jago. Pokoknya menurut saya, depan panggung maupun belakang panggung, beliau tetaplah seorang kyai. Tidak dibuat-buat bahwa dirinya adalah seorang kyai. Yang pasti tidak ada mistifikasi disitu, maksudnya sebagai seorang kyai beliau tidak menjaga jarak dengan santrinya dengan demikian secara otomatis beliau tidak mau ada kultus apalagi fanatik terhadap dirinya. Fungsinya di mata santri tidak hanya sebagai pimpinan pondok saja, tapi sebagai bapak, pengasuh atau bahkan sebagai tempat sharing.

Kabar yang heboh adalah beliau sudah berhenti rokok. Sekarang sampai beberapa minggu ke depan, beliau bersama ibu tinggal di Jakarta dalam rangka berobat. Kita doakan bersama semoga cepat sembuh dan kembali ke pondok dengan sehat. Khususnya ibu yang menderita sakitnya selama sepuluh tahun terakhir ini. Semoga di Jakarta ini beliau dan ibu menemukan kesehatannya kembali. Sehat lahir dan batin. Amin

Gandul, 9 Maret 2007

No comments: